Minggu, 17 April 2011

[Fanfic] Accidentally In Love (chap 10)

Title : Accidentaly In Love
Chapter : Ten
Author : TegoMura
Genre : Romance
Rating : PG
Pairing : Miyabu,HikkaPy,TakaDin,InoOpi,Dainu
Fandom : Johhny’s Entertainment, Desperate Housewives
Disclaimer : Py, Miyuy, Din, Opi and Nu belong to theirselves, Hey! Say! BEST is belongs to JE. we don’t own them...Comments are LOVE minna~
P.S : di chapter ini banyak di ceritain soal Din ama Nu.... :P


Accidentally In Love
-Chapter 10-

“Tapi, aku sudah mengecewakan Miyuy, Pychan, Opi. Mereka mungkin…”, Nu berusaha menarik tangannya dari jemari Daiki.

“Dengar. Aku percaya, mereka akan memaafkan Nuchan, mereka menunggu Nuchan”.

“Hh…”

Berat hati, Nu melangkahkan kakinya menuju pintu kamar rawat Din. Ragu. Hanya beberapa helaan nafas yang terdengar. Sesuatu yang entah apa membuat Nu menghentikan tangannya sendiri sesaat hendak mengetuk pintu.

“Aku tak bisa…”, ujarnya, menundukkan kepala dan kemudian berbalik

“Ternyata disini…”

Sepasang lengan memberikan sebuah pelukan pada punggung Nu yang masih bergetar. Mengejutkannya.

“Dinchan!”, seru Nu begitu terkejut

“Hehe”, hanya sebuah cengiran yang menjadi jawaban Din. Cara seorang sahabat untuk mengisyaratkan sebuah glad-to-see-you-again

“Aah! Apa-apaan?! Ayo ke tempat tidur lagi, jangan terlalu banyak bergerak!”, nada bicara Nu terdengar panik, dengan sehati-hati mungkin memapah Din kembali ke tempat tidurnya.

“Aku baik-baik saja, jangan terlalu cemaskan aku…”, Din tampak menggembungkan pipinya.

Sementara ditempat yang dituju, tiga wajah tersenyum sudah menyambut mereka

“Selamat datang kembali…”, ujar Py tersenyum.

Mata Nu berkaca – kaca melihat senyuman itu. Senyuman yang begitu tulus.

“Kami kangen kalian…”, tambah Opi seraya memeluk kedua sahabatnya itu. Tentu saja, Miyuy dan Py juga tak akan melakukan apapun selain hal yang sama

seakan samar mulai terdengar

“Gomen ne…”, ucap Nu lirih

“Ng? Minta maaf buat apa?”, balas Miyuy

“Maaf, aku sudah egois. Mengacuhkan kalian. Sudah jadi sangat menyebalkan…”

“Hey, hey…ada apa ini?”, Dinchan mulai menaikkan sebelah alisnya, tak mengerti dengan apa yang terjadi

“Ah, bukan. Harusnya aku bilang terimakasih. Terima kasih sudah peduli padaku. Terima kasih sudah menjadi temanku sejak awal. Terima kasih untuk tak marah padaku. Terima kasih untuk masih menerimaku kali ini…”, menghapus air mata, Nu mulai mengurai senyuman tipis

“Eh? Kenapa jadi melankolis begini, sih?”, Opi bermonolog, menggaruk kepalanya yang samasekali tidak terasa gatal

“Tentu. Kita kan teman. Jadi tak perlu bilang maaf ataupun terima kasih”, lagi, Py memperlihatkan senyumannya

“Ya, ya! Kita ini satu, walaupun cuma bagian kecil yang hilang, mana bisa jadi lengkap…”, tambah Opi ceria

“Terima kasih…”

Seseorang menyaksikan pemandangan itu dari ujung pintu. Senyuman dibibirnya seolah mengatakan ‘aku berhasil’. Ia tak ingin -atau setidak nya, belum ingin- mengacau momen bahagia itu. Menonton dari kejauhan sudah cukup membuatnya senang.

“Hey, Daiki. Sampai kapan mau berdiri disitu terus?”, panggil Opi

“Eh?”, Daiki terkejut

“Eeh? Kalian kesini berdua?”, tanya Miyuy

“Memangnya ada kemungkinan lain?”, Din mencolek-colek Nu, mencoba menggoda

“Kyaaaa”, teriak Py pelan, tapi terdengar begitu histeris

“Ha? Kenapa harus sebegitu histeris? Kalian juga datang kesini sama-sama, kan?”, Nu terheran seraya meluncurkan sebuah tanya bernada datar

“Akhirnya, hanya Daichan yang bisa membawa Nu keluar dari kamar…”, lanjut Py

“Ah, itu…”, Daiki tak bisa membalas, hanya tersenyum malu-malu, membuatnya terlihat semakin inosen

“Yah, sudahlah”, timpa Nu dingin. Pikirnya, jerit histeris Py pasti akan terhenti bila mengetahui apa yang terjadi pada pipi kirinya beberapa waktu lalu

-----------

-Kereta dalam perjalanan pulang-

“Arioka…”

“Hm?”

“Buka telapak tanganmu”

Tanpa banyak pertanyaan, Daiki melakukan apa yang diperintahkan Nu

Nu meletakkan sesuatu di telapak tangan itu

“Apa ini?”

“Huh, anak balita saja bisa langsung tahu kalau itu sebuah kunci…”

“Iya, tapi kunci apa…?”

“Mulai sekarang, aku tak akan mengusirmu dari kamarku…”

“A, ah!”, Daiki seketika tak bisa menjawab ketika mendapati hasil pemikirannya

“Ne, Arioka…untuk yang telah kau lakukan, terimakasih…”

“Bukan masalah”, balas Daiki, tersenyum seperti biasa “Ah! Semuanya bukan gratis lho, Nuchan!”, bocah imut itu menarik kembali kata-katanya

“Ha? Jadi aku harus apa lagi?”, tanya Nu pada remaja manis yang sejak tadi duduk tepat disampingnya itu

“Panggillah dengan namaku”, ucap Daiki dengan wajah mantap

“Daiki…”, panggilan itu terdengar begitu pelan dan lembut, tapi sang pemilik nama bisa mendengarnya, terlebih ketika Nu mulai menyandarkan kepala dibahu kanannya dengan perlahan




“Ya, tetaplah begitu…”

Senyuman lembut itu kembali terlihat. Nu tak perlu khawatir sosok itu akan beranjak meninggalkannya.

Begitu nyaman.

Itulah, tempatnya.

Sekarang.

Tenang. Beberapa penumpang yang terlihat sudah nampak tertidur. Hanya ada suara sentuhan secepat kilat antara kereta dan rel listrik, juga yang menghias pandangan dari luar jendela hanyalah bias-bias cahaya yang dihasilkan remang malam.

“Hey, Daiki…aku tak benar membencimu…”

Tak ada jawaban

“Tidur, ya? Yah, sudahlah…”

-------------------

“Hmm...”, mata Yuya beralih dari satu benda ke benda yang lain

“Nona, tolong berikan topi yang cocok untuk seorang gadis manis...”, mendengar suara itu, membuat Yuya segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara

“Aniki!”

Orang yang dilihatnya itu. Tak salah lagi, Jin, kakaknya sendiri. Yuya melangkahkan kakinya dengan spontan kedalam kamar pas terdekat, menyembunyikan diri dari pandangan Jin.

Sama sekali tak disangkanya, kalau ide awalnya pergi ke toko fashion untuk membeli topi untuk Din –yang kepalanya masih berhias sedikit perban- justru membuatnya bertemu dengan sang kakak

“Uhh...”, sesuatu yang bahkan tak diketahuinya membuat Yuya dengan sabar mengintip dari balik pintu kamar pas, memenuhi rasa penasarannya pada apa yang akan terjadi

“Tentu tuan. Bagaimana dengan yang ini?”, tawar seorang pegawai toko pada Jin

“Ah, tidak-tidak...tolong berikan yang modelnya lebih casual, kurasa casual style lebih cocok untuknya...”

“Kalau begitu...yang ini?”, tawar pegawai itu untuk kedua kalinya, mengambil topi dengan model yang berbeda

“Hmm, sempurna. Tolong bungkus yang itu...”, pinta Jin tersenyum

Gadis manis

Casual style

Yuya semakin penasaran, “Untuk siapa aniki membeli topi itu? Apa aniki sudah dapat pacar baru, tapi Naomi...aah! Apa dia beli untuk Dinchan? Aniki kan sering memuji Dinchan manis, dan gaya casual, aah...”, rasa penasaran sekaligus gusar membuat Yuya tak menyadari mulutnya terus bergumam

“Apa ini untuk pacar tuan...?”, pegawai cantik itu mencoba bersikap bersahabat pada Jin. Mungkin untuk Yuya, justru  yang seperti itu akan membuatnya terganggu

“Bukan-bukan, aku memang menyukainya, tapi dia punya orang lain yang disukainya. Hahaha...”, Jin tertawa pelan tapi terdengar renyah

“Hah?! Orang yang disukai aniki menyukai orang lain?! Tapi siapa orangnya?!”

“Ah, sayang sekali. Tapi saya rasa, pria seperti tuan tak akan sulit untuk...”

“Hey, nona. Berapa lama lagi jam kerjamu akan selesai?”, tanya Jin sebelum pegawai itu menyelesaikan kalimatnya

“Sekitar setengah jam lagi”, balasnya tersenyum

“Mau jalan-jalan denganku?”, tawar Jin, dengan senyuman itu, mungkin tak ada perempuan yang akan menolak

Tak ada banyak kata-kata, Yuya hanya memukul keningnya sendiri, “Dasar aniki...”

“Baiklah...Ng, wajah tuan rasanya begitu familiar. Apa tuan artis atau semacamnya?”

“Ahahaha, banyak yang bilang begitu. Tapi sayangnya, aku orang biasa...”

Bohong. Jin justru telah memulai karirnya di dunia fashion model bahkan sejak masih sangat muda. Dan dunia itu pula yang mempertemukannya dengan Naomi...


----

Tersenyum. Din menatap refleksinya sendiri dalam cermin. Ia telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, keadaannya juga jauh membaik. Dan yang terpenting, Jin akan membawanya bertemu dengan Naomi, mereka sebentar lagi akan berkunjung ke mansion keluarga Lawrence

Beberapa kali ia membetulkan posisi topi dikepalanya. Saat ini masih ada perban yang menempel di kepala Din. Tapi Jin memberinya sebuah topi, Din menyukainya, terlebih karna itu pemberian dari Jin

“Sudah...sempurna”, suara yang bersumber dari seseorang di ujung pintu itu mengejutkan Din

“Yuya?!”

“Cocok sekali, topi itu cocok sekali untukmu...”, tersungging senyuman tipis dari bibir Yuya

Din seakan tak percaya dengan apa yang ditangkap oleh pendengarannya. Tuan Takaki Yuya yang sombong itu memujinya. Sempurna katanya. Cocok katanya. Dan senyuman itu...Sangat aneh. Selama ini, apapun yang dikenakan Din pasti mendapat celaan dari Yuya, terlebih lagi bila Yuya tahu yang dikenakan Din adalah pemberian dari sang Aniki

“Tak ada yang perlu dibetulkan lagi. Kau sudah tampak cantik. Jadi sekarang, ayo turun, Aniki sudah menunggu...”

Dan sekarang...cantik

“Hah, mungkin efek kecelakaannya belum sepenuhnya hilang. Kepalaku terbentur sampai ejekan Yuya terdengar seperti pujian...”, gumam Din. Tak ada sepuhan merah khas dari seorang gadis yang dipuji penampilannya, justru Din saat itu ingin menampar pipinya sendiri


-Dibawah tangga-

“Jin, apa kau yakin?”, ekspresi keraguan tampak di wajah seorang pria muda berrambut coklat muda

“Tenanglah, Toma...”, Jin hanya menepuk bahu sahabatnya itu

“Hh, apa boleh buat. Aku percaya padamu, kawan. Kau selalu mengerti apa yang akan kau lakukan”

Pria itu, Ikuta Toma, yang tak lain adalah kakak dari Ikuta Din. Toma sengaja membolos dari rutinitasnya karna ingin mengetahui keadaan adik tersayangnya. Pekerjaannya sebagai dokter trainee di bagian forensik rumah sakit pusat membuatnya jarang bisa pulang ke rumah bahkan sejak Toma menempuh pendidikannya di bidang itu.

“Aku merindukanmu, Toma.  Lama sekali aku tak menghabiskan waktu bersamamu dan Tomo , aku tak menyangka ternyata kau kembali karna alasan seperti ini...”

“Aku turut bersedih untuk gadismu, Jin...”

Jin hanya mengalihkan pandangannya yang sejak tadi menatap langit-langit kini berubah menatap lantai, berusaha mengembangkan senyuman

“Juga Dinchan...aku sangat berterimakasih padamu karna selalu menjaganya. Kau yang selalu berada disisinya, bukan aku...Sejak dulu, aku memang bukan kakak yang baik...”

“Yes, you are”, celetuk Jin

“Sejak kecil pun, ketika aku berlari meninggalkan Dinchan supaya tak mengikutiku main dengan anak-anak laki-laki, kau justru berbalik dan mengajaknya...”

“Kau terlalu kejam, Toma”, Jin meninju bahu toma pelan

“Hey, waktu itu aku masih kecil. Kupikir, kalau anak perempuan yang ikut main, justru akan merepotkan, kelompok kita bisa-bisa kalah terus”

“Tapi ternyata Dinchan pintar, kan...?”

Toma tersenyum “Kau selalu membelanya, Jin. Lebih dari yang aku lakukan...Bahkan dulu kau memberiku ultimatum akan merebut Dinchan dariku”

“Ha ha ha. Waktu itu wajah sewotmu tampak lucu sekali, Tomo juga ikut mengejek!”

“Huh”, Toma tampak mencibir, tak bisa membalas kata-kata Jin. Tapi dalam hatinya ia senang, Jin tak pernah berubah, dia selalu bisa tertawa dengan apapun yang terjadi.

“Cukup membicarakan masa muda, kakek-kakek...”, Yuya membuyarkan nostalgia kedua sahabat itu dengan kurang ajarnya

“Ah, Yuya”, Toma menoleh kearah datangnya suara. Yuya, dengan Din dibelakangnya

“Niichan, aku berangkat...”, ucap Dinchan ceria

“Ng, ya...”, balas Toma sedikit ragu. Jin kemudian melempar sebuah senyuman untuk meyakinkan sahabat karibnya itu

-------------------

“Jinjin~ kenapa sejak awal tak beritahu kalau Naomi-neechan sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit? Aku kan khawatir, dan kalian tak pernah menjawab pertanyaanku dengan benar...”, Din memvokalkan sebuah kalimat dengan nada manja

Sekejap, Yuya yang sejak tadi matanya menatap keluar jendela mobil, beralih pandang kearah Din. Tanpa kata. Dan pandangan itu, begitu sulit diartikan

Din sedikit mengerutkan keningnya. Menurutnya, terlalu banyak yang aneh dari Yuya sejak kepulangannya dari rumah sakit. Memujinya, itu aneh. Dan Yuya yang lebih sering diam tanpa melemparkan celaan-celaannya, terlebih aneh. Saat seperti itu, Din berpikir bahwa Yuya bisa menjadi terlihat sangat...cool.

Sementara Jin tak menjawab, tapi Din bisa melihat senyuman lembutnya dari spion depan.

-------------

-Mansion Keluarga Lawrence-

“Jadi kau yang bernama Ikuta Din...”, figur wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu dari Naomi itu menatap Din nanar beberapa saat setelah ia memperkenalkan diri.

“...ah, y..ya...”

“Syukurlah, kau selamat!”, terkejut, Din bisa merasakan kedua lengan itu mendekapnya erat. Terguncang, wanita itu mulai terisak



Din tak bisa berkata. Pikirnya masih banyak bertanya. Kenapa penyambutan dari ibunda Naomi-neechannya bisa begitu...berlebihan

“Ah, maafkan...aku masih terbawa emosi...”, wanita Jepang yang bermarga Lawrence itu melepaskan pelukannya dan menundukan kepala untuk menyeka airmatanya yang sempat mengalir. Sementara pria pirang bermata safir yang berada tak jauh dari mereka kemudian merangkul bahu wanita itu untuk menenangkannya

Jin meraih jemari Din dan menggenggamnya. Bingung. Din menggigit bibir bawahnya dan menatap Jin dengan pandangan sedih

Hanya beberapa langkah dari ruangan itu. Mereka bisa melihat Naomi.

Ia terlihat cantik. Tersenyum begitu tulus dengan rambut pirangnya yang terurai.

Masih terlihat cantik. Selalu terlihat cantik...

Sekalipun figur itu hanya bisa dilihat dalam sebuah fotograf. Terbingkai indah bersama benda-benda lain disekitarnya

Buah-buahan dan makanan untuk persembahan

Lilin-lilin yang masih menyala

Dupa

Guci keramik kecil

Naomi akan selalu terlihat cantik...

Sekalipun mereka hanya melihat fotografnya

Dalam altar persemayaman

Terdiam. Din masih belum bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Tak ingin percaya. Ia berharap apa yang baru saja diketahuinya hanyalah sebuah lelucon bodoh diawal bulan April

“Jinjin, Naomi-neechan...”, nada bicaranya kini sedikit bergetar.

Yuya bisa melihat, kakaknya itu tak bisa menjawab, hanya menunduk dan mempererat genggamannya diantara jemari Din

Saat itu juga, tangis Din mulai pecah. Terisak hebat dihadapan altar persemayaman itu

“Naomi-neechan...”

Figur cantik itu. Mata safir menyejukkan. Helaian rambut pirang indah itu. Tawa renyah dan senyuman ramah itu. Sekarang Din tak akan bisa melihatnya lagi

Untuk mengucap selamat tinggal rasanya teramat pahit dan menyedihkan. Ia tak ingin percaya. Masih berharap ini hanyalah semua lelucon, kalaupun bukan, ini hanyalah mimpi buruk. Seseorang kelak akan membangunkannya dan keadaan kembali membaik

Semuanya begitu nyata. Bukan lelucon. Tak ada mimpi buruk, tak ada yang membangunkan

Pahit itu memang nyata. Sedih itu mesti dirasanya

Kehilangan

Sesak

Jin bergerak untuk mendekap Din. Berharap bisa menenangkan gadis itu biarpun sedikit

Airmata terus mengaliri pipi putih Din. Menggumamkan sebuah nama dalam isaknya. Sementara Sang Pemilik Nama terus tersenyum

Senyuman cantik abadi yang hanya bisa dilihat dalam fotograf

---

FLASHBACK

-Sore hari di kamar Yuya-

“Aah, aku kehabisan pocary...”, menengadahkan kepala, hanya dua sampai tiga tetes terakhir yang jatuh kemulut Yuya. Menghafal sejarah dengan langsung melisankannya cukup berhasil membuat tenggorokannya kering

“Aku harus ambil beberapa kaleng lagi...”, kaki Yuya turun menapaki satu persatu anak tangga

Sepi. Kedua orangtuanya masih berada di luar kota untuk keperluan pekerjaan, mereka hanya menyempatkan pulang ketika mendengar berita kecelakaan Din dan Naomi. Jin, tentu saja Yuya sampai dirumah lebih dahulu. Sekilas, Yuya mendengar sebuah ‘Tadaima’ ditengah waktu belajarnya, tapi ia tak terlalu peduli dan tenggelam dalam hafalan sejarahnya, bukan tanpa alasan, tapi karna beberapa bulan lagi ujian final akan datang

KLONTANG



“Aniki? Is that you?”, tanya Yuya ketika mendengar suara kaleng minuman yang jatuh. Ragu, ruangan yang dirasanya merupakan tempat bersumbernya suara bahkan sama sekali gelap

“Yuya...masih bangun, ya...”

Yuya menemukan Jin seketika ia menyalakan lampu ruang tengahnya. Jin yang nampak sangat kacau. Tapi itu bukan jadi yang pertama untuk Yuya

“Aniki...aku tahu aniki sangat sedih, tapi kumohon berhentilah minum-minum seperti itu...”, ucap Yuya terdengar sangat sedih memandangi kakak  semata wayangnya terlihat kacau dengan botol juga beberapa kaleng minuman beralkohol disekelilingnya

“Hey, Yuya...bagaimana persiapan ujianmu...?”, tanya Jin. Yuya bisa dengan jelas mencium aroma alkohol yang begitu menyengat ketika beralih mendekat. Ia tak menyangka bahwa kakaknya bisa jadi sedemikian rapuh

“Sudahlah, Aniki...tolong jangan minum lagi, Naomi-san juga pasti tak akan menyukainya...!”, Yuya mulai membereskan kaleng-kaleng bekas minuman ke tempat sampah –bahkan yang masih berisi-

“Aaah, tapi Yuya...”, protes Jin “..aku bahkan bisa lihat Naomi...dia sekarang jadi bidadari...he he he”

“Hh...”, menghela napas, sekarang Yuya tahu kalau kakaknya sudah benar-benar mabuk

“Aniki, aku akan membawamu ke kamar. Sekarang tidurlah, besok pagi panggil saja aku kalau Aniki butuh obat sakit kepala...”

Perlahan, Yuya mulai memapah Jin berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Memang bukan pekerjaan yang mudah, bahkan Jin terus mengoceh tak jelas selama Yuya susah payah memapahnya

“Hmm, ternyata kau manis juga ya...Yuya...”, masih dengan ocehannya, Jin kemudian menempelkan bibirnya di bibir Yuya. Hal itu membuat Yuya kontan mendorong Jin. Beruntung, mereka sudah sampai di depan tempat tidur Jin, jadi Jin mendarat di tempat tidurnya tanpa harus menderita sakit karna jatuh di lantai

“A, apa yang Aniki lakukan?! Itu menjijikan!”, wajah Yuya berubah merah karna kesal bercampur malu

“Kenapa, Yuya...?”

“Ah! Sudahlah!”, ujar Yuya frustasi sekaligus meratapi nasibnya --hanya di dalam hati. Semua hal bisa saja bisa terjadi pada orang yang tengah berada dalam pengaruh alkohol

“Ah, ya!”, sebuah ide tiba-tiba muncul dari pikiran Yuya “Aniki, aku ingin tahu untuk siapa Aniki membeli topi di toko xyz tadi siang!”, ujar Yuya langsung pada sasaran

“Hey! Kau tahu aku pergi ke toko untuk membeli topi! Ternyata adikku punya bakat esper!”, jawaban dari Jin hanya membuat Yuya memicingkan mata

“Bukan itu...Ayolah, Aniki...katakan padaku siapa gadis yang Aniki maksud! Yang Aniki sukai, yang Aniki ceritakan pada pegawai toko...”, Yuya beralih duduk di hadapan Jin, diatas tempat tidurnya

“Kau begitu ingin tahu, Yuya...kalau begitu, tebaklah...”, Jin tersenyum, dari matanya, Yuya bisa memastikan kalau kesadaran belum kembali pada Jin

“Apa dia...Dinchan?”, tebak Yuya

“Kau benar-benar punya bakat esper, adikku!”

“Apa?!”, Yuya membelakakkan matanya

Jin tak membalas

“Lalu...lalu kenapa Aniki kabur dari perjodohan yang telah dirancang? Perjodohan antara putra pertama keluarga Takaki dengan putri keluarga Ikuta! Kenapa Aniki tidak menerima perjodohan itu?!”

Jawaban dari Jin membuat Yuya memunculkan sebuah pertanyaan besar. Tentang masa lalu mereka. Tentang Jin yang kabur dari rumah karna menolak perjodohannya dengan putri keluarga Ikuta yang tak lain adalah Dinchan yang sejak dulu disukainya.

“Alasannya...alasannya adalah kau, Yuya...!”, Yuya semakin terkejut ketika Jin mengarahkan telunjuk ke dadanya masih dengan ekspresi khas orang yang tengah mabuk

“Ma, maksudnya?!”

“Aku tahu, Yuya. Aku tahu, sejak dulu kau menyukai Dinchan. Walaupun kau selalu melakukan hal-hal konyol padanya, tapi aku bisa membaca dengan jelas kalau kau suka dia. Aku kabur dari perjodohan supaya kau bisa bersamanya, Yuya!”, Yuya seolah tak bisa berkata mendengar pemaparan yang keluar dari mulut Jin secara gamblang. Ia berani bertaruh, dalam keadaan sadar, Jin tak mungkin bertutur sejujur itu

Yuya masih mematung, pikirannya belum sepenuhnya bisa mencerna apa yang dipaparkan Jin. Masih terkejut.

“Aku menyayangimu, Yuya. Sejak kepergian ibu, mendapatkanmu sebagai adik seperti membawa harapan baru untukku, harapan untuk jadi anak yang baik, menjadi seorang kakak...”

Ya, wanita yang dipanggil ibu oleh Jin dan Yuya saat ini adalah ibu dari Yuya. Sementara wanita yang melahirkan Jin meninggal karna kecelakaan saat Jin berusia lima tahun dan kemudian ayah mereka menikahi wanita yang kelak melahirkan Yuya, sebagai adik dari Jin. Begitu yang pernah Yuya dengar dari ayah mereka.

“Aku sangat menyayangimu, juga Dinchan...Aku tak ingin mengecewakanmu, kabur dari perjodohan dengan harapan kau bisa bersama Dinchan. Kupikir aku masih bisa tetap menunjukkan perasaanku padanya dengan cara lain, memperlakukannya seperti adikku...”, pengakuan Jin masih berlanjut

“Tapi Dinchan juga sejak dulu selalu menyukai Aniki. Dia terobsesi pada Aniki!”

“Yuya...aku bisa melihat perbedaan dari caranya melihatmu...”

Yuya tak bisa membalas

“Berusaha mengabaikan perasaanku sendiri ternyata tak mudah. Walaupun aku mengencani banyak gadis, semuanya terasa hampa. Ketika aku bertemu Naomi, dia mulai mengisi kekosongan di hatiku. Tapi sekarang, Naomi...”, Jin mulai terlihat frustasi

“Tak apa, Aniki...aku mengerti...”, entah hal apa yang mendorong Yuya untuk mendekap Jin kedalam pelukannya. Baginya itu terasa sangat...aneh, dan pastinya, canggung. Tapi Yuya sangat ingin menenangkan kakaknya itu. Saat Jin mulai menangis, hatinya juga terasa sakit. Terlebih setelah pengakuan yang dilakukan Jin dalam keadaan tak sadar. Jin telah banyak menderita rasa sakit. Ia mengorbankan perasaan pada Dinchan yang disukainya. Jin juga kembali kehilangan, setelah kehilangan ibunya dalam kecelakaan, sekarang hal itu berulang pada Naomi

“Ne, oyasumi...”, ucap Yuya lembut ketika mematikan lampu kamar Jin dan menutup pintunya.

Kalimat demi kalimat dari pengakuan Jin terus berlalulalang di pikirannya.

“Hh...”

Galau. Yuya menyandarkan kepalanya di pintu kamar Jin, menghela napas berat. Ia masih tak bisa percaya akan apa yang telah didengarnya.

Jin. Sekalipun Yuya telah bersama sang kakak selama 18 tahun hidupnya, tapi banyak hal yang baru diketahui dari kakak sematawayangnya itu.

Yuya mengagumi Jin. Tentang pembawaannya yang menyenangkan. Kedewasaannya sebagai seorang kakak. Caranya menjalani hidup dengan penuh kebebasan. Dan Jin tentunya punya semua yang disukai dan diinginkan Din. Tanpa pernah diungkapkan, Yuya selalu ingin menjadi seperti sang kakak yang begitu disukai Din. Tapi dibandingkan dengan Jin, sekaligus membuatnya sangat kesal karna merasakan tak adanya penghargaan sebagai seorang individu untuknya, hanya adik-dari-Takaki Jin.

Dibalik semua tingkah konyol yang menyenangkan, ternyata Jin menyimpan kesedihan. Mengorbankan perasaannya sendiri demi Yuya. Yuya selalu berpikir bahwa mengencani banyak gadis adalah ekpresi Jin untuk menunjukkan kebebasan hidupnya.  Ternyata Yuya salah, itu hanyalah upaya Jin mencari tempat dimana perasaannya akan berpaut. Naomi begitu sempurna untuk Jin. Ia sama sekali berbeda dari gadis-gadis lain yang menjadi teman kencan Jin.



END OF FLASHBACK
------------------------

Andai saja Yuya sudah mendapatkan lisensi mengemudinya, ia akan duduk di bangku kemudi dan membiarkan Jin duduk bersama Din di bangku penumpang.

Jin membiarkan Din untuk menangis hingga ia lega. Nafasnya kini terengah. Bibirnya kelu dan wajahnya sembab luar biasa. Kepalanya mulai pusing dan perutnya terasa mual karna terlalu banyak menangis.

Yuya sedikit banyak menyesali dirinya sendiri yang tak bisa menenangkan Din sebaik Jin. Saat gadis itu mulai terguncang sedih, seharusnya jemari Yuya yang menyilang dan menggenggam erat tangannya. Saat tangis mulai pecah, harusnya Yuya yang datang mendekapnya. Begitu yang diinginkan Yuya, tapi ia tak bisa.

Saat Din masih menyisakan isaknya, Yuya hanya bisa diam –hatinya ikut merasakan perih. Sekalipun ia duduk disamping gadis itu. Yuya benci itu. Dulu ia bisa menenangkan Dinchan yang menangis, tapi kenapa saat ini terasa berbeda.

Juga Jin, matanya hanya menatap lurus kejalanan luas di depan yang mereka lalui. Yuya yakin, saat ini Jin ingin menangis, tapi ia berusaha untuk kuat, berpura-pura terlihat kuat.

--------------


Py kembali mencoba menghubungi Hikaru untuk keberapa kalinya. Ponsel Hikaru tak aktif, Py sedikit khawatir dengan keadaan Hikaru yang tak juga ada kabar. Sudah beberapa hari pula Hikaru tak datang ke sekolah. Py yang tak sanggup untuk bertanya pada tiga teman Hikaru yang lain, ia malu untuk sekedar bertanya pada Yabu atau Taiyou.

Di tambah Py tahu Yabu sedang ada masalah dengan Miyuy, menambah ke tidak percayaan Py untuk bertanya pada Yabu.

“Huufftt~”, Py melepaskan nafas berat.

Sudah hampir empat hari, dan atap ini terasa sangat kosong tanpa kehadiran HIkaru. Tapi Py sedikit heran, dengan tak adanya Hikaru, ia lebih sering menggambar lagi, dan tentu saja ia menggambar sosok Hikaru.

Py kaget ketika seseorang terdengar datang ke atap. Jarang sekali ada yang mau mengunjungi tampat tertinggi di sekolahnya itu.

“Miyuy-chan??”, Py kaget melihat sosok Miyuy yang datang tiba – tiba.

“Hi Py!!”, sapa Miyuy lalu duduk di sebelah Py.

“Ano…. Daijoubu??”, tanya Py takut – takut.

Miyuy merebahkan kepalanya di bahu Py, menggeleng pelan. “Aku tak tahu apa menghindar darinya adalah keputusan tepat… tapi aku juga tak sanggup berdekatan dengannya….”, jelas Miyuy.

Py tak mampu menjawab. Baginya yang tak pernah mengalami masalah percintaan sangat sulit untuk dirinya memberi nasehat atau pandangan.

“Py menunggu Yaotome-kun?”, tanya Miyuy mengagetkan Py.

“Eh??hmmm~ tidak kok…”, jawabnya gugup.

“Sou…. Kukira kau menunggunya…”, imbuh Miyuy sambil baranjak dan menuju pinggir atap. Entah apa yang Miyuy pikirkan, tapi keduanya sibuk dengan pikiran masing – masing.

“Dinchan terpukul sekali ya… ia belum masuk hingga hari ini…”, kata Py akhirnya membuka pembicaraan.

“Ya…”, jawab Miyuy pelan.

“Aku juga akan begitu jika aku jadi Dinchan…”, ungkap Py lagi.

Miyuy kembali tak menjawabnya.

“Aku mau ke perpus ya Py-chan… mau ikut?”, tanya Miyuy sambil beranjak.

Py menggeleng, “Aku disini saja..”, jawab Py.

“Baiklah…”, Miyuy meninggalkan Py sendiri lagi.

Py kembali melihat ke arah ponselnya yang belum juga berbunyi sejak tadi. Py mulai ber asumsi jika terjadi sesuatu pada Hikaru.

“Apa dia sakit dan tak ada yang merawatnya?”, tanya Py dalam hati.

“Atau dia kecelakaan?”

“Atau dia…..”

Semakin lama justru pikirannya semakin kacau. Py membuka buku sketsa nya. Memutuskan bahwa menggambar adalah satu – satu nya cara dia untuk melupakan kenyataan bahwa Hikaru tidak ada.

“Menggambar apa?”, tanya seseorang mengagetkan Py.

“Kyaaaa~”, teriaknya panik dan menutup buku sketsanya.

Ia dihadapan Py.

Tersenyum seperti biasanya.

Tak ada yang kurang dari senyum itu

“Hikka-kun~ “, panggil Py lirih.

Rasanya sudah sangat lama ia tak melihat Hikaru di hadapannya.

“Tak usah kaget begitu…”, ujar Hikaru lalu duduk di samping Py, menyentuh pipi Py pelan dengan kedua tangannya.

Py masih diam karena tak sangka ia malah merasa sangat rindu pada Hikaru. Sehingga rasanya seperti mimpi melihat Hikaru di hadapannya.

“Apa kabar?”, tanya Hikaru, seakan tak terjadi apa – apa.

“Baik..”, jawab Py menunduk karena baru sadar ia memandang Hikaru cukup lama.

Keheningan terjadi setelahnya. Hikaru menggenggam tangan Py namun tak bersuara sedikitpun. Tidak seperti Hikaru yang biasanya.

“Hikka-kun…”, panggil Py pelan.

“Ya?”

“Anou…. Hikka-kun kemana saja? Aku jarang melihatmu di sekolah…”, kata Py pelan. Ia tak mau bilang kalau ia menunggu Hikaru di atap ini setiap hari.

“Ada sesuatu yang harus kuurus..”, jawab Hikaru, mempererat genggamannya pada Py.

Tak seperti Hikaru yang biasa sangat ceria, Hikaru yang kali ini di hadapan Py sangat pendiam.

“Pulang sekolah mau ke taman?”, seru Hikaru yang terdengar seperti ajakan kencan.

Py mengangguk.

--------------

Yabu menuju perpus. Walaupun bukan kebiasaannya berdiam diri di perpus, tapi seridaknya suasana hening disana dapat sedikit membuatnya lebih baik. Ia benci perasaan bingung seperti ini, dan dalam keadaan seeprti ini, ia juga tak mau diganggu oleh Shoon atau Taiyou.

Suasana perpus memang bukan hal yang biasa untuk seorang Yabu yang biasanya berada di tempat keramaian. Sehingga kali ini pun Yabu merasa sedikit bosan di tempat ini, namun tempat inilah yang paling tidak mungkin didatangi ketiga temannya, sehingga ia bisa sendirian. Pikiran Yabu sedang kacau, Miyuy tak mau dihubungi, sama sekali tak ada kabar, bahkan di sekolah pun rasanya sulit menemui Miyuy.

Jemari Yabu memainkan buku yang entah apa judulnya ia pun tak tahu. Ia hanya bergerak tanpa berfikir apapun.

“Eh? Yabu-kun…”, panggil seseorang.

Yabu menoleh, dan setelahnya kaget dengan siapa yang dihadapannya. Yabu tak menjawab panggilan itu, hanya memandang sosok di hadapannya sekarang.

“Hisashiburi…”, sapanya lalu menghampiri tempat Yabu.

“Ah yea~ hisashiburi…”, jawab Yabu akhirnya.

“Ada apa Yabu-kun? Tak biasanya kau ada di perpus…”, seru orang itu karena tahu kebiasaan Yabu.

Lagi – lagi Yabu enggan menjawab.

“Pasti kau ada masalah ya?”

“Maa~ bisa dibilang seperti itu.”, jawab Yabu singkat.

“Aya!! Aku menemukan buku itu!”, seru seseorang memanggil gadis di hadapan Yabu.

“Iya! Aku kesana…”, lalu menoleh kemabali pada Yabu, “Aku duluan Yabu-kun… mudah – mudahan kita bisa bertemu lagi..”, kata gadis itu lalu tersenyum.

Yabu bahkan masih bingung ketika Ayame meninggalkan tempat itu, kenapa Ayame menyapa nya?

-----------------

Genggaman tangan Hikaru tak terlepas dari tangan Py sedari tadi. Tapi tak seperti Hikaru yang selalu ceria, kali ini tampaknya Hikaru cukup murung. Py hanya bisa menurut kemana Hikaru membawanya tanpa banyak protes, dadanya bergemuruh karena senang dan lega melihat Hikaru lagi.

Hikaru mengajak Py duduk di bangku taman yang biasa mereka datangi. Tempat ini juga yang menjadi saksi mereka menjadi dekat.

“Py….”, panggil Hikaru pelan.

Tanpa menjawab, Py menoleh memandang Hikaru.

“Kali ini langitnya cukup cerah…”, kata Hikaru seakan bermonolog.

Py ikut menengadah melihat langit sore yang memang terlihat cerah dengan semburat jingga memenuhi warna langit.

“Un…”, jawab Py.

“Py pernah bilang kalau Py paling suka sama langit cerah kan?”, ujar Hikaru lagi.

Py mengangguk.

“Aku juga suka langit cerah…”, kata Hikaru.

“Kenapa?”

“Karena mengingatkanku pada Py.. hehe…”.

Py hanya diam saat ia merasa genggaman Hikaru semakin kuat.

“Ada yang salah?”, tanya Py akhirnya mencoba berani bertanya pada Hikaru.

Hikaru menjawab dengan senyumannya, lalu menggeleng pelan, “betsu ni… tidak ada apa – apa kok…”

Py ingin sekali tahu apa yang sedang Hikaru rasakan. Setidaknya ia ingin meringankan beban Hikaru sedikit saja. Karena tampaknya Hikaru sangat murung.

“Hikaru-kun…”, panggil Py.

Hikaru tak menjawab, menggenggam tangan Py lebih erat. Mereka terdiam. Merasakan kehenigan yang justru membuat mereka tenang dan damai, ditemani oleh langit sore itu.

---------------

Kejadian sapa menyapa siang itu di perpus membuat Yabu heran setelah sore itu ketika ia hendak pulang, sosok Ayame ada di depan kelasnya.

“Yabu-kun!!”, sapanya ceria.

Yabu hanya memandang Ayame tanpa kata – kata karena terlalu heran.

“Ada yang ingin aku bicarakan!!”, serunya.

“Hmmm~ aku tak bisa sekarang Aya… aku ada urusan..”, elak Yabu cepat.

Ayame menunjukkan wajah sedih, “Baiklah… besok bagaimana?”, tanya nya lagi.

Yabu mengangguk, “Maa~ baiklah…”, jawabnya sekenanya.

Yabu hari itu akan ke rumah Miyuy. Bagaimana pun ia harus menjelaskan semuanya pada Miyuy. Walaupun ia tahu, seharusnya Miyuy sekarang masih marah padanya.

Selain itu ia juga akan ke apartemen Hikaru.

Sesampainya di depan rumah Miyuy, dengan perasaan tak tentu Yabu men dial nomor Miyuy, ia tak yakin akan di angkat, tapi setidaknya ia mencoba.

Benar saja, setelah nada sambung berakhir, belum juga ada jawaban.

Akhirnya Yabu memutuskan untuk memencet bel rumah Miyuy. Walaupun ia tak yakin apa yang ingin ia katakan saat itu.

Tak lama seseorang keluar.

“Eh? Yabu-kun?”, Miyuy lah yang keluar saat itu.

“Aku ingin membicarakan sesuatu…”, kata Yabu akhirnya.


“Ne… Miyuy-chan… soal waktu itu… gomen…”

Mereka berdua tak bicara di rumah, Miyuy membawa Yabu ke sebuah taman dekat rumahnya.

“Wakatta!!”, teriak Miyuy tiba – tiba.

Yabu menoleh karena kaget dengan apa yang Miyuy katakan.

“Aku tahu Yabu-kun saat itu hanya terbawa emosi sesaat. Maafkan aku meragukan Yabu-kun… setelah kupikir… aku juga keterlaluan..”, kata Miyuy.

Beberapa hari setelah itu, Miyuy terus berfikir tentang hal ini, dan ia pun punya satu kesimpulan kalau memang saat itu tak ada yang salah, semuanya hanya salah paham saja. Ia hanya terbawa emosi juga hingga meninggalkan Yabu begitu saja.

“Miyuy-chan…”

“Aku percaya pada Yabu-kun…”, kata Miyuy lagi lalu tersenyum pada Yabu.

Mau tak mau Yabu tersenyum juga, rasanya tak ada lagi yang perlu ia khawatirkan saat itu. Secara refleks tubuh Yabu mendekat dan mendekap Miyuy.

“Eh? Yabu-kun…”

“Maaf telah membuatmu khawatir…”, bisik Yabu.

Miyuy hanya mengangguk, ia tahu ia bisa mempercayai Yabu.


-------------------

Hingga hari ini Opi masih belum bisa melupakan kejadian saat Inoo mencium keningnya di bianglala. Ia terus saja terbayang ekspresi wajah Inoo yang walaupun penuh memar saat itu, serius dan sangat sungguh – sungguh.

Tak ada pernyataan apapun, dan mereka hanya diam hingga mereka pulang, tapi genggaman tangan Inoo tak lepas dari tangan Opi, dan itu membuat pipi nya selalu memerah saat memikirkan wajah Inoo. Opi menggelengkan wajahnya, menampar pipinya pelan.

“Tidak boleh!!! Jangan berfikiran macam – macam!!”, perintahnya pada diri sendiri di kaca.

“Nee-chan…”, panggil seseorang dibalik pintu, yang tak perlu diragukan lagi itu pati adiknya yang selalu ikut campur urusannya.

Opi menoleh, “Apa?”

“Pacarmu datang tuh~”, goda Yuuri sambil mendekati kakaknya.

Dengan sigap Opi melempar sebuah bantal pada Yuuri, “Dia bukan pacarku!!”, elak Opi.

“Bohong!!”, seru Yuuri sambil menangkap bantal itu, “Aku kan liat Nee-chan dan Kei-chan berpegangan tangan waktu di mobil… ayo ngaku!!”, seru Yuuri lagi.

Tak mampu menjawab, Opi merebut bantal yang kini dipegang oleh Yuuri.

“Ahahahaha~ Nee-chan malu yaaa??”, sahut Yuuri bereaksi pada ekspresi malu – malu Opi.

“Uruseeee!! Anak kecil tau apa??!!”, teriak Opi kesal.

Yuuri menjauh mencoba mengelak dari hantaman bantal yang dilemparkan oleh kakaknya.

“Oops~ hati – hati Opi-chan..”

Suara itu mengagetkan Opi, ternyata Inoo sudah ada di depan kamarnya.

“Eeehh?? Inoo-kun…”, sapa Opi lirih.

Inoo mengacukan tanda peace, “Yo!! Aku mau menjemput muridku… ayo Yuuri-chan.. kita harus latihan…”, kata Inoo sambil menarik Yuuri dari tempat itu.

“Ah, sou…”, Opi tak mampu menjawab Inoo.

Tak lama, sosok Inoo kembali mucul di ambang pintunya, “Nanti kita bicara lagi Opi-chan…”, kata Inoo sambil berlalu.

Opi mengangguk dengan gugup.


Setelah selesai mengajar, Inoo mengajak Opi berbicara di halaman belakang rumah Opi. Seperti yang sudah – sudah, Mama Opi mengajak Inoo makan malam, dan sambil menunggu makan malam siap, Inoo mengajak Opi sedikit mengobrol. Seperti kebanyakan rumah a la Jepang, rumah Opi juga punya halaman belakang yang walaupun sempit, namun lumayan asri.

“Kau sedikit pendiam hari ini…”, kata Inoo.

“Eh? Eh?? Maa~ aku baik – baik saja…”, jawab Opi sedikit gugup.

“Souka…”

“Inoo-kun juga tak terlalu banyak bicara…”, kata Opi sambil menatap Inoo.

“Banyak hal yang sedang kupikirkan Opi-chan…”, jawab Inoo, menatap Opi yang sukses mebuat Opi memalingkan wajahnya karena malu menatap Inoo.

“Hmmm… apa yang Inoo-kun pikirkan?”

“Ayahku, kuliahku…kau tahu… Ibuku kemarin menemuiku… setelah setahun ini tanpa kabar sama sekali.”, jelas Inoo.

“Eh??”



-Flashback-

Inoo masih ada di studio gambar ketika ia menerima telepon. Ia menatap layar ponselnya seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Moshi – moshi?”, angkat Inoo sedikit pelan.

“Kei-chan… hisashiburi…”, kata orang diseberang.

“Okaa-chan?”, seru Inoo kaget.

“Hai… ini Ibu… datanglah ke restaurant besok siang…”, perintah Ibunya tanpa basa – basi.

“Kaa-chan…”

“Kumohon Kei-chan… kita harus bertemu..”, kata Ibunya lagi.



Maka hari selanjutnya Inoo mendatangi Ibunya. Di tempat yang paling ia hindari, restaurant milik keluarganya. Yang sudah ada sejak dua generasi sebelumnya. Sudah banyak cabang dari restaurant itu, dan sudah terkenal di seluruh negeri. Bahkan Ayahnya berhasil membangun usaha – usaha lain dan mempunya banyak investasi di berbagai perusahaan.

“Hisashiburi Okaa-chan..”, sapa Inoo saat ibunya datang menghampiri.

“Hisashiburi… Kei-chan..”, balas Ibunya.

Inoo meneguk teh yang ia pesan, tenggorokannya sedikit kering menghadapi Ibunya sendiri, “Ada apa Kaa-chan?? Setelah setahun, kau tak pernah menghubungiku..”, kata Inoo pelan.

“Pulanglah Kei-chan…”, sahut Ibunya cepat.

Inoo sudah tahu pasti ini yang ingin dibicarakan Ibunya.

“Setelah Otou-san mengusirku?? Tidak Kaa-chan, aku harus menyelesaikan kuliahku.. aku tak mau terus ia dikte…”, jawab Inoo mantap.

“Kei-chan… kau tahu seberapa inginnya ia kau jadi penerusnya…”

“Maka dari itu aku tak bisa Kaa-chan… aku tak mau jadi penerus Ayah.. aku punya masa depanku sendiri…”, Inoo dengan cepat memotong pembicaraan Ibunya.

“Kei-chan!! Dengarkan Ibu… restaurant ini sudah aja sejak kakek dari ayahmu ada… kau harus menghargainya.. kau anak laki – laki kami satu – satunya…”

“Dakara Kaa-chan!! Aku tak mau… menjadi arsitek sudah jadi impianku sejak kecil.. tak bisakah kalian menghargai apa yang aku mau?”

“Jangan egois Kei-chan!! Kau harus memikirkan perasaan Ayah dan juga Ibu….”

“Kaa-chan… aku bukan satu – satunya anak ayah…”

Ibunya sedikit tak sabar, meminum the hangatnya juga, “Kei-chan… kau anak pertama, kau kebanggaan Ayahmu… ia begitu senang ketika kau berhasil loncat kelas, ia begitu bangga… dan jika kau setuju mengambil bisnis ini..”

“Kaa-chan kumohon… aku tak mau lagi berdebat soal ini… gomen Kaa-chan..”, Inoo beranjak dan meninggalkan restaurant itu.

-Flashback end-



“Souka naaa~”, kata Opi yang tak tahu harus bereaksi bagaimana setelah mendengar cerita Inoo.

“Sudah ditentukan aku akan jadi penerus ayah sejak aku kecil..”, jelas Inoo.

“Inoo-kun punya adik? Tadi Inoo-kun bilang kau bukan anak satu – satunya..”, tanya opi sedikit berhati – hati agar Inoo tak tersinggung.

Inoo mengangguk, “Ada. Adik perempuan…dia sudah hampir SMA juga sekarang..”

“Sou… mungkin karena itulah Ayahmu ingin kau jadi penerus?”

“Ya… karena adikku perempuan…”, seakan Inoo tahu apa yang Opi pikirkan.

“Kenapa tak coba pulang?”, tanya Opi takut – takut.

“Aku tak bisa pulang sebelum membuktikan diri kalau aku bisa mandiri dan punya hal hebat yang bisa kubanggakan di depan Ayah.”, jelas Inoo.

“Tapi Inoo-kun… pasti ada alasannya kan Ibumu sampai mendatangimu ke sini karena khawatir padamu..”, kata Opi lagi.

“Tidak. Mereka hanya khawatir pada restaurant dan perusahaan saja..”, elak Inoo terlihat lebih emosi dari biasanya.

“Menurutku tidak begitu…”, elak Opi, “Bagaimana jika Inoo-kun coba tanya mereka…”, kata Opi lagi.

Inoo menatap Opi lama, membuat Opi seidkit agak risih, karena tatapan tajam milik Inoo.

“Opi-chan… aku tak mau datang hanya untuk di usir lagi…”, katanya lalu segera meraih tangan Opi yang duduk di sebelahnya.

“Inoo-kun… kau harus mencobanya lagi.. bagaimana pun mereka orang tua mu…”, ujar Opi.

Inoo menarik telapak tangan Opi ke wajahnya, menempelkan tangan tersebut di pipinya sendiri. Inoo menunduk. Dalam. Seakan ingin menyerap kekuatan dari tangan Opi. Dirinya terlalu pusing harus bersikap bagaimana, semua pertanyaan tentang masalahnya dan orang tuanya terus berputar dalam otaknya.

“Inoo-kun…”, panggil Opi lirih.

“Biarkan begini dulu sebentar…”, kata Inoo.

Maka Opi membiarkan Inoo, memberikan waktu untuknya.

“Akan kucoba… mau menemaniku kesana?”, katanya tiba – tiba sambil menengadah memandang Opi.

“Eh?”, seru Opi kaget, “Nande?”

“Tidak ada alasan.. aku hanya ingin kau menemaniku..”

“Wakatta… baiklah…”, jawab Opi.

Inoo kembali menggenggam tangan Opi, namun keduanya tak lagi bersuara. Keduanya menikmati suasana malam itu dalam keheningan.

“Huwaaaa~ Neechan dan Kei-chan beneran pacaran yaaaa!!”, teriak Yuuri tiba – tiba dari belakang mereka.

“Diam anak ingusan!!”, seru Opi sambil mengejar adiknya itu.

“Hehehe~ bilang Ibu ya…”, ancam Yuuri sambil tertawa – tawa menghindari Opi.

Inoo hanya tersenyum melihat keluarga ini. Keluarga yang tak pernah ia miliki.

-----------------

TBC~ oh TBC~
setiap 4 bulan gini update nya...
mari terus berdo'a biar ini cepet beres..LOL
GANBARIMASU!!! :)