Minggu, 29 Agustus 2010

[Fanfic] Accidentally In Love (chap 8)

Title : Accidentaly In Love
Chapter : Eight
Author : TegoMura
Genre : Romance
Rating : G
Pairing : Miyabu,HikkaPy,TakaDin,Inoopi,Dainu
Fandom : Johhny’s Entertainment, Desperate Housewives
Disclaimer : Py, Miyuy, Din, Opi and Nu belong to theirselves, Hey! Say! BEST is belongs to JE. we don’t own them...Comments are LOVE minna~

Di bangku perpustakaan, Daiki menemukan Nu tertidur, dengan buku-buku pelajaran disekelilingnya.

“..Nuchaaan...”, Daiki beralih kesamping Nu dan meniup-niup daun telinganya.

“Ah!”, tersentak bangun, kontan Nu menutupi kedua telinganya, tak bisa menyembunyikan wajahnya yang benar-benar memerah “Arioka, apa-apaan?!”, tanya Nu sedikit membentak, memang saat itu tak ada banyak orang di ruangan perpustakaan karena sudah jam pulang sekolah.

“Maaf, tapi Nuchan...kalau tidur seperti itu, bisa sakit punggung lho...”, katanya masih dengan wajah polos yang tak tahan Nu lihat.

“Bukan urusanmu”, balas Nu singkat sambil membereskan buku-bukunya.

“Ano...di telinga kiri Nuchan...apa tidak sakit?”.

Nu tahu apa yang dimaksud Daiki, beberapa piercing di telinga kirinya, yang dibuatnya tempo hari seperti yang dimilki Kyo.

“Tidak terasa sakit...waktu itu...”, jawab Nu seraya menyisir rambutnya dengan jari, membuat telinganya tak terlihat.

“Tapi...disekolah dilarang pakai yang seperti itu, kan?”

“Cerewet. Bergabung saja dengan komite disiplin”, ekspresi wajah Nu terlihat terganggu, tak butuh waktu lama, Nu segera melangkah keluar ruangan perpustakaan

“Nuchan..mau kemana?”, tanpa berpikir panjang, Daiki mengikuti langkah Nu

“Pulang”


“Sudah, pulanglah. Jangan ikuti aku lagi...”, ucap Nu ketika akan menaiki tangga apartemen yang disewanya.

“Nuchan, besok buatkan bento untukku, ya?”, kata Daiki tiba – tiba.

Ucapan Daiki membuat Nu sesaat termenung, ‘Sejak bersama Kyo, aku tak pernah lagi makan di kantin sekolah saat istirahat’, batinnya

“Tidak!”, tolak Nu spontan.

“Kalau begitu, jadilah pacarku!”, kata Daiki lagi.

‘Kenapa permintaan bocah itu tak pernah masuk akal?’, batin Nu, segala yang dilakukan Daiki, terasa begitu kekanakan

“Tidak!”

“Kenapa?”

Sesaat Nu akan membalas, tapi ia kehilangan kata-kata, tak terpikirkan alasan apa yang akan diucapkan “Ah, sudahlah. Pulang sana!”, ujar Nu akhirnya

“Ha ha ha. Besok Nuchan akan buatkan bento untukku, kalau tidak, Nuchan akan jadi pacarku. Jaa!”, Daiki segera melangkah menjauh, Nu bisa menduga, sekalipun ia tak melihat, saat itu Daiki pasti tersenyum ceria.

Nu berlari dengan cepat menuju beranda, ia masih bisa melihat Daiki “Konyol sekali!!”, teriaknya pada Daiki yang mungkin tak akan mendengar
--------------------------
Py menyandarkan punggungnya yang lelah di atap sekolah. Seperti biasa, ia masih saja mengerjakan komiknya yang masih juga belum selesai.

Walaupun ia sedang menggambar, sebenarnya pikirannya sedikit – sedikit melayang pada sosok Hikaru. Ia tak ingin mengakuinya, tapi sejak tadi ia sebenarnya menunggu sosok itu datang memberinya kejutan lagi. Tapi, Hikaru tidak muncul, ‘mungkin tidak hari ini..’, gumam Py pada diri sendiri.

Py menyalakan iPod nya, memasang headphone dan melanjutkan gambarnya kembali.

Memang begini kebiasaan Py. Bila sudah menggambar, maka Py seakan masuk ke dunia nya sendiri, bahkan dapat membuatnya tak sadar akan semua yang berada di sekitarnya.

Rasanya sudah cukup lama Py menggambar di atap itu.

“Huwaaa~”, refleks, Py membuka airphone nya, “Hika-kun!!”

“Hehehehe~ sudah kuduga Py-chan pasti disini.”, katanya lalu duduk di samping Py.

Tadi Hikaru berhasil membuatnya kaget dengan menempatkan wajahnya sangat dekat di hadapannya.

Py yakin wajahnya masih memerah, jantungnya pun tak karuan.

“Apaan sih Hika-kun!!”, kata Py lalu menutup buku sketsa nya secara otomatis.

“Jadi, kapan aku bisa melihatnya?”, tanya Hikaru lalu menatap Py.

“Mungkin... nanti.. aku belum selesai membuatnya..”, jawab Py.

Hikaru berbaring menatap langit, “Langit sedang cerah sekali...”

“Hmm..”, jawab Py menengadah menatap langit.

Py merasa hari ini Hikaru tak seceria biasanya, tapi Py mengabaikan perasaan itu, ‘mungkin hanya perasaanku saja’, batin Py.

“Py lihat lebih jelas lagi..”, kata Hikaru menarik tangan Py, kini Py juga ikut berbaring melihat ke langit.

Selama beberapa menit kemudian Py dan Hikaru hanya sibuk dnegan pikirannya masing – masing.

“Py punya impian?”, tanya Hikaru dengan suara pelan.

“Un...”

“Apa itu? Ceritakan padaku...”, ujar Hikaru yang masih saja menggenggam tangan Py.

“Aku ingin jadi komikus, karya ku dikenal di seluruh Jepang... tidak... bahkan dunia... lalu...”, Py memberhentikan kalimatnya.

“Lalu?”, tanya Hikaru.

“Impian semua wanita.. jadi seorang ibu..”, kata Py malu – malu.

Hikaru tertawa kecil, “Py lucu...”, katanya.

“Impian Hika-kun apa?”, tanya Py, jantungnya masih berdegup sangat kencang karena Hikaru sepertinya sama sekali tak akan melepas genggamannya.

“Hmmm~”, Hikaru duduk lalu menarik Py ikut duduk. Tanpa melepaskan genggaman tangannya sama sekali.

“Apa?”, tanya Py.

“Py akan tertawa jika mendengarnya.”, ujar Hikaru.

Py menggeleng, “Tidak...aku tak akan mentertawakannya.”

“Aku... selalu ingin jadi musisi..”

“Waaahh~ Sugoiii!!”

“Py tau Bass??”, ujar Hikaru menoleh menatap Py yang kini matanya berbinar menatap dirinya.

“Bass??Alat musik??”, tanya Py meyakinkan.

Hikaru mengagguk.

“Aku ingin memainkan Bass ku di hadapan banyak orang.”

“Sendirian?”, tanya Py heran.

Hikaru menggeleng lalu tertawa kecil, “Tidak tentu saja... dulu, aku dan Yabu punya impian yang sama, Yabu bermain gitar, aku bermain bass...lalu akan ada pemain drum, dan mungkin pemain keyboard juga... kita akan membuat sebuah band..”, kata – kata Hikaru terhenti.

Hikaru tersenyum pahit, “Band kita akan masuk dapur rekaman, lalu terkenal dan dapat menghibur semua orang dengan musik kita...”, jelasnya menggebu – gebu.

Py tersenyum, “Impian Hika-kun hebat sekali...”

“Impian Py juga hebat...”

“Tapi aku tak pernah mampu mewujudkannya, bahkan untuk sekedar mengirimkan naskah komik, jika bukan Din yang memaksaku, aku tak akan mau...”, kata Py pelan.

Py merasa aneh dengan dirinya sendiri, dirinya yang biasanya tertutup bahkan biasanya tak akan bisa berbicara selancar itu pada orang lain kecuali keempat temannya, dapat berbicara selancar ini di hadapan seorang Hikaru. Bahkan membagi ketakutannya.

“Py dan aku... sama saja... entah berapa banyak lirik lagu yang aku dan Yabu buat, kami tetap saja masih di tolak label manapun.”

“Aku yakin Hikaru pasti bisa menggapai impiannya...”, ujar Py.

Hikaru hanya diam, tak menjawab.

“Hikaru sudah lama suka musik?”, tanya Py lagi.

“Sejak SMP... aku sangat ingin jadi musisi. Ketika aku pindah ke Tokyo untuk SMA, aku bertemu Yabu, kami berbagi impian yang sama. Bahkan kau tahu... Bass yang kumiliki sekarang adalah hasil kelaparanku selama beberapa bulan.”

“Eh??”

“Ya.... aku sangat ingin punya gitar bass, maka aku bekerja dan tak makan beebrapa hari untuk menyimpan uang. Sungguh perjuangan saat itu.”, kata Hikaru yang kini sepertinya memikirkan masa lalunya.

“Hika-kun pasti sangat bangga punya bass itu?”

“Karena itu hasil jerih payahku... yah.. tentu saja..”, jelas Hikaru, “Maaf aku malah bercerita macam – macam..”.

“Daijoubu... aku senang Hika-kun mau menceritakannya padaku.”, Py tersenyum.

Hikaru tiba – tiba melirik jam tangannya, “Ah~ waktu istirahat sebentar lagi selesai..”, katanya.

“Masa? Tak terasa ya...”, ujar Py yang juga melirik ponselnya.

“Karena berbicara dengan Py sangat menyenangkan, aku samapai tak sadar... kau bahakn belum makan siang... bagaimana ini?”

“Tak apa...”, Py tersenyum

“Py harusnya lebih sering tersenyum.”, ujar Hikaru tiba – tiba.

Py terlihat salah tingkah, “Kenapa?”

Tanpa aba – aba, tanpa Py sadari, Hikaru mengecup bibirnya pelan.

Dada Py seakan meledak, tubuhnya sama sekali tak dapat bergerak, sepertinya seluruh sarafnya menjadi kaku.

Tak lama, Hikaru melepaskan ciuman itu, “Karena senyum itu paling cocok untuk Py.”

Py masih tak sadar dengan apa yang terjadi.

Bel masuk setelah istirahat berbunyi nyaring, Hikaru menarik tangan Py yang masih ia genggam sejak tadi.

“Ayo!! Sudah bel!!!”, katanya heboh.

-----------------
“Hah? Jadi kamu marah karna aku duduk dengan anak-anak perempuan lain waktu istirahat sekolah?”, ucap Yuya dengan nada sedikit tinggi

“Kamu suka itu, kan?”, balas Din

“Kamu cemburu, kan?”, tambah Yuya, mengembangkan senyuman khasnya yang terkadang terlihat begitu menyebalkan untuk Din

“Kalau kamu ingat, kamu pernah menyuruhku berhenti kirim mail pada Jinjin, harusnya kamu sadar seharusnya kamu tidak ada diantara mereka!”, seperti biasa, Din membentak Yuya dan berhasil pergi sebelum Yuya mebalas

Hari itu, ketika Din bermaksud menghabiskan waktu dirumah Yuya –yang sekarang adalah pacarnya-, suasana berakhir seperti biasa, pertengkaran diantara keduanya

Din berlari menuju kamar Jin, berharap akan menemukan sosok yang biasanya dapat membuat perasaannya sedikit berubah jadi cerah, mengubah mood jelek yang dibuat Yuya.

“Jinjin...!”, serta merta Din membuka pintu kamar Jin, dan alangkah kagetnya ia ketika mendapati Jin tidak sendirian dikamarnya, melainkan bersama seorang gadis. Din ingat, pacar Jin, Naomi. Keduanya terlihat sedikit terkejut sebelum akhirnya Jin melontarkan sebuah tanya

“Ada apa, Dinchan?”, tanya Jin.

“Ah, maaf..aku mengganggu...”, ujar Din pelan, masih memegang gagang pintu.

“Tak apa, masuklah...”, jawab Jin, tersenyum. Juga Naomi, tersenyum untuk Din, terlihat begitu ramah.

Din melangkahkan kakinya kedalam dengan sedikit ragu “Tapi, Jinjin...”, pernyataan Din terputus.

“Dinchan, kenalkan, ini Naomi. Naomi, ini Dinchan. Kalian sudah beberapa kali bertemu, kan, tapi belum sempat berkenalan”, jelas Jin lalu tersenyum.

“Ikuta Din, cukup panggil Din. Salam kenal”, Din membungkukkan tubuhnya.

“Namaku Naomi Lawrence. Salam kenal juga”, balas Naomi tersenyum.

Din sedikit terkejut mendengar nama belakang Naomi “..La, Lawrence?”, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan dengan melihat penampilan Naomi yang lumayan berbeda, berkulit putih dan memiliki sepasang mata berwarna biru jernih

“Ibuku seorang Japanese, tapi ayahku American...”, jelas Naomi sambil masih tersenyum.

Jin memang tak pernah salah pilih.

“Ng, sou...”, sesaat Din menatap Naomi, cantik. Terlihat begitu anggun dan dewasa, Jin pantas bersamanya.

“Bertengkar dengan Yuya lagi, ya?”, tanya Jin.

“Begitulah...”, Din mengangguk pelan. Wajahnya ditekuk karena sebal dengan Yuya.

“Tak apa, lihat deh, dia pasti akan kesepian lalu mencarimu...”, kata Naomi seraya meraih tangan Din, tersenyum begitu lembut.

“Tidak...Yuya bukan tipe seperti itu, dia menyebalkan”, elak Din.

Tiba-tiba Din merasakan ponsel disakunya bergetar, dan melihat satu pesan masuk ketika membuka flipnya

From    : Yuya
Subject    : Bhu!
Dasar jelek kamu, bisanya ngadu
Bhu!  (; ⁻ 3⁻ )Д

Naoko memperlihatkan tawa kecil mendengar Din membacakan pesan dari Yuya “Hi hi, Yuya dan Jin mirip, ya”.

“E? Kenapa bilang kami mirip saat Yuya mengirim pesan macam itu?!”, tanya Jin sedikit terkejut.

“Terkadang, saat cemburu, kau juga bersikap sedikit kekanakan”ujar Naomi tertawa-tawa kecil.

“Eh?”, Din terkejut.

“Naomi, jangan bicarakan itu saat ada Dinchan”, kata Jin mengacak pelan rambut Naomi sambil berlalu.

“Ha ha ha ha”, berpura – pura tak mendengar, Naomi masih tertawa.

Melihat tawa ceria Naomi, membuat Din juga ingin mengumbar tawanya, membawa kembali keceriaannya.

“Kalian, berhenti tertawakan aku...!”, ujar Jin.

Meskipun iri, berada diantara Jin Naomi membuat Din merasa senang. Melihat sisi lain dari Jin yang tak pernah dilihatnya, saat Naomi bersama Jin.

-----------------
“Disini masih ada tempat kosong, kan?”, tanya Daiki –tentu saja sambil tersenyum manis- pada Din, Opi dan Py yang sedang menikmati makan siang di kantin sekolah

“Ng, ya”, jawab ketiganya.

“Eh, kalian jadian juga?”, tanya Din dengan tatapan tak percaya.

“Juga?”, Nu menatap Din bingung.

Din hanya menunjuk salah satu meja yang tak jauh dari tempat mereka duduk, tempat Miyuy dan Yabu menghabiskan waktu istirahatnya.

“Yabu-kun dari kelas c”, ujar Daiki ceria.

“Din juga dengan Takaki kan?”, ujar Py polos.

Opi menyenggol bahu Py pelan, mengisyaratkan Din-sedang-tak-mau-bicarakan-itu pada Py.

Tapi Din hanya diam tanpa ekspresi, menyadari orang yang disebut pacarnya itu tak ada disitu.

Dua tempat kosong diantara mereka. Tempat Nu dan Miyuy. Nu yang sejak lama tak pernah menghabiskan waktu istirahat di kantin dan Miyuy yang sekarang duduk bersama Yabu.

“Jadi?”, tanya Din lagi.

“Eto..kami...”, Daiki kembali akan menjawab.

“Itu sama sekali tak mungkin”, timpa Nu.

“Bukan tidak mungkin...hanya..belum..”, jawab Daiki tak mau kalah.

Ketiga temannya hanya mengerutkan dahi, mengisyaratkan memang-sepertinya-tak-mungkin.

“Gochizousama. Terimakasih, bentou yang dibuat Nuchan enak. Walaupun aku baru pertama kali mencicipi, tapi rasanya aku sudah sering makan”, Daiki tersenyum dan kemudian meneguk minuman di gelasnya

“E? Nu membuat bentou untuk Arioka?!”, Din, Opi dan Py sama-sama terkejut.

“Bukan. Itu bentou di depan stasiun”, jawab Nu, enteng.

“Ooh, pantas saja rasanya familiar. Besok aku ingin makan bentou buatan Nuchan...”, pinta Daiki sedikit merengek.

“Aku bukan ibumu”, jawab Nu dingin. Ketiga temannya hanya bisa menyembunyikan tawa.

“Ano, Arioka-kun...”, ucap Py

“Panggil Daiki...ng, atau Dai saja”

“Walaupun Nu tak makan bentou bersama kami, tapi terima kasih sudah membawanya kembali kesini, Daichan”, lanjut Py kemudian tersenyum ramah pada Daiki.

Daiki hanya membalas dengan senyuman, begitu manis.


“Takahashi..ikut kami sebentar...”, ketika Nu membereskan buku-buku pelajaran, dua orang anak perempuan menarik tangannya. Sekejap Nu ingat, mereka teman sekelasnya, walaupun Nu sama sekali tak mengingat nama mereka. Bukan salahnya ia memang tak ingin kenal mereka.

“Apa mau kalian? Biarkan aku pulang!”, Nu bersikeras, tapi kedua orang itu tak juga melepaskan tangannya, menyeret Nu masuk ke toilet sekolah.

“Ada apa ini? Aku tak punya waktu untuk kalian!”, ucap Nu, dingin. Saat itu, seorang lagi telah menunggu. Tersenyum sinis menatapnya.

“Sombong sekali”, teriak salah seorang dari mereka, yang Nu perkirakan adalah ketua dari mereka.

Miwa Yamazaki. Tak butuh waktu lama, ia menarik Nu dan mendorong tubuhnya ke dinding.

“Sekarang kamu mulai bertingkah ya. Padahal, melihatmu dikelas saja sudah membuat suasana terasa suram. Sekarang kami juga harus melihatmu di kantin sekolah...”, Miwa menggantung kalimatnya, memojokkan Nu ke wastafel, “rasanya tak perlu dikatakan lagi..menjijikan melihatmu disana... Aku selalu memaafkan keberadaanmu di kelas karena aku menghargai Din, Miyuy..yang tampak membelamu terus...Padahal kau ini apa?? Apa??!! Bangga berada di antara mereka??!!!”, teriaknya tepat di muka Nu.

Tak membalas, Nu sama sekali mengalihkan pandangannya dari tatapan teman sekelas yang namanya pun tak ia ingat itu. Menampakkan tatapan dingin tanpa ekspresi seperti biasa.

“Kemari Takahashi...ng, bukan, Nuchan, biar kubasuh dulu wajahmu, supaya sedikit jadi lebih segar...”, ucap Miwa ketika menumpahkan air dari botol minuman yang diberikan salah satu kaki tangannya, ke kepala Nu “..sadarlah. Kamu sama sekali tak terlihat bagus berada di dekat Arioka! Din, Miyuy, Opi, Py...”, Miwa melipat tangannya satu persatu, “Dan sekarang... Arioka Daiki??!! Kau anggap kau punya apa bisa mendekati seorang Arioka Daiki??!!”.

“Dia yang kalian mau?!”, Nu segera merebut botol minuman dari tangan Miwa dan melemparnya keras-keras “..ambilah! Bawalah pulang! Lakukan apapun yang kalian mau! Aku sama sekali tak punya urusan!!”, dengan sangat kesal, Nu melangkah keluar dari ruang toilet


“Akhirnya, Nuchan kutemukan juga! Ayo pulang sama-sama? Aku boleh ke tempat Nuchan dulu, ya?”, sapa Daiki ceria ketika menemukan Nu yang baru akan melangkah pulang “..ma, matte. Kenapa rambut Nuchan basah? Seragam juga...” Daiki tampak bingung melihat keadaan Nu.

“Berhenti mengikutiku..”, kata Nu datar.

“E? Apa maksudnya?”, Daiki bingung

“Kubilang, berhenti mengikutiku!!!”, tanpa sadar air mata yang selama ini tak pernah Nu perlihatkan apda siapapun itu mengalir.

Apa ia tak pantas berada di antara teman – temannya? Din adalah ketua kelas, Miyuy walaupun tak begitu populer juga pintar, Opi juga bintang basket di sekolahnya, Py memang tak populer, tapi sikapnya manis, tak seperti dirinya.
Pertanyaan besar lainnya, apa Arioka memang tak pantas juga untuknya?
--------------------
Pagi yang cukup cerah. Miyuy membuka matanya karena terganggu dengan suara ponselnya. Tak perlu ditebak, yang bisa memberinya e- mail sepagi itu hanya Yabu, yang sekarang memang pacarnya.

From: Yabu-kun
Subject: Morning~
Beautiful Saturday morning....
^^
Jalan – jalan yuk Miyuy-chan?
---(image 28)---
Morning sora~

Miyuy menyipitkan matanya, lalu senyumnya mengembang. Yabu seperti biasa mengirimkan gambar langit yang begitu ia sukai. Sejak mereka berpacaran sebulan lalu, sepertinya memang gambar langit yang paling banyak di ponsel Miyuy sekarang.

To: Yabu-kun
Subject: Re: Morning~
Morning...^^
Memangnya mau jalan kemana?
----(image29)----
My teddy bear said morning too~

Miyuy mengambil foto boneka teddy bear kesayangannya dan mengirimkannya pada Yabu.

From: Yabu-kun
Subject: Re: Morning~
Jalan – jalan aja...kemana gitu...
Mau nonton lagi? Atau mau ke theme park?

Teddy bear mu lebih lucu darimu...
*laugh*
Aku bercanda...LOL

Miyuy tersenyum melihat e-mail itu. Sebelum memutuskan kemana mereka akan pergi, Miyuy beranjak ke depan laptopnya, menyalakannya dan langsung meng- akses situs TobenaiTori. Sepertinya kegiatan itu sudah menjadi kebiasaannya.

Tak lama, ponselnya kembali berbunyi, lagi – lagi e-mail dari Yabu.

From: Yabu-kun
Subject: Re: Morning~
Kita ke theme park saja yuk...
Sudah lama aku tidak kesana...hehe..
(^.^)v

Miyuy melirik ke layar laptopnya yang sudah terhubung dnegan TobenaiTori. Miyuy membacanya dengan pelan. “Sesuatu akan terjadi hari ini di keramaian.”, bacanya. “Kebenaran akan terungkap.”, bacanya lagi.

“Apa sih?”, gumamnya.

Ia meng-scroll halaman situs itu karena ia rasa tulisan di halaman atas itu tidak menarik. “Warna keberuntunganku hari ini hijau.”, Miyuy tersenyum dan memutuskan untuk memakai baju warna hijau.

“Ah! Aku lupa membalas e-mail Yabu-kun.”, gumamnya pada diri sendiri. Lalu mengambil ponselnya.

To: Yabu-kun
Subject: Re: Morning~
Baiklah...
Aku tunggu di depan stasiun ya Yabu-kun..
^^

Tak lama, balasan dari Yabu kembali datang.

From: Yabu-kun
Subject: Re: Morning
Aku jemput kau jam 11 depan stasiun..
See you there,,,^^,,,
Aku mau bentou mu lagi...
:p

Miyuy tersenyum dan segera beranjak ke dapur. “Untukmu Yabu-kun”, gumamnya.
----------------------
“Neechaaaannn~ Neeechhaaaannn....”, Yuuri di luar kamar Opi dan mengetuk – ngetuk pintu kamar kakaknya itu.

Opi menutup kepalanya dengan bantal. Kenapa sih pagi – pagi seperti ini harus dibangunkan secara paksa? Ia paling benci harus bangun terlalu pagi.

“Neeeecchhaaannn!!! Banguuuunnn!!!”, teriak Yuuri lagi dari luar.

“Urusaaaiii!!”, teriak Opi lalu melemparkan bantalnya ke arah pintu.

Yuuri tampak tak peduli, “Ayo banguuuunn!!!nanti terlambaaaatt!!”

Opi tak mau juga membuka matanya, ini masih terlalu pagi.

Pintu kamarnya terbuka.

Yuuri menghampiri kakak semata wayangnya itu. Mengguncang badan Opi dengan tak sabar.

“Hari ini kan kita akan ke theme park....ayo cepat bangunnn!!”, paksanya sambil menarik tangan Opi dengan tak sabar.

Ya, Papanya mendapatkan tiket gratis masuk theme park dari kantornya.

“Aku tak ikut sajaaa...”, tolaknya menutup kembali badannya dengan selimut yang tadi sudah disibakkan oleh Yuuri.

Adiknya itu tampak tak peduli, “Neechaaann~ Kei-chan sudah menunggu loh...dia kan juga ikut...”, jelas Yuuri.

Mata Opi terbuka sepenuhnya.

“Hah?kenapa dia ikut?”, tanya Opi terduduk.

“Entahlah.. Mama yang mengajaknya. Kata Mama sih tiket yang Papa dapat itu untuk lima orang. Daripada tidak ada yang pakai, Mama mengajak Kei-chan.”, jelas Yuuri.

“Neechan senang ya? Ayo mengaku sajaaa..”, goda Yuuri.

Opi mendorong Yuuri menjauh, “Sudah sana keluar! Aku mau siap – siap.”, usirnya pada Yuuri.

“Huh! Kalau dengar nama Kei-chan saja langsung bangun. Dasar aneh.. orang yang sedang jatuh cinta begini ya?”, gumam Yuuri menjauh.

Opi melemparkan sebuah bantal lagi pada Yuuri. “Berisik!! Anak kecil tau apa?!!”

Yuuri berlari keluar kamar, “Akan kuberi tahu Kei-chan kau menyukainya!!!”, teriak Yuuri lalu menutup kembali pintu kamar kakaknya.

“Yuuuuurriiii!!! Mati kauuuu!!”, teriak Opi kesal.


Opi turun ke bawah setelah selesai bersiap – siap. Didapatinya seorang Inoo Kei sedang sarapan bersama kedua orang tuanya dan Yuuri juga.

“Ohayou~”, sapa Opi canggung.

Inoo hanya tersenyum melirik ke arah Opi, namun kembali konsentrasi pada kata – kata Mama yang sedang mengobrol dengannya.

“Sarapan dulu Opi...”, kata Papanya yang duluan menyadari anak gadisnya sudah turun untuk siap – siap pergi.

Mama melihat Opi dan menyuruhnya duduk juga.

“Papa kok gak bilang sama aku dapat tiket Theme Park?”, tanya Opi pada Papanya yang masih sibuk dengan koran nya.

Aneh juga sabtu begini Papa nya masih aja membaca koran.

“Mama tidak memberi tahu mu?”, tanya Papa dengan masih matanya menuju ke koran.

Opi menggeleng.

“Ah...Opi kan berada di sekolah terus , Mama tak sempat memberi tahunya...”, kata Mama menjawab pertanyaan Papa nya.

“Sedang sibuk?”, tanya Inoo pada Opi.

“Hah?”, Opi menatap Inoo, dan segera memindahkan pandangannya ke tempat lain.

‘Kenapa ia masih saja tampan sepagi ini?’, batin Opi.

Mama yang sudah sibuk dengan membuat bekalnya itu sudah berada di dapur lagi dengan Yuuri terus mengganggunya.

“Maa~ sedikit... perlombaan antar SMA akan segera dimulai. Walaupun aku hanya bisa ikut tiga pertandingan awal, tapi tetap saja aku harus membantu team ku.”, jawab Opi yang tertundak memandang roti yang sedang ia makan.

“Hanya tiga pertandingan?”, tanya Inoo heran.

“Ya... aku kan sudah kelas tiga, sudah waktunya memikirkan mau masuk ke Universitas mana...”, jawab Opi lagi.

“Ah iya... aku lupa kau sudah kelas tiga...”,

Opi memberanikan diri menatap Inoo. Sialnya, cowok itu malah sedang tersenyum menatapnya. Berusaha tak terlihat terlalu kaget, Opi juga ikut tersenyum.

“Enaknya yang sudah lulus dan tak usah memikirkan lagi ujian masuk...”, kata Opi.

“Hahahahaha~ kau lucu sekali... hanya kebetulan aku melewati SMA ku hanya dua tahun.”, ujar Inoo lalu menyesap lagi coklat panas, lalu mengacak pelan rambut Opi, membuat Opi semakin tak mampu menatap Inoo.

“Ah~ Kei dan Nee-chan... Mamaaaa~ mereka pacaran ya??”, teriak Yuuri yang ternyata sudah ada di hadapan Inoo dan Opi.

“Yuuurriiiii!!!!!”, teriak Opi yang mulai mengejar Yuuri yang berlari ke luar rumah.

Inoo hanya tersenyum melihat keduanya.

“Yuuri...jangan lari lari seperti itu!!”, teriak Mama yang sudah mulai mencuci piring, “Opi!! Berhenti mengejar adikmu!!!”, kata Mama lagi.

Senyum Inoo memudar. Suasana seperti ini tak pernah ia rasakan sejak ia memutuskan keluar dari rumahnya. Bagaimana kabar adik – adiknya pun ia tak tahu. Okaa-san sebenarnya sudah pernah meneleponnya beberapa kali, memohon Inoo pulang dan meminta maaf pada Otou-san, tapi ia merasa masih gengsi untuk pulang. Setidaknya ia harus sukses terlebih dahulu sebelum ia pulang dan berkata bahwa pilihannya tidak salah.

“Kei... tolooonngg!! Pacarmu maraaahh!!”, Inoo tersadar oleh teriakan Yuuri yang kini ada di belakangnya, bersembunyi dari Opi.

“Yuuri-chan... berhenti mengganggu kakakmu...”, kata Inoo menyentuh kepala Yuuri.

“Ah Kei jahat!! Membela pacarnya saja...”, kata Yuuri.

“Yuuurriii!!!:, protes Opi.

“Baiklah – baiklah...ayo berangkat... jangan ribut terus..”, kata Papa lalu menggamit lengan Yuuri.

Mama yang sudah siap juga ikut keluar rumah.

“Ayo pergi..”, ajak Inoo pada Opi.

Opi hanya mengangguk lalu mengikuti Inoo.

-----------------
Miyuy sudah berdiri di depan stasiun, dengan baju hijau seperti yang di katakan oleh ramalannya hari ini. Masih ada waktu lima menit sebelum waktu janjian mereka, Miyuy kembali menge-check bawaannya, dan bersyukur tidak ada yang ketinggalan.

“Miyuy-chan!!”, teriak seseorang.

Miyuy tentu saja tahu itu seorang Yabu. Orang yang sedang ia tunggu, yang juga kini sudah berstatus sebagai pacarnya.

“Sudah lama menunggu?”, tanya Yabu.

Miyuy menggeleng, “Aku baru saja sampai.”, jelasnya.

“Yokatta~ aku pikir aku akan terlambat. Ayo...”, Yabu kini tak canggung lagi menggenggam tangan Miyuy.

Yabu membeli tiket kereta yang menuju theme park yang akan mereka tuju.

“Kenapa ingin ke theme park?”, tanya Miyuy ketika mereka sudah di atas kereta.

“Hmm... kenapa ya? Mungkin karena aku memang ingin kesana denganmu..”, jelas Yabu.

“Yabu-kun gombal~”, kata Miyuy menyeembunyikan senyumnya karena ia senang.


“Kyaaaa~, ayo naik itu!! Naik itu!!”, seru Yuuri ribut.

“Gak mau..itu kan mainan anak kecil..”, tolak Opi melihat apa yang ditunjuk adik nya itu, sebuah permainan kereta mainan kecil yang mengelilingi sebuah rel kecil. Mati pun Opi tak mau menaiki nya.

“Nee-chan!! Nee-chan....ayo lah!!”, rengek Yuuri.

“Gak!! Kamu main sendiri aja!!”, tolak Opi lagi.

“Kei-chaaann~”, seru Yuuri yang kini melihat Inoo.

Inoo tampak enggan.

“Yuuri... masa kakak mu disuruh naik mainan seperti itu..”, kata Mama.

“Sudahlah.. kalian berdua pergi berdua saja, biar Mama dan Papa yang menjaga Yuuri.”, kata Papa menarik lengan Yuuri, “Ayo biar Papa antar ke mainan itu.”, serunya pada Yuuri.

“Eh?? Papa...”, Opi melirik ke arah Inoo.

“Sudah pergilah..”, kata Mama lalu menyusul Papa dan Yuuri.

“Baiklah...kita mau kemana dulu?”, tanya Inoo pada Opi.

“Hah?? Hmmm~ entahlah...”, jawab Opi canggung dan bingung mau kemana. “Hmm~ roller coaster?”, tanya Opi pada akhirnya.

Inoo menggeleng, “Iyada~ aku tak suka permainan seperti itu..”

“Eh?? Inoo-kun takut permainan seperti itu?”, tanya Opi kaget.

“Bukan takut.. harap di garis bawahi... aku hanya tak tahan dengan permainan seperti itu..”, kini wajahnya terlihat memerah, mungkin juga ia merasa malu karena tak sanggup naik wahana menantang seperti itu.

“Hahaha~”, Opi tertawa.

“Cukup..jangan tertawa lagi... ayo naik yang lain saja..”, ajak Inoo lalu berjalan meninggalkan Opi.

Opi menyusulnya, “Jangan ngambek gitu dong Inoo-kun..”

“Siapa yang ngambek?”

“Mengaku saja...”

“Aku tidak ngambek.”, jawabnya lagi.


“Miyuy-chan.. kau baik – baik saja?”, Yabu menuntun Miyuy yang masih sedikit shock setelah naik roller coaster.

“Maa~ yeah..”, jawab Miyuy.

“Benarkah?”, Yabu menyodorkan sebotol air mineral.

Miyuy minum lalu duduk, merasa masih sedikit pusing, “Yabu-kun... terima kasih.”, katanya lalu menyerahkan kemnbali minum itu.

“Masih mau naik permainan seperti itu lagi?”

Miyuy manyun, “Kita naik yang lain dulu saja...”, rengek Miyuy.

“Hai, hai, wakatta!! Ayo..”, Yabu kembali menuntun Miyuy.

Mereka mencari wahana lain yang akan mereka naiki, ketika Miyuy melihat sosok Opi di kejauhan.

“Sepertinya itu Opi..”, gumamnya.

“Siapa?”, ternyata Yabu mendengar.

“Opi!!!”, panggil Miyuy ketika ia sudah yakin itu Opi.

Opi menoleh ketika merasa dipanggil seseorang, ternyata itu Miyuy, dan juga Yabu tentu saja, mereka kan pacaran.

“Miyuy!!!”, seru Opi melambai ke arah Miyuy.

“Wah, Opi kesini juga? Aku fikir aku salah lihat tadi..”, kata Miyuy setelah mereka bertemu.

“Yah, aku juga tak menyangka..”

“KAUU!!!??”, teriak Inoo tiba – tiba.

Yabu juga terlihat sama marahnya dengan Inoo.

Miyuy dan Opi yang tak mengerti apa yang terjadi, kaget dengan teriakan Inoo.

Inoo mengepalkah jari – jarinya, ‘Kenapa bajingan itu ada disini’, batinnya.
----------------------
Melihat ke sekitar, sosok itu tak juga ditemukan. Din menghela napas dan melanjutkan aktifitasnya, melihat benda-benda imut di fancy shop. Kali ini tak ada Yuya yang –tanpa sengaja- mengikutinya, hanya dirinya, dan banyak orang lain yang tak dikenal.

Din merasakan ponselnya bergetar dan menerima panggilan dari nomor tak dikenal tersebut.

“Moshi moshi, Din desu...”, ucap nya ragu.

“Dinchan, Naomi desu...”, balas seorang diseberang sana, membuat Din agak terkejut hingga sedikit sulit mengeluarkan kata-kata.

“Ha, hai..Naomi-san...”, jawap Din kaku “..ada apa?”.

“Tadi aku melihatmu berjalan sendirian, lalu masuk ke fancy shop. Apa benar, atau yang kulihat itu orang lain?”, tanya Naomi dengan nada yang begitu ramah.

“Hai, hai, aku sedang ada di fancy shop sekarang...”, balas Din dengan nada yang berubah sedikit santai.

“Saa, kalau kau sudah selesai melihat benda-benda imut, maukah jalan-jalan bersamaku?”, tanya Naomi.

“E? Apa Jinjin juga ada bersama  Naomi-san?”, Din bertanya takut – takut.

“Hhm, aku sendirian, Jin sedang sibuk sekarang...”

“Matte kudasai, aku jalan keluar toko...”, Din yang masih bicara di telepon dengan Naomi melangkahkan kakinya keluar dari fancy shop dan mngedarkan pandangannya ke beberapa arah.

“Kenapa buru-buru?”

“He he, kebetulan tak ada benda yang aku suka...”, jawab Din.

“Ne~ kochi, kochi...”, Naomi melambaikan tangannya, ternyata gadis itu sejak tadi sudah berada di luar toko.

Pemandangan itu, membuat Din sedikit terkejut. Ditengah hari yang panas itu pun, Naomi tetap terlihat cantik. Duduk di kursi kemudi silver-grey Lamborgini tanpa atap membuat Din bisa jelas melihatnya.

“Yea, its a girl’s day out!”, ucap Naomi ceria seraya memantapkan genggamannya pada stir saat Din telah duduk di sebelah kanannya.

Ya, mobil itu mobil western sehingga kemudi berada di sebelah kiri.

Din hanya bisa tersenyum, sedikit gugup. Yang dimaksud Naomi dengan jalan-jalan, berbeda dari yang biasa dilakukannya bersama teman-teman.

“Eto...Naomi-san...”

Naomi menggeleng pelan “Bisakah kau hentikan panggilan formal macam itu?”.

“Eh?”, Din sedikit kaget.

“Jin bilang, Dinchan sudah sepertinya adiknya sendiri. Soshite, maukah kau jadi adikku juga?”, ucap Naomi tersenyum tapi masih tetap melihat lurus ke depan.

“Hmm, oke...”, jawab Din tanpa pikir panjang.

“Ah, terimakasih. Kalau begitu, maukah kau menganti panggilan formal itu, Dinchan?”.

“Hmmm, neechan...??”, Din tersenyum dan Naomi membalas senyumannya.

“Sejak kecil, aku ingin sekali punya adik perempuan. Kupikir Dinchan manis, punya adik perempuan sepertimu nampak menyenangkan juga...”.

“Eh...”, ucapan Naomi membuat Din tersipu dan tak bisa menjawab

“Yuya beruntung, ya...”, ujar Naomi, mengemudi dengan santai dijalan yang kini sudah tak banyak ditemui orang berramai-ramai lagi, highway dimana hembusan angin sangat terasa, meniup rambut pirang Naomi hingga tampak begitu indah, cantik, ia punya semua alasan untuk Jin menyukainya.

“Kenapa Yuya? Daripada Yuya, aku lebih suka Ji...”, Din menutup mulutnya sendiri meyadari apa yang baru saja diucapkannya, tak seharusnya ia katakan di hadapan kekasih seorang Jin.

“Ha ha, terlihat sekali”, tawa Naomi terdengar renyah, Din sama sekali tak menyangka jawaban apa yang akan diterimanya dari Naomi.

“Ano..maksudku...”

“Aku mengerti...”, kali ini, Naomi kembali tersenyum, menatap Din “..aku dan Jin punya rencana untuk tinggal bersama di Amerika...”, Din benar terkejut, tapi berusaha untuk tak berkata-kata, “..tapi kalau berarti harus meninggalkan Yuya dan Dinchan, rasanya berat juga...terutama untuk Jin”, tambah Naomi

“Sou...desu ka ?”, Din tak tahu harus menjawab apa.

“Jin banyak bercerita tentangmu. Ia sangat menyayangimu seperti adiknya sendiri. Terkadang aku juga merasa iri. Ha ha”

“Ha ha...”, Din hanya mengeluarkan sebuah tawa kecil, menyembunyikan kalimat ‘Akulah yang seharusnya iri pada Naomi karna memiliki semua yang diinginkan Jin’ rapat-rapat hanya dalam hatinya.

“Bahkan Jin menginterogasiku waktu aku meminta nomor ponselmu. Hello, I’m your girlfriend~ and did I look like a person who gonna do something bad?”, candaan Naomi berhasil membuat Din tertawa, sesaat melupakan perasaan sakit dihatinya

“Ngg, Naomi-neechan dan Jinjin..berencana untuk menikah?”, tanya Din tiba – tiba.

“Ne, pernikahan itu tak selalu seperti apa yang kau lihat, tak selalu seperti apa yang kau pikirkan...”, kata Naomi santai.

Din tak menjawab, hanya mengerutkan dahi tanda tak mengerti.

“Kalau aku tak ada, maukah kau menjaga Jin untukku, Imouto-chan?”

ucapan Naomi kali ini membuat Din semakin mengernyit heran, dengan banyak tanda tanya dipikirannya.

“Suara apa itu?!”, ucap Naomi tiba-tiba, Din juga merasakan apa yang dikatakan Naomi, suara yang sama sekali tak terdengar jelas. Keduanya pun tak menemukan sesuatu yang aneh di pemandangan yang terpantul melalui kaca spion, hanya sebuah truk besar yang berjalan maju.

Naomi mengarahkan mobilnya untuk menepi, tapi semuanya sudah terlambat, truk besar itu ternyata hilang kendali, meluncur begitu cepat dan menghantam mobil mungil yang ditumpangi Naomi dan Din.

“Oh, sh*t!”, Naomi memutar stir dengan cepat, melakukan semua yang ia bisa dengan segenap kekuatannya.

Sementara Din hanya menangis, menutupi wajahnya dengan telapak tangan, begitu ketakutan.

Segala yang dilakukan Naomi tak berhasil, Lamborgini itu meluncur jauh, menembus pembatas jalan, hanya ada jurang berbatu disana. Din bisa mendengar Naomi menyerukan beberapa kalimat, hingga suara yang begitu memekakan telinga terdengar.

‘Apa ini?? Ledakan?’, batin Din yang tak lagi bisa berfikir apapun.

Tak ada lagi suara Naomi terdengar, semuanya berganti suara gaduh yang saling berbaur.

Untuk Din, yang bisa dirasakannya...

...hanya gelap.

-------------------


TBC~
N.B: Maaf sepanjang jalan kenangan gini... ceritanya mau di bagi 2, tapi malah keterusan nulis.. ya sudahlah..itung2 bayara kita absen lama...
wakakakakak
douzo di komen...~ ^^