Kamis, 30 Desember 2010

[Fanfic] Accidentally In Love (chap 9)

Title : Accidentaly In Love
Chapter : Nine
Author : TegoMura
Genre : Romance
Rating : PG
Pairing : Miyabu,HikkaPy,TakaDin,InoOpi,Dainu
Fandom : Johhny’s Entertainment, Desperate Housewives
Disclaimer : Py, Miyuy, Din, Opi and Nu belong to theirselves, Hey! Say! BEST is belongs to JE. we don’t own them...Comments are LOVE minna~

Accidentally In Love
-chapter 9-

Tempat ini seharusnya untuk bersenang – senang, tapi mood Miyuy sudah luntur sepenuhnya. Yabu di sebelahnya, memegangi mulutnya yang kini berdarah, wajahnya tampak sedikit malu, menoleh menatap kekasihnya yang kini terlihat marah.

“Miyuy-chan….”

“Katakan padaku ada apa sebenarnya?”, Tanya Miyuy dengan mata berkaca – kaca mendengar perkataan Inoo sebelumnya.


=Flashback=

“KAUU!!!??”, teriak Inoo tiba – tiba.

Yabu juga terlihat sama marahnya dengan Inoo.

“NGAPAIN KAU DISINI??!!”, bentak Inoo dengan nada suara meninggi.

“Miyuy-chan…kita pergi saja dari sini…”, kata Yabu sambil menarik tangan Miyuy yang masih bingung.

Inoo berhasil meraih kerah baju Inoo dan segera menghujamkan pukulannya dengan keras.

Pegangan tangan Yabu terlepas, dan kini Yabu serta Inoo berkelahi. Miyuy menangis tanpa tahu apa yang terjadi, Opi sendiri tak bisa berbuat apapun, menghampiri Miyuy dan menenangkan Miyuy.

“Ini untuk perbuatanmu terhadap Aya!!!”, kata Inoo marah.

Yabu membalik situasi, memukul Inoo tepat di rahang kanannya, “Aku tak pernah meninggalkan Ayame!! Dia yang meninggalkan aku hanya karena pria macam kau!!!”, balas Yabu tak mau kalah.

“Kau bercanda hah?!!”, sesaat mereka berdua terpisah.

Yabu mengelap darah segar yang keluar dari hidungnya, “Mungkin Ayame merecokimu dengan
berkata bahwa aku yang salah… dia yang salah, dan aku tak perlu minta maaf…”, seru Yabu
kesal, kembali berusaha mendekati Inoo.

Miyuy seketika tanpa pikir panjang memeluk tubuh Yabu erat, “Hentikan….”, kata Miyuy di tengah isakannya.

Opi juga berusaha memegang lengan Inoo, “Inoo-kun..ayo pergi!!”, seru Opi sedikit memaksa.

Inoo tak bergeming dari tempatnya.

“Miyuy-chan…”, suara Yabu melembut.

“Hentikaaann~”, kata Miyuy lagi sambil masih memeluk Yabu.

Opi kembali menarik lengan Inoo, kali ini lebih keras, “Inoo-kun!!!”, bentak Opi.

Inoo akhirnya menyerah, karena Miyuy tak mau melepas pelukannya, dan Opi terus memaksa dia pergi dari situ.

-flashback end-


Yabu diam, tak mampu bersuara, rasa sakit di wajahnya juga membuatnya sedikit pusing.
Miyuy berdiri, menarik tangan Yabu.

“Ayo ke Rumah Sakit…”, ajaknya.

Yabu tak menolak, hanya mengikuti langkah Miyuy.


Tak hanya Miyuy dan Yabu, kini Opi dan Inoo pun hanya diam di sebuah bangku, Opi tak berani bertanya apapun, terlebih lagi saat mereka brtengkar, yang Opi dengar ini menyangkut Ayame.

“Yabu itu… bajingan… beritahu temanmu, jangan sampai ia ajdi korban juga..”, kata Inoo tiba – tiba.

Opi kaget. Terlebih lagi, ia tak merasa ada yang salah dengan sikap Yabu.

“Kenapa berkata begitu?”, tanya Opi kaget.

“Karena ia menyakiti Aya…”

“Kau…kenapa kau…??”, Opi seakan tak mampu meneruskan ucapannya.

Inoo menyentuh pipinya yang sedikit bengkak, pikirannya melayang ke saat – saat itu.


-Flashback-

“Kei-chaaann!!”, teriak Ayame mendekati Inoo yang masih saja sibuk dengan piano nya.

“Ya?”, Inoo berhenti, melihat sosok Ayame mendekat.

Ayame adalah cinta pertamanya. Siapapun tau Ayame memang cantik, tapi bukan itu. Ia dan
Ayame sudah bersama sejak kecil, bahkan Inoo tahu apa saja yang Ayame suka atau benci.

“Aku mau cerita Kei-chan…”, katanya manis.

Inoo membiarkan Ayame ikut duduk di sebelahnya, menghadap Piano.

“Ada apa Aya-chan? Kau tampak gembira hari ini…”

Inoo tak pernah melihat Ayame gembira sejak hari ia masuk ke sekolah yang tidak sama
dengannya. Inoo yang masuk ke sekolah SMA favorite dan ternama, meninggalkan Ayame di sekolah yang lain, cukup bagus, namun Ayame ingin sekali satu sekolah dengannya.

“Ternyata sekolah disana tidak buruk..”, katanya memulai cerita itu, Ayame memainkan beberapa nada dan berhenti, “Tadi Yabu-kun menyatakan cintanyaaa..”

Inoo kaget, “Yabu? Siapa?”

“Iya.. dia itu kelas 1 B juga… ia tampan loh Kei-chan… tadi saat pulang sekolah, ia menyatakan cintanya, memintaku jadi pacarnya..”, seru Ayame dengan mata berbinar.

“Eh? Etto…”, Inoo tak mampu berkata – kata.

“Lalu aku menerimanya!! Hehehe.. aku senang sekali…”, kata Ayame lalu menoleh dan memainkan lagi beberapa nada di tuts piano itu.


Sudah berlalu sejak Yabu menyatakan cinta, hari – hari Yabu memang disibukkan dengan Ayame. Mereka pasangan yang jarang terlihat bersama, namun banyak orang sudah tahu.

“Aya-chan… pulang sekolah karaoke yuk..”, kata Yabu menghampiri meja Ayame yang dipenuhi kertas yang bahkan ia tak mengerti apa itu.

“Aku harus rehearseal Yabu-kun..”, kata Ayame menjawab dengan sedikit angkuh.

Yabu terdiam, sejak Ayame mulai latihan untuk pentas dan lombanya, praktis waktu Ayame tersita sepenuhnya, sulit untuk mencari waktu bersamanya.

“Kau pulang rehearseal jam berapa?”, Tanya Yabu lagi, kembali menahan lengan Ayame yang hendak pergi.

“Entahlah…”, Ayame beranjak, “Maaf Yabu-kun… aku sangat sibuk.”, katanya tak lupa memberikan senyuman manisnya.

Dan inilah Yabu, terdampar menunggu Ayame di luar sebuah gedung besar. Dengan keras kepala Yabu menunggu Ayame yang tidak menunjukkan tanda – tanda akan keluar dari situ.

Udara semakin dingin, cuaca bulan Oktober seperti ini bisa membuat siapapun kedinginan. Yabu yang hanya memakai satu jaket itu mencoba membuat dirinya lebih hangat, memasukkan tangannya yang beku di saku jaketnya.

Setelah beberapa lama, segerombolan orang keluar dari gedung itu. Yabu melirik jam tangannya, sudah pukul sepuluh memang.

Sosok Ayame muncul bersama pria yang sangat kurus, terlihat cantik, namun Yabu tahu itu pria. Ayame tertawa – tawa menanggapi apa yang dikatakan pria itu.

Yabu melambaikan tangan ke arah Ayame, ia menoleh dan kaget melihat siapa yang dilihatnya.

“Yabu-kunn??”, seru Ayame kaget, menghampiri Yabu.

“Konbanwa.. Aya.. dingin sekali disini..”, kata Yabu yang merasa tubuhnya sedikit kaku.

Pria yang Yabu tidak kenal itu masih mengikuti Ayame.

“Ah iya… ini Kei-chan…”

‘Kei-chan?’, Dahi Yabu mengerenyit mendengar panggilan yang begitu akrab itu.

“Inoo Kei desu..”, katanya membungkuk sopan.

“Kouta Yabu desu… aku pacarnya Aya…”, kata Yabu sambil menekankan kata pacar.

“Ah.. sou…”, jawab Inoo pelan.

“Ayo Aya… aku antar pulang…”, seru Yabu menarik tangan Ayame sedikit memaksa.

Ayame menurut, “Jya Kei-chan!! Nanti aku telepon…”

“Aku tak suka kau menelepon dia…”, seru Yabu kesal membuat Ayame terdiam.


Sejak naik kelas dua, Ayame lebih sibuk lagi. Keberadaannya di OSIS sebagai sekertaris, kadang berkumpul dengan teman – temannya, dan kegiatan les piano nya yang begitu menyita waktu, membuat Yabu bahkan sangat sulit menyapa Ayame. Semakin hari Ayame semakin terlihat cantik, banyak sekali pria yang mencoba mendekatinya, populernya Ayame membuat Yabu sedikit risih, ia tak terlalu suka diperhatikan banyak orang.

“Kei-chan sekarang kelas tiga loh..dia hebat bisa loncat kelas..”, ucap Ayame di sela makan siang mereka.

“Hmm..”, Yabu malas menanggapi.

“Kenapa sih kau?”, Ayame menyimpan kotak bento nya yang terlihat lezat, sementara Yabu
hanya bisa makan roti yang tadi ia beli di kantin.

“Aku tak suka kau membicarakan Kei-chan atau siapapun itu..”, Yabu merengut dan mengigit rotinya.

“Asal kau tahu Yabu-kun.. dia itu..”

“Teman masa kecilmu, teman curhatmu.. apa lagi? Lama – lama kau akan bilang dia pacarmu juga?”, kata Yabu hilang kesabarannya.

Ayame beranjak dari kursi taman itu, “Terserah!! Aku capek!!!”, katanya meninggalkan Yabu sendirian.

Yabu tak peduli, ia masih menyantap rotinya tanpa menoleh atau mengejar Ayame. Akhir – akhir ini memang hanya pertengkaran pembicaraan mereka, membuat Yabu malas mencari
Ayame ke kelasnya, atau sekedar mengirim e-mail pada Ayame yang kini jadi idola sekolah, sementara dia hanya murid biasa yang bahkan keberadaannya di sebelah Ayame adalah pengganggu.

“Hey!! Kusut sekali wajahmu…”, seru Hikaru yang kini tanpa Yabu sadari sudah berada di sebelahnya.

“Hmmm..”, ucap Yabu.

“Ayame lagi ya?”, Tanya Hikaru.

“Hmm..”, jawabnya lagi.

“Ah kau ini… bagaimana kalau hari ini kau ikut Goukon saja? Hah?? Ceweknya cantik – cantik loh… dari sekolah khusus cewek!!”, seru Hikaru yang memang popular di kalangan gadis – gadis.

“Malas..”, jawab Yabu lagi.

“Ayolah… kau tak akan rugi… toh Ayame sedang marah padamu… biarkan saja dulu dia…”

Yabu tak menjawab, tapi ia yakin pulang sekolah ia tak akan bisa kabur dari ketiga temannya.



“Kei-chaaaann…”, Ayame datang ke rumah Inoo dan tiba – tiba memeluk Inoo.

“Doushite?”, Inoo tak berusaha melepasnya, hanya mencoba menenangkan Ayame.

“Yabu-kun jahaaatt… apa dia selingkuh ya? Hikz..”, Ayame tak punya bukti apapun, hanya ia memang senang bermanja – manja pada Inoo dan mengatakan hal yang membuat Inoo
perhatian padanya.

“He? Kenapa kau bilang seperti itu?”

“Habis dia marah – marah terus… lagipula.. ia sering meninggalkanku sekarang…”, kata Ayame yang masih memeluk Inoo.

“Tenanglah Aya-chan… jangan seperti itu…”, kata Inoo lagi.

“Pasti dia selingkuh…”, adu Ayame pada Inoo lagi.

Inoo memang tak begitu suka dengan Yabu, apalagi kesan pertamanya saat menjemput Ayame waktu itu. Namun Inoo tak yakin dengan apa yang dikatakan Ayame.

“Sudahlah.. ayo masuk dulu..”, kata Inoo membawa Ayame masuk ke rumahnya.


Yabu menjauhkan tangan cewek aneh ini. Namanya Naoko dan dia memang partner nya di karaoke tadi. Tapi kenapa juga cewek ini harus nempel dengannya sampai pulang.

“Gak usah gini…”, kata Yabu dengan halus.

Cewek itu kembali melingkarkan tangannya di lengan Yabu.

“hmmm… Naoko…”, tolak Yabu lagi.

“Yabu-chaaann…”, panggilnya manja.

Yabu menjauhkan lagi Naoko dari dirinya, Naoko memintanya untuk pulang bersama, memintanya mengantar Naoko.

Sementara itu Inoo yang baru saja pulang dari toko buku memicingkan matanya, dia sepertinya melihat seseorang yang dia kenal.

Dalam kegelapan, memang tak begitu terlihat, tapi sepertinya ia kenal.

“Yabu-chaaann..”

Mereka berciuman!! Itu kan Yabu pacarnya Ayame. Inoo tanpa pikir panjang berlari ke tempat
mereka berdiri, menarik baju Yabu.

“KAU!!!”, Inoo menghantamkan tinju nya pada Yabu.

Yabu terhuyung jatuh dan kaget dengan pukulan tiba – tiba itu. Tak lama Yabu bangkit, melihat
Inoo dengan kesal.

“Apa – apaan ini?!!”, teriak Yabu.

Inoo tak menjawab dan memukul lagi Yabu, Naoko yang kaget dan tak mengerti apa – apa akhirnya malah pergi.

“Kau berani menduakan Aya HAH??!!”, otak Inoo dipenuhi kemarahan, ia tak lagi berfikir secara logika seperti biasanya.


Hari berikutnya Yabu datang dengan wajah penuh luka. Ia tak habis pikir dengan Inoo Kei itu. Siapapun dia, ia bahkan tak mengenalnya. Hanya sekali bertemu, pertemuan kedua kali ia malah dipukuli oleh orang itu.

“Yabu…are??? Wajahmu kenapa?”, tanya Taiyou yang bingung dengan wajah Yabu yang penuh luka.

“Sudahlah…”, Yabu malas membahasnya.

“Yabu-kun!!”, seseorang memanggilnya dari luar kelas, ternyata Ayame.

Yabu dan Ayame kini duduk di bangku taman sekolah mereka. Yabu benar – benar sedang tidak mood untuk bertengkar.

“Kei-chan cerita semuanya…”, kata Ayame.

“Apa maksudmu?”

“Kau dengan siapa semalam?”

“Teman.”, jawab Yabu singkat.

“Bohong… kau berciuman dengannya kan?”

“Dia yang menciumku… bukan salahku..”, jawab Yabu lagi.

Ayame terdiam.

“Yabu-kun jahat!! Kenapa Yabu-kun???”, ternyata Ayame menangis.

“Kau percaya aku atau cowok aneh itu?!!”, teriak Yabu yang kini kembali hilang kesabaran.

“Jangan sebut Kei-chan seperti itu!!”, bentak Ayame.

“Dia memang aneh!! Siapa dia? Pacarmu yang lain??!!”, teriak Yabu lagi.

“IYAAA!! Puas??!”, Ayame meniggalkan kursi itu.

Sejak saat itu, Yabu dan Ayame putus, mereka tak pernah lagi saling menghubungi satu sama
lain, bahkan bila tak sengaja berpapasan, mereka saling menghindar.


-Flashback end-



Yabu keluar dari ruang periksa, dan mendapati Miyuy masih di situ, menunggunya. Wajahnya ditekuk, tak sedikitpun tersenyum.

“Kau baik – baik saja?”, Tanya Miyuy.

Yabu mengagguk, “Seharusnya tak perlu ke rumah sakit..”, kata Yabu yang kini wajahnya
banyak plester menempel.

Miyuy tak menjawab, hanya kembali menunduk. Yabu belum mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Miyuy, sehingga Miyuy masih bingung dan bertanya – tanya ada apa sebenarnya dengan kedua pria itu.

Sisa perjalanan Yabu mengantar Miyuy ke rumah sama sekali hening. Baik Yabu maupun Miyuy sibuk dengan pikiran mereka masing – masing. Miyuy baru ingat apa yang ia baca tadi pagi.
“Sesuatu akan terjadi hari ini di keramaian.”, “Kebenaran akan terungkap.”

Tapi kebenaran apa? Kebenaran kalau kekasihnya ini punya musuh? Lalu siapa Ayame? pikir Miyuy.

“Aku pulang….”, kata Yabu ketika sampai di depan rumah Miyuy.

“Hmm..”, jawab Miyuy pelan.

“Maaf aku mengacaukan date kita….”, lalu Yabu berlalu.

Masih meninggalkan pertanyaan besar bagi Miyuy.
----------------------

“Jadi… Yabu itu…”, Opi hanya mengangguk mengerti apa yang diceritakan secara singkat oleh Inoo.

“Aku kesal melihatnya tadi…’, kata Inoo yang kini sudah mulai tenang.

Suasana di taman bermain itu sudah hampir gelap. Beberapa permainan bahkan hampir ditutup.

Opi dan Inoo sejak tadi hanya duduk dan Opi mendengarkan cerita dari Inoo.

“Tapi aku tak pernah merasa kalau Yabu seperti itu… ia cukup baik kok..”, kata Opi. “Bukan maksudku untuk membelanya… tapi…”

“Kurasa ia masih bajingan mungkin… entahlah Opi-chan…”, Inoo kembali menempatkan es di luka memarnya, “Ouch..”, keluhnya.

Opi merebut es yang dibalut sapu tangan itu, mengompreskannya pada Inoo. “Kau membela Ayame sampai seperti itu?”, gumam Opi.

Inoo bisa mendengarnya, namun tak mau menjawab. Ini masalah rasa kesalnya yang masih ada,
Ayame mungkin memang cinta pertamanya, tapi untuk perasaannya saat ini, Inoo bahkan tak yakin ia masih cinta atau tidak atau memang selama ini perasaannya pada Ayame ternyata memang sekedar seperti adik sendiri.

“Ia sudah seperti adikku, maka itulah aku tak suka ada yang menyakitinya..”, akhirnya Inoo menjawab.

“Hmmm…”, Opi hanya kembali bergumam.

“Kau percaya kan?”, tanya Inoo yang kini heran dengan dirinya kenapa ia harus meyakinkan
Opi kalau ia tak ada hubungan apapun dengan Ayame.

“Aku percaya.”, jawab Opi yang kemudian beranjak, “Aku beli minuman hangat dulu.
Sebentar…”, Opi menyerahkan es yang ia pakai untuk mengompres Inoo lalu menuju mesin
penjual minuman, mengambilkan Inoo teh hangat dan untuknya kopi.

Sesaat Opi terdiam di depan mesin itu. Kejadian hari ini memang sedikit aneh, lebih aneh karena ia merasa malah lebih dekat dengan Inoo ketimbang menjauh karena masalah ini. Merasa mengharapkan hal – hal yang tak mungkin, Opi mencoba menghapus harapannya dengan Inoo, ia tak mau tersakiti lagi.

Opi mengambil minuman hangat itu dan berbalik menuju tempat Inoo duduk. “Ini…”, kata Opi menyerahkan minuman itu.

“Arigatou…oh iya… orang tua mu kesini jam berapa?”, tanya Inoo.

“Hmmm.. Papa bilang mungkin setengah jam lagi, kenapa?”

Inoo menarik tangan Opi, “Ayo…”

“Hah?”

Opi merasa wajahnya memerah karena malu, dan dadanya pun bergemuruh, kini ia ada di bianglala bersama Inoo. Entah dengan alasan apa Inoo bilang ingin naik bianglala sebelum pulang.

“Kireeeiii..”, seru Opi yang gugup dan melihat pemandangan lampu - lampu yang mulai menyala dan langit senja yang indah.

Inoo tak bergeming, lalu tanpa aba – aba menggenggam tangan Opi.

“eh?”, Opi sedikit kaget, “Hah?”, dan menoleh pada Inoo, “Inoo-kun?”

Tangan kiri Inoo tiba – tiba bergerak dan menyentuh wajah Opi, Inoo mendaratkan sebuah kecupan di kening Opi tanpa mengatakan apapun.

----------------------

“Aku senang sekali kau sudah siuman...”

Kalimat dari seorang Jin itulah yang diingat oleh Din ketika baru membuka matanya. Masih lekat diingatan, ketika ia bersama Naomi mengalami kecelakaan yang tak pernah dibayangkan

Hari itu juga, entah hari keberapa Din berada di rumah sakit. Jin selalu datang untuk menemaninya, mengganti bunga yang berada di vas agar Din selalu menatap pemandangan segar setiap pagi

“Jinjin, hari ini tak ada pemotretan?”

“Hmm, jadwalku hari ini agak siang...jadi bisa agak santai...”, balas Jin, tak lupa menyertakan
senyumannya

“Aku bosan, aku ingin pulang ke rumah...”, rengek Din pada pria yang berusia 6 tahun lebih tua darinya itu

“Hh...”, Jin hanya menghela napas dan kemudian kembali mengembangkan senyumannya

Din tak membalas, wajahnya nampak cemberut

“Jangan bilang-bilang, ya...”, Jin mengeluarkan sesuatu berbentuk kotak dari tasnya
“...Katsudon dari toko favoritmu...”

Hampir saja Din melompat kegirangan dari tempat tidurnya “Kyaaaa, Jinjin!”

“Ssst, jangan berisik. Kalau ketahuan para suster, aku bisa dimarah... sekarang, buka
mulutmu...”

Jin begitu memperhatikannya, Din sangat menyukai saat-saat seperti itu. Mengingatkannya pada masa kecil. Setiap kali Din sakit, Jin tak pernah absen menjaganya, atau setidaknya menjenguk dan membawakan Din makanan atau apapun yang disukainya.

“Saa, selesai...aku harus pergi sekarang. Begitu sekolah selesai nanti, Yuya pasti akan datang menemanimu...”, Jin beranjak dari duduknya

“Ng, Jinjin sudah selesai menemani Naomi-neechan, atau...baru akan pergi ke kamarnya?”

Tak ada jawaban, Jin hanya tersenyum dan sesaat mengusap rambut Din lembut sebelum akhirnya menghilang ke balik pintu

Berada di rumah sakit membuat Din lumayan banyak menghabiskan waktu sendirian. Saat-saat seperti itulah ia tanpa sadar memikirkan banyak hal. Pertanyaan terbesar yang ada dalam pikirnya

‘Apakah Naomi –neechan baik-baik saja?’

Dokter bilang, Din mengalami koma selama beberapa hari. Pikirnya, apakah Naomi juga mengalami koma, kalo memang begitu, apakah ia juga telah siuman

Apakah Naomi juga sedang dalam perawatan, diruangan yang berbeda tentunya, dan juga perban yang tak kalah banyak menghias kepala dan seluruh tubuhnya

Atau...apakah Naomi diruangannya sedang bersama Jin yang menemani, menghabiskan waktu-waktu romantis bak adegan dalam drama TV.

Setiap kali Din bertanya tentang keadaan Naomi pada Jin atau siapapun, ia tak pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Jin hanya akan tersenyum dan mengucap lembut “Shinpai wa nai yo...”.


Jelas Din tak bisa untuk tak khawatir.

“Dinchan..waktunya makan siang...”, seorang suster tersenyum ramah, membawakan Din seporsi lengkap makanan khas rumah sakit

Din menggeleng pelan “Aku masih kenyang, suster...”

“Hh...lain kali, kalau pacarmu datang, aku akan memintanya untuk tidak membawakanmu makanan yang aneh-aneh dulu, itu tak baik untuk pemulihanmu...”

Sebuah seringai nakal diperlihatkan Din “...tapi dia bukan pacarku, suster...”, nada bicaranya melemah

“Souka...Gomen ne, tapi kalian terlihat seperti pasangan...”

“Chigau..Onii-chan desu...”

“Sou...Kalau begitu, apa kau punya pacar, hmm?”

“Eto...”, Din belum sempat menjawab

“Tuan Putri, aku datang menjenguk...”, seseorang yang tak lain adalah Yuya tiba-tiba
melangkahkan kakinya masuk kedalam ruang perawatan Din –masih dengan seragam dan tas
sekolahnya. Membungkukkan badan, Yuya memberi salam pada perawat yang masih nampak mudah itu, dan perawat itu pun balas membungkuk dan tersenyum pada Yuya

“Yuya?”

Sedikit terkejut, Din tak bisa meneruskan kata-katanya melihat Yuya membawa sebuket besar bunga freesia berwarna kuning segar

“Nah, tuan...Takaki”, ucap si suster melirik tulisan kecil di tas sekolah Yuya “...sekarang waktu besukmu. Karna Dinchan sudah dapat makan siangnya, aku akan membawa kembali makanan ini dan akan datang lagi untuk waktu minum obat nanti...”, wanita muda itu tersenyum kemudian membungkuk

“Ah, ya. Terimakasih”, balas Yuya sopan sebelum suster itu meninggalkan ruangan Din dengan membawa seporsi makanan yang sama sekali belum disentuh

“Ng? Ada apa? Kenapa melihatku aneh begitu” Yuya berbalik, menatap kearah Din

“Untuk apa bunga itu?”

“Huh? Tentu saja aku bawa ini karna akan menjengukmu yang sedang terbaring di rumah sakit”, papar Yuya

“Lalu kenapa bawa freesia?”

“Itukan terserah padaku! Jangan cerewet!”, Yuya berusaha menahan nada suaranya agar tak berubah meninggi

“Dasar tak punya sense. Apa Yuya tak pernah mendengar tentang bahasa bunga? Setidaknya, bawakan bunga dengan arti yang sedikit lebih...”

“Ha? Mana aku mengerti yang macam itu?! Memangnya ada apa dengan freesia? Ini kan bagus...”

“Freesia kan artinya...”, Din mulai menggembungkan pipinya “...childish”

“Ha! Kalau begitu, pilihanku tak salah! Kau memang childish, sesuai sekali...anak manja! Haha!”

“Jangan mengejekku, playboy palsu!”

“Cerewet! Gadis aneh yang hobi marah-marah!”

“Pangeran gadungan yang sok tempting!”

“Keras kepala!”

“Yuya juga keras kepala!”

“Hey, kenapa kau tidak menyadarinya? Kalau kepalamu tak sebegitu keras, mungkin kau tak akan sela...”, Yuya mendadak tak bisa meneruskan kata-katanya

“Tak akan apa, Yuya?”, tampak raut penasaran di wajah Din

“Ah! Dasar tante-tante galak!”, Yuya tampak sedikit berfikir sebelum akhirnya menemukan kata-kata untuk kembali menghina Din

“Aku bukan tante-tante!”

“Bukankah yang cerewet itu tante-tante, hah? Lalu, kalau kau galak, itu memang kenyataan”

“Aaah...”, wajah Din mulai memerah karena kesal “Berhenti mengejekku, honey blond jadi-jadian!”

“Apa?!”, Yuya berubah sedikit emosi mendengar Din menghina warna rambut yang dibanggakannya “...dasar poni konyol!”

“Uhh...!”, Din secara spontan mengangkat bantal di ranjangnya untuk memukul Yuya. Beraninya
Yuya mengejek model rambut kesukaannya, padahal Jin selalu memuji Din dengan kata ‘manis’ bahkan sejak ia masih kecil

“Tapi kau manis...”

Wajah Din masih terlihat memerah, tapi kali ini bukan lagi karena kesal. Ia tak percaya akan mendengar kata-kata itu dari Yuya, seketika Yuya menahan bantal yang akan dilayangkan
Din dan menatap Din lurus dengan mata gelap warna madu it.

Din juga masih terpaku. Baru kali ini pula, Yuya mengakhiri perdebatan mereka dengan cara seperti itu
----------------------

Suasana kelas 3B sedikit aneh dari biasanya. Nu tak terlihat bersama Miyuy, Py atau Opi. Din belum juga masuk sekolah sehabis kecelakaan.

Py merasa bosan karena semua temannya sepertinya sedang ada masalah masing – masing. Membuatnya sedikit risih dengan wajah bete semua temannya.

Lebih aneh lagi karena Nu tidak masuk sekolah, tidak juga membalas e-mail dan mengangkat telepon. Py khawatir tentu saja, tapi ia juga bingung bagaimana mencari Nu, membuat Nu keluar dari apartemennya. Karena Nu tak terlihat sama sekali, bahkan apartemennya sperti kosong menurut Opi.

Entah sejak kapan, atap sekolah menjadi tempat nya biasa menunggu Hikaru. Walaupun kadang mereka hanya saling diam dengan pikiran masing – masing, atau sekedar berpegangan tangan melihat awan, membuat Py bahagia. Py sendiri bingung jika ditanya apa hubungan mereka berdua? Mereka bisa dibilang sudah pacaran mungkin, walaupun belum ada kata – kata itu keluar baik dari Hikaru ataupun Py.

Hari ini tampaknya Hikaru sedikit telat, namun Py tak masalah, Hikaru pasti datang. Selama menunggu, Py menggambar di buku sketsa nya seperti biasa.

“Gomen… aku telat…”, suara itu keluar dari Hikaru yang baru saja datang.

“Daijoubu… dari mana?”, tanya Py yang melihat jam tangan, ternyata Hikaru sudah telat lebih dari sepuluh menit.

Hikaru duduk di sebelah Py, “Hanya ada urusan sebentar…”, jawabnya.

“Hmmm…”, Py mengangguk.

Tiba – tiba Hikaru menyodorkan sebuah lollipop rasa cola di hadapan Py, “Kore!!”, katanya ceria, seperti biasa.

“Arigatou Hikka-kun..”

“Mmm…”, Hikaru pun membuka satu lollipop lain untuk ia makan sendiri.

“Ah iya… bagaimana keadaan Ikuta-san?”, tanya Hikaru yang juga sudah mendengar tentang kecelakaan itu.

“Sepertinya sudah mendingan, ia tak suka kita terlalu mengkhawatirkannya…”, kata Py yang tahu seberapa keras kepala nya sahabatnya itu.

“Yokatta na…”

“hmmm….”

Hikaru lebih pendiam dari biasanya, seakan banyak sekali yang menyesakkan pikiran Hikaru hari itu.

“Py-chan…”, Hikaru meraih tangan Py.

“Hmm?”

Tak menjawab, Hikaru hanya terus menggenggam tangan Py dalam diam.

“Pulang sekolah ini, mau ke apartemenku?”

“Eh?”, Py merasa dadanya dag-dig-dug karena tak menyangka akan ajakan itu, “Kenapa?”

“Aku ingin menunjukkan Bass yang selalu aku ceritakan pada Py…”, kata Hikaru.

Py pun mengangguk walaupun ia yakin wajahnya sudah memerah saat ini.


“Ini apartemenku…”, kata Hikaru pada Py.

Apartemen itu hanya apartemen kecil biasa. Terdiri dari satu dua ruangan yang berupa dapur dan kamar tidur. Tidak rapi, tapi juga tidak terlalu berantakan. Hikaru mempersilahkan Py duduk di karpet yang ada di ruang tengah itu, satu meja kecil ada di tengah – tengah ruangan selain kasur yang mepet ke dinding tanpa ranjang.

“Arigatou…”, kata Py yang makin deg – deg an saja sekarang.

Hikaru beranjak ke dapur dan memberi Py segelas teh.

“Maaf.. hanya ada ini…”, kata Hikaru.

“Daijoubu…”, jawab Py tersenyum, “Jadi Hikka-kun benar – benar tinggal sendiri ya??”, kata Py
lagi.

“Iya keluargaku di Sendai….”, jawab Hikaru pelan.

“Hmmm… aku tak pernah tinggal sendiri… pasti cukup sulit ya?”, tanya Py lagi.

Hikaru menggeleng, “Tidak juga. Sebenarnya, Yabu pernah memintaku untuk tinggal bersamanya di rumah orang tuanya, tapi aku menolak.”, jelas Hikaru.

“Eh? Kenapa Hikka-kun?”, tanya Py heran.

“Tidak apa – apa. Aku hanya ingin tinggal sendirian.”, jelasnya.

“hmmm..”

Hikaru beranjak dan mengambil Bass yang ia maksud. “Ini…”, kata Hikaru dengan senyum mengembang.

“Waaaahhh..bagus ya Hikka-kun…”, kata Py ikut tersenyum.

“Tidak mahal sih… tapi aku suka dengan Bass ini…”, kata Hikaru lagi.

Py tersenyum, “Kalau Hikka-kun memainkannya bagaimana?”

Hikaru pun melakukan apa yang Py minta. Selama beberapa menit ruangan kecil itu hanya dipenuhi oleh suara permainan Bass oleh Hikaru.

“Sugoiii!!”, kata Py walaupun ia tak terlalu mengerti soal Bass, tapi ia rasa permainan Hikaru memang bagus.

“Hehehe…”, kata Hikaru tersenyum canggung, “Arigatou…”

“Pasti Hikka-kun bisa jadi pemain Bass terkenal nanti…”, kata Py lagi.

“Muri…hahaha…”, Hikaru tersenyum pahit.

“Eh? Nande?”

“Gak apa – apa Py-chan….”, katanya lalu tersenyum.

Seperti biasa senyum itu yang membuat Py juga dapat ikut tersenyum. Hikaru dan Py pun mengobrol, hingga tak sadar waktu sudah cukup malam.

“Hikka-kun…sudah malam…”, kata Py menyadari setelah melihat ponselnya.

“Ah iya…ayo pulang….”

“Eh?”

“Sudah malam Py-chan… kau tak mungkin pulang sendiri…”, kata Hikaru sambil beranjak dan
mengambil jaketnya.

Sepanjang pulang itu Hikaru tak banyak bicara hingga tiba di depan rumah Py.

“Arigatou Py-chan…hontou arigatou…”, kata Hikaru sambil masih menggenggam tangan Py.

“Eh? Kenapa berterima kasih padaku?”, tanya Py heran.

Hikaru menggeleng, “Tak apa… hanya…. Terima kasih atas segalanya…”

Py masih heran, terlebih heran ketika secara tiba – tiba Hikaru memeluknya.

“Hikka-kun…”, panggil Py pelan.

“Biarkan aku begini… sebentar saja….”, bisik Hikaru pelan, menarik Py ke dalam pelukannya lebih dalam.

---------------------------

misaki miyuy calling…


Untuk Nu, getaran ponselnya terasa begitu menyakitkan. Hanya bisa membiarkan panggilan masuk tanpa menjawabnya

Getaran itu akhirnya berhenti

Dengan berat hati, Nu menekan tombol shortcut pada keypad ponselnya

new events (112)
63 missed calls
49 unread mails


“Kenapa mereka tak ada lelahnya…?”, ujarnya pelan

Terlihat beberapa nama yg mendominasi pada bagian missed call, Misaki Miyuy, Arioka Daiki, Yoshitaka Poppy, Yamashita Opi

Terdapat variasi urutan dari beberapa nama tersebut sesuai waktu telepon yang sengaja Nu biarkan. Juga nama-nama yang sama ketika ia melihat bagian unread mail.

Misaki Miyuy
Yoshitaka Poppy
Yamashita Opi
Arioka Daiki
Ada satu yang berbeda dari variasi berpola tersebut


Sender: yoshida.hinagiku@pqrmail.co...
Subject: tolong kembali ke sekolah
Message:
tolong kembali ke sekolah, Takahashi…


Sebuah alamat email yang terdapat di phonebooknya. Yoshida Hinagiku, butuh waktu cukup lama bagi Nu untuk dapat mengingat siapa pemilik nama itu

“Ah.. wakil ketua kelas…”, ucap Nu akhirnya. Karena ingat Din pernah menyebutnya. “Bagus, bahkan sekarang orang menganggapku hikikomori…”

Ketika tombol down ditekan beberapa kalipun, tak banyak perubahan dari variasi dengan pola semula.

Arioka Daiki
Yamashita Opi
Misaki Miyuy
Yoshitaka Poppy


Tentu saja, deretan itu terasa tak lengkap. Ada satu bagian penting yang hilang…



Ikuta Din


“Dinchan…”

Sudah hampir satu minggu penuh Nu tidak pergi ke sekolah. Semua tentang sekolah membuatnya merasa sesak. Mengingat perlakuan tak menyenangkan yang diterimanya, juga perasaan tertekan setiap kali mengingat kata-kata yang diucap beberapa teman sekelas beberapa hari lalu. Tentang teman-teman dekatnya. Tentang seorang bernama Arioka Daiki yang belakangan ini jarang membiarkan waktu sendiriannya.

Getaran kembali terasa dari benda yang tak lain adalah ponsel

arioka daiki calling…

Nama itu. Nama itulah yang paling membuatnya merasa kesal

“Kenapa aku harus peduli?!”

Benda itu meluncur dengan cepat, membentur dinding dengan cantiknya dan berubah menjadi
bagian-bagian ketika menyentuh lantai. Tak ada lagi getaran.

Kepala Nu yang semula terbenam dalam bantal seketika terangkat ketika pendengarannya menangkap sebuah suara.

Seseorang membuka pintu kamarnya.

Siapa ?

Kenapa bisa ?

Ia bisa memastikan bahwa pintu kamarnya terkunci, juga pintu utama.

“Kupikir, kau masih ada disekolah”

Kontan Nu terbelalak mendapati sosok yang masuk kedalam kamarnya. Seorang berrambut hitam pendek. Orang yang sama dengan pria pirang yang beberapa bulan lalu menjadi orang paling penting bagi dirinya, hanya penampilannya yang berbeda.

“Kyo-san…”, panggil Nu lirih.

“Aku datang untuk kembalikan ini…”, pria yang dipanggil Kyo itu membungkuk, meletakkan sebuah benda yang terbuat dari logam diatas meja. Tak lain adalah sebuah kunci, kunci copy dari kamar yang ditinggali Nu

“Padahal dibuang juga tak masalah…”, ucapnya dingin

“Mungkin kau masih membutuhkannya”, balas pria itu sesingkat mungkin

Suara itu. Begitu dirindukan. Ia ingin mendengar suara itu lagi

“Kenapa Kyo-san harus peduli?”

Kyo beralih, ke tempat tidur Nu –yang sejak beberapa waktu terakhir tak lagi menjadi tempatnya menghabiskan waktu

“Hh, tak ada alasan.”, ucapnya acuh.

“Kalau begitu, aku salah telah kalau berpikir Kyo-san peduli…”

“Anggap saja begitu…”, Pembicaraan mereka memang tak pernah manis, tapi seingat Nu paling
tidak Kyo sudah sedikit berubah sikapnya.

“So, tell me. Why did you leave me? Just tell me why. Tell me the reason..”, tanya Nu.

“Yang sebenarnya. Tak ada alasan”

“Why did you think that was okay to went out with me ?”, tanya Nu lagi.

“Tak ada alasan.”, jawabnya lagi.

“Kenapa semuanya dijawab dengan ‘tak ada alasan’?”, nada suara Nu meninggi.

“Haruskah aku berpikir tentang itu? Haruskah aku peduli?”, imbuh Kyo lagi.

“Kalau begitu, kembalilah…”, perlahan Nu menyandarkan kepalanya dibahu Kyo.

“Haruskah aku bertanya alasannya?”

“Aku butuh Kyo-san, aku butuh semua ketidakpedulian Kyo-san”

Hening

Sejenak, pria berrambut hitam itu menyalakan pemantik dan menyesap sebatang Phillip Morris
dibibirnya dalam-dalam. Aroma yang begitu dirindukan pula.

“Sebenarnya”, Kyo mulai membuka suara “Sejak awal, aku tak pernah mencintaimu”.

Semua orang tahu, Kyo ahli dalam hal berbohong, tapi sesekali ia bahkan jadi sangat payah
dalam hal tersebut.

“Aku juga”, Nu menimpali.

“Urusanku selesai. Aku akan pergi”. Kyo beranjak. Tak ada lagi tempat bagi Nu dimana
kepalanya bertumpu.

Bukan lagi tempatnya.

“Dimana kau simpan ashtraynya?”, Kyo mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.

“Aku bukan perokok. Jadi kubuang”, bohong.

“Hah! Tapi itu berguna…”

“Saat membuangnya, aku yakin Kyo-san tak akan kembali, jadi sudah tak lagi ada gunanya”


Daiki sebisa mungkin mempercepat langkahnya menuju salah satu kamar flat yang begitu dihafalnya. Kamar milik teman sekolah bernama Takahashi atau yang --dengan kesepakatan sepihak-- dipanggilnya Nuchan. Tak ada hal lain yang dipikirkan selain bisa sampai ke kamar itu dengan cepat.

“Aah!!”

Tiba-tiba, Daiki merasakan tubuhnya sedikit terpental dan jatuh kebelakang. Ia baru saja
menabrak seseorang tanpa sengaja.

Dengan segera, Daiki kembali berdiri dan membungkuk dalam-dalam

“Go, gomennasai! Aku benar-benar tak sengaja”

Sementara yang ditabrak, hanya membetulkan letak kacamata raybannya yang sempat terlepas karena peristiwa tabrakan. Memperlihatkan anggukan samar tanpa kata-kata dan kemudian berlalu.

Wajah itu. Daiki berani bertaruh kalau ia pernah melihatnya. Hanya sayangnya, ia tak ingat siapa ataupun dimana pernah bertemu.

“Ah, Nuchan!”, Daiki meneruskan langkah ketika teringat tujuan utamanya


“Kyo-san!”

Lagi. Nu mendengar seseorang membuka pintu kamarnya

“Nuchan!”, panggil Daiki dari pintu.

Tapi bukan seorang yang diharapkan

Dipikiran Nu, sosok itulah yang mempunyai paling banyak korelasi dengan hal buruk yang terjadi padanya beberapa hari lalu.

“Keluar”, ujar Nu dingin tanpa menujukan pandang pada sosok itu. Daiki. Sejak beberapa hari
lalu ia mencoba masuk ke flat milik Nu. Tapi nihil, teman sekolahnya itu sama sekali tak memberi akses. Berbeda kali ini. Kyo yang baru saja keluar tak mungkin mengunci kembali pintunya, Nu melupakan itu.

“Tapi, aku ingin membawa Nuchan…”

“Kubilang, keluar! Apa kau tuli, hah?!”, potongnya sarkastik.

“Nuchan, kumohon dengarkan aku…”, tak menghiraukan. Daiki melangkah, memperkecil jarak antara dirinya dan gadis berkulit pucat itu

“Pergi sana! Aku tak ingin melihatmu!”

“Aku…”, kekecewaan mulai tampak jelas di wajah Daiki

“Pergi…”, Nu terus bergerak kebelakang, berusaha menjauh dari Daiki yang terus mempersempit jarak, namun tak ada lagi ketika dingin tembok menyentuh punggungnya “…aku membencimu…”

“Tolong jangan benci aku…”, Daiki mulai terbawa emosi.

Menenggelamkan wajahnya di kedua lutut yang diketuk, Nu mulai mengeluarkan suaranya yang kini mulai bergetar “Sejak awal, aku selalu berharap tak ada lagi yang menyapaku selain keempat temanku…tapi semenjak kau datang, yang kudapatkan bahkan lebih dari itu. Kau membawa masalah bagiku, aku ingin kau menjauh”

Setiap kata yang diucap Nu terasa begitu sakit bagi Daiki. Ia tahu apa yang terjadi hingga membuat Nu absen dari sekolah. Ia juga paham betul, untuk seorang introvert seperti Nu, itu bukanlah hal yang mudah

“Tak apa kalau Nuchan tak ingin melihatku. Tapi aku ingin Nuchan melihat Dinchan. Dia sudah sadar. Kabar baik, kan? Nuchan belum melihatnya, kan? Aku datang untuk menjemput…”

“Aku tak akan pergi. Kau sudah mendapat jawabanku, jadi sekarang keluarlah”

“Kenapa…?”

“Aku tak ingin peduli”

“Aku tahu Nuchan ingin melihat Dinchan…”, Daiki tersenyum, begitu polos dan tulus.

“Jangan mengandaikan pemikiran pribadimu sama seperti yang aku pikirkan!”, bentak Nu.

“Tapi benar, kan?”, Daiki masih tak mau kalah.

“Sama sekali tidak”

“Bohong. Aku yakin Nuchan peduli”

“Kau tahu apa tentangku?!”, teriaknya lagi.

Daiki menunduk. Mencari-cari kata apa lagi yang harus diucapkan

“Kalau begitu, sekarang pedulilah…”

“Kenapa aku harus?”

“Karna dia temanmu. Mereka teman-temanmu. Mereka peduli padamu…”

“Aku tak peduli kalau mereka peduli padaku. Aku tak meminta mereka peduli!”

PLAKK !

Sebuah tamparan dari Daiki sukses membuat Nu terdiam.

“Beginikah caramu menghargai sebuah persahabatan? Buka matamu, kali ini saja kumohon
untuk tak bersikap egois!”

Dalam pikirnya, Nu ingin sekali membalas apa yang dikatakan Daiki. Membentak. Balik
menampar. Atau bahkan berteriak agar Daiki segera keluar dari tempatnya. Ia benci kalah dan tak bisa menjawab. Namun, perih yang terus menjalari pipinya seakan membuat mulutnya terkunci.

“Sekarang tak ada bantahan lagi. Ikut aku…!”, tatapan tegas Daiki, selalu membuatnya tampak begitu dewasa

Hanya bisa terdiam, Nu membiarkan Daiki menggenggam tangan dinginnya. Membimbing langkahnya.

-----------------------------

“Kabar baik, Dinchan. Dokter bilang, beberapa hari lagi kau sudah boleh pulang...”, ujar Jin tersenyum sembari memberikan sebuah eksemplar majalah Myojo favorit Din edisi terbaru dengan tampilan imej grub band NEWS –yang sudah sejak lama menjadi favorit Dinchan- di sampul depannya

“....”, diam

Jin jelas merasa aneh. Din selalu berteriak histeris jika Jin membawakannya majalah favorit,
ditambah dengan kabar baik bahwa besok ia telah diperbolehkan menginggalkan rumah sakit.

Tapi kali ini berbeda, Din terlihat sama sekali tak senang.

“Ng, kenapa?”

“Biarkan aku melihat Naomi-neechan. Kalian bahkan tak beritahu aku dimana tempatnya dirawat. Aku ingin tahu keadaannya...”

Jin sesaat menggigit bibir bawahnya melihat wajah sedih gadis yang sudah seperti adik kandungnnya itu

“Sudah aku bilang, tak ada yang perlu dikhawatirkan...”, Jin beranjak dari tempatnya, mendaratkan bibirnya untuk sebuah kecupan manis di puncak kepala Din

Seakan jantung Din berhenti berdetak. Ia jelas masih menyimpan perasaan pada pria yang telah dikenalnya selama belasan tahun itu

Yuya berhenti dan mematung di pintu kamar rawat Din, menyaksikan pemandangan yang disaksikannya, antara Din dan kakaknya sendiri. Mungkin semua tak seperti yang Yuya lihat.
Tapi, apa yang dia tahu?

GSSRAK—

Buket itu terjatuh ke tanah ketika Yuya yang tadi memegangnya mengambil keputusan seketika untuk meninggalkan ruangan itu

Berlari. Membawa perasaan di hatinya bersama langkah kaki yang semakin cepat menuju atap rumah sakit. Kesal. Kecewa. Cemburu.

“Ng!”, menolehkan kepalanya kearah pintu masuk, Jin mendapati sebuket bunga yang tergeletak di lantai

“Yellow roses, mungkin tadinya ada yang membawa ini untukmu...”, ucap Jin memungut buket itu dan berjalan menuju tempat tidur Din

Din tak menjawab, hanya menunduk dan bergumam lirih

“Yellow roses...jealousy...”
-----------

To Be Continued!!!
SEPANJANG JALAN KENANGAAAAANNN…
Maaf lama, author lagi pada sibuk…
Silahkan dibaca fic berdurasi 5000 kata ini…
Yang masih aja lum tamat…
LOL
Ganbarimasu!!
Next chap gak bakalan lama…karena tinggal saia yang ngedit…
Dinchan yori..
Hehehehe.. 