Kamis, 30 Desember 2010

[Fanfic] Accidentally In Love (chap 9)

Title : Accidentaly In Love
Chapter : Nine
Author : TegoMura
Genre : Romance
Rating : PG
Pairing : Miyabu,HikkaPy,TakaDin,InoOpi,Dainu
Fandom : Johhny’s Entertainment, Desperate Housewives
Disclaimer : Py, Miyuy, Din, Opi and Nu belong to theirselves, Hey! Say! BEST is belongs to JE. we don’t own them...Comments are LOVE minna~

Accidentally In Love
-chapter 9-

Tempat ini seharusnya untuk bersenang – senang, tapi mood Miyuy sudah luntur sepenuhnya. Yabu di sebelahnya, memegangi mulutnya yang kini berdarah, wajahnya tampak sedikit malu, menoleh menatap kekasihnya yang kini terlihat marah.

“Miyuy-chan….”

“Katakan padaku ada apa sebenarnya?”, Tanya Miyuy dengan mata berkaca – kaca mendengar perkataan Inoo sebelumnya.


=Flashback=

“KAUU!!!??”, teriak Inoo tiba – tiba.

Yabu juga terlihat sama marahnya dengan Inoo.

“NGAPAIN KAU DISINI??!!”, bentak Inoo dengan nada suara meninggi.

“Miyuy-chan…kita pergi saja dari sini…”, kata Yabu sambil menarik tangan Miyuy yang masih bingung.

Inoo berhasil meraih kerah baju Inoo dan segera menghujamkan pukulannya dengan keras.

Pegangan tangan Yabu terlepas, dan kini Yabu serta Inoo berkelahi. Miyuy menangis tanpa tahu apa yang terjadi, Opi sendiri tak bisa berbuat apapun, menghampiri Miyuy dan menenangkan Miyuy.

“Ini untuk perbuatanmu terhadap Aya!!!”, kata Inoo marah.

Yabu membalik situasi, memukul Inoo tepat di rahang kanannya, “Aku tak pernah meninggalkan Ayame!! Dia yang meninggalkan aku hanya karena pria macam kau!!!”, balas Yabu tak mau kalah.

“Kau bercanda hah?!!”, sesaat mereka berdua terpisah.

Yabu mengelap darah segar yang keluar dari hidungnya, “Mungkin Ayame merecokimu dengan
berkata bahwa aku yang salah… dia yang salah, dan aku tak perlu minta maaf…”, seru Yabu
kesal, kembali berusaha mendekati Inoo.

Miyuy seketika tanpa pikir panjang memeluk tubuh Yabu erat, “Hentikan….”, kata Miyuy di tengah isakannya.

Opi juga berusaha memegang lengan Inoo, “Inoo-kun..ayo pergi!!”, seru Opi sedikit memaksa.

Inoo tak bergeming dari tempatnya.

“Miyuy-chan…”, suara Yabu melembut.

“Hentikaaann~”, kata Miyuy lagi sambil masih memeluk Yabu.

Opi kembali menarik lengan Inoo, kali ini lebih keras, “Inoo-kun!!!”, bentak Opi.

Inoo akhirnya menyerah, karena Miyuy tak mau melepas pelukannya, dan Opi terus memaksa dia pergi dari situ.

-flashback end-


Yabu diam, tak mampu bersuara, rasa sakit di wajahnya juga membuatnya sedikit pusing.
Miyuy berdiri, menarik tangan Yabu.

“Ayo ke Rumah Sakit…”, ajaknya.

Yabu tak menolak, hanya mengikuti langkah Miyuy.


Tak hanya Miyuy dan Yabu, kini Opi dan Inoo pun hanya diam di sebuah bangku, Opi tak berani bertanya apapun, terlebih lagi saat mereka brtengkar, yang Opi dengar ini menyangkut Ayame.

“Yabu itu… bajingan… beritahu temanmu, jangan sampai ia ajdi korban juga..”, kata Inoo tiba – tiba.

Opi kaget. Terlebih lagi, ia tak merasa ada yang salah dengan sikap Yabu.

“Kenapa berkata begitu?”, tanya Opi kaget.

“Karena ia menyakiti Aya…”

“Kau…kenapa kau…??”, Opi seakan tak mampu meneruskan ucapannya.

Inoo menyentuh pipinya yang sedikit bengkak, pikirannya melayang ke saat – saat itu.


-Flashback-

“Kei-chaaann!!”, teriak Ayame mendekati Inoo yang masih saja sibuk dengan piano nya.

“Ya?”, Inoo berhenti, melihat sosok Ayame mendekat.

Ayame adalah cinta pertamanya. Siapapun tau Ayame memang cantik, tapi bukan itu. Ia dan
Ayame sudah bersama sejak kecil, bahkan Inoo tahu apa saja yang Ayame suka atau benci.

“Aku mau cerita Kei-chan…”, katanya manis.

Inoo membiarkan Ayame ikut duduk di sebelahnya, menghadap Piano.

“Ada apa Aya-chan? Kau tampak gembira hari ini…”

Inoo tak pernah melihat Ayame gembira sejak hari ia masuk ke sekolah yang tidak sama
dengannya. Inoo yang masuk ke sekolah SMA favorite dan ternama, meninggalkan Ayame di sekolah yang lain, cukup bagus, namun Ayame ingin sekali satu sekolah dengannya.

“Ternyata sekolah disana tidak buruk..”, katanya memulai cerita itu, Ayame memainkan beberapa nada dan berhenti, “Tadi Yabu-kun menyatakan cintanyaaa..”

Inoo kaget, “Yabu? Siapa?”

“Iya.. dia itu kelas 1 B juga… ia tampan loh Kei-chan… tadi saat pulang sekolah, ia menyatakan cintanya, memintaku jadi pacarnya..”, seru Ayame dengan mata berbinar.

“Eh? Etto…”, Inoo tak mampu berkata – kata.

“Lalu aku menerimanya!! Hehehe.. aku senang sekali…”, kata Ayame lalu menoleh dan memainkan lagi beberapa nada di tuts piano itu.


Sudah berlalu sejak Yabu menyatakan cinta, hari – hari Yabu memang disibukkan dengan Ayame. Mereka pasangan yang jarang terlihat bersama, namun banyak orang sudah tahu.

“Aya-chan… pulang sekolah karaoke yuk..”, kata Yabu menghampiri meja Ayame yang dipenuhi kertas yang bahkan ia tak mengerti apa itu.

“Aku harus rehearseal Yabu-kun..”, kata Ayame menjawab dengan sedikit angkuh.

Yabu terdiam, sejak Ayame mulai latihan untuk pentas dan lombanya, praktis waktu Ayame tersita sepenuhnya, sulit untuk mencari waktu bersamanya.

“Kau pulang rehearseal jam berapa?”, Tanya Yabu lagi, kembali menahan lengan Ayame yang hendak pergi.

“Entahlah…”, Ayame beranjak, “Maaf Yabu-kun… aku sangat sibuk.”, katanya tak lupa memberikan senyuman manisnya.

Dan inilah Yabu, terdampar menunggu Ayame di luar sebuah gedung besar. Dengan keras kepala Yabu menunggu Ayame yang tidak menunjukkan tanda – tanda akan keluar dari situ.

Udara semakin dingin, cuaca bulan Oktober seperti ini bisa membuat siapapun kedinginan. Yabu yang hanya memakai satu jaket itu mencoba membuat dirinya lebih hangat, memasukkan tangannya yang beku di saku jaketnya.

Setelah beberapa lama, segerombolan orang keluar dari gedung itu. Yabu melirik jam tangannya, sudah pukul sepuluh memang.

Sosok Ayame muncul bersama pria yang sangat kurus, terlihat cantik, namun Yabu tahu itu pria. Ayame tertawa – tawa menanggapi apa yang dikatakan pria itu.

Yabu melambaikan tangan ke arah Ayame, ia menoleh dan kaget melihat siapa yang dilihatnya.

“Yabu-kunn??”, seru Ayame kaget, menghampiri Yabu.

“Konbanwa.. Aya.. dingin sekali disini..”, kata Yabu yang merasa tubuhnya sedikit kaku.

Pria yang Yabu tidak kenal itu masih mengikuti Ayame.

“Ah iya… ini Kei-chan…”

‘Kei-chan?’, Dahi Yabu mengerenyit mendengar panggilan yang begitu akrab itu.

“Inoo Kei desu..”, katanya membungkuk sopan.

“Kouta Yabu desu… aku pacarnya Aya…”, kata Yabu sambil menekankan kata pacar.

“Ah.. sou…”, jawab Inoo pelan.

“Ayo Aya… aku antar pulang…”, seru Yabu menarik tangan Ayame sedikit memaksa.

Ayame menurut, “Jya Kei-chan!! Nanti aku telepon…”

“Aku tak suka kau menelepon dia…”, seru Yabu kesal membuat Ayame terdiam.


Sejak naik kelas dua, Ayame lebih sibuk lagi. Keberadaannya di OSIS sebagai sekertaris, kadang berkumpul dengan teman – temannya, dan kegiatan les piano nya yang begitu menyita waktu, membuat Yabu bahkan sangat sulit menyapa Ayame. Semakin hari Ayame semakin terlihat cantik, banyak sekali pria yang mencoba mendekatinya, populernya Ayame membuat Yabu sedikit risih, ia tak terlalu suka diperhatikan banyak orang.

“Kei-chan sekarang kelas tiga loh..dia hebat bisa loncat kelas..”, ucap Ayame di sela makan siang mereka.

“Hmm..”, Yabu malas menanggapi.

“Kenapa sih kau?”, Ayame menyimpan kotak bento nya yang terlihat lezat, sementara Yabu
hanya bisa makan roti yang tadi ia beli di kantin.

“Aku tak suka kau membicarakan Kei-chan atau siapapun itu..”, Yabu merengut dan mengigit rotinya.

“Asal kau tahu Yabu-kun.. dia itu..”

“Teman masa kecilmu, teman curhatmu.. apa lagi? Lama – lama kau akan bilang dia pacarmu juga?”, kata Yabu hilang kesabarannya.

Ayame beranjak dari kursi taman itu, “Terserah!! Aku capek!!!”, katanya meninggalkan Yabu sendirian.

Yabu tak peduli, ia masih menyantap rotinya tanpa menoleh atau mengejar Ayame. Akhir – akhir ini memang hanya pertengkaran pembicaraan mereka, membuat Yabu malas mencari
Ayame ke kelasnya, atau sekedar mengirim e-mail pada Ayame yang kini jadi idola sekolah, sementara dia hanya murid biasa yang bahkan keberadaannya di sebelah Ayame adalah pengganggu.

“Hey!! Kusut sekali wajahmu…”, seru Hikaru yang kini tanpa Yabu sadari sudah berada di sebelahnya.

“Hmmm..”, ucap Yabu.

“Ayame lagi ya?”, Tanya Hikaru.

“Hmm..”, jawabnya lagi.

“Ah kau ini… bagaimana kalau hari ini kau ikut Goukon saja? Hah?? Ceweknya cantik – cantik loh… dari sekolah khusus cewek!!”, seru Hikaru yang memang popular di kalangan gadis – gadis.

“Malas..”, jawab Yabu lagi.

“Ayolah… kau tak akan rugi… toh Ayame sedang marah padamu… biarkan saja dulu dia…”

Yabu tak menjawab, tapi ia yakin pulang sekolah ia tak akan bisa kabur dari ketiga temannya.



“Kei-chaaaann…”, Ayame datang ke rumah Inoo dan tiba – tiba memeluk Inoo.

“Doushite?”, Inoo tak berusaha melepasnya, hanya mencoba menenangkan Ayame.

“Yabu-kun jahaaatt… apa dia selingkuh ya? Hikz..”, Ayame tak punya bukti apapun, hanya ia memang senang bermanja – manja pada Inoo dan mengatakan hal yang membuat Inoo
perhatian padanya.

“He? Kenapa kau bilang seperti itu?”

“Habis dia marah – marah terus… lagipula.. ia sering meninggalkanku sekarang…”, kata Ayame yang masih memeluk Inoo.

“Tenanglah Aya-chan… jangan seperti itu…”, kata Inoo lagi.

“Pasti dia selingkuh…”, adu Ayame pada Inoo lagi.

Inoo memang tak begitu suka dengan Yabu, apalagi kesan pertamanya saat menjemput Ayame waktu itu. Namun Inoo tak yakin dengan apa yang dikatakan Ayame.

“Sudahlah.. ayo masuk dulu..”, kata Inoo membawa Ayame masuk ke rumahnya.


Yabu menjauhkan tangan cewek aneh ini. Namanya Naoko dan dia memang partner nya di karaoke tadi. Tapi kenapa juga cewek ini harus nempel dengannya sampai pulang.

“Gak usah gini…”, kata Yabu dengan halus.

Cewek itu kembali melingkarkan tangannya di lengan Yabu.

“hmmm… Naoko…”, tolak Yabu lagi.

“Yabu-chaaann…”, panggilnya manja.

Yabu menjauhkan lagi Naoko dari dirinya, Naoko memintanya untuk pulang bersama, memintanya mengantar Naoko.

Sementara itu Inoo yang baru saja pulang dari toko buku memicingkan matanya, dia sepertinya melihat seseorang yang dia kenal.

Dalam kegelapan, memang tak begitu terlihat, tapi sepertinya ia kenal.

“Yabu-chaaann..”

Mereka berciuman!! Itu kan Yabu pacarnya Ayame. Inoo tanpa pikir panjang berlari ke tempat
mereka berdiri, menarik baju Yabu.

“KAU!!!”, Inoo menghantamkan tinju nya pada Yabu.

Yabu terhuyung jatuh dan kaget dengan pukulan tiba – tiba itu. Tak lama Yabu bangkit, melihat
Inoo dengan kesal.

“Apa – apaan ini?!!”, teriak Yabu.

Inoo tak menjawab dan memukul lagi Yabu, Naoko yang kaget dan tak mengerti apa – apa akhirnya malah pergi.

“Kau berani menduakan Aya HAH??!!”, otak Inoo dipenuhi kemarahan, ia tak lagi berfikir secara logika seperti biasanya.


Hari berikutnya Yabu datang dengan wajah penuh luka. Ia tak habis pikir dengan Inoo Kei itu. Siapapun dia, ia bahkan tak mengenalnya. Hanya sekali bertemu, pertemuan kedua kali ia malah dipukuli oleh orang itu.

“Yabu…are??? Wajahmu kenapa?”, tanya Taiyou yang bingung dengan wajah Yabu yang penuh luka.

“Sudahlah…”, Yabu malas membahasnya.

“Yabu-kun!!”, seseorang memanggilnya dari luar kelas, ternyata Ayame.

Yabu dan Ayame kini duduk di bangku taman sekolah mereka. Yabu benar – benar sedang tidak mood untuk bertengkar.

“Kei-chan cerita semuanya…”, kata Ayame.

“Apa maksudmu?”

“Kau dengan siapa semalam?”

“Teman.”, jawab Yabu singkat.

“Bohong… kau berciuman dengannya kan?”

“Dia yang menciumku… bukan salahku..”, jawab Yabu lagi.

Ayame terdiam.

“Yabu-kun jahat!! Kenapa Yabu-kun???”, ternyata Ayame menangis.

“Kau percaya aku atau cowok aneh itu?!!”, teriak Yabu yang kini kembali hilang kesabaran.

“Jangan sebut Kei-chan seperti itu!!”, bentak Ayame.

“Dia memang aneh!! Siapa dia? Pacarmu yang lain??!!”, teriak Yabu lagi.

“IYAAA!! Puas??!”, Ayame meniggalkan kursi itu.

Sejak saat itu, Yabu dan Ayame putus, mereka tak pernah lagi saling menghubungi satu sama
lain, bahkan bila tak sengaja berpapasan, mereka saling menghindar.


-Flashback end-



Yabu keluar dari ruang periksa, dan mendapati Miyuy masih di situ, menunggunya. Wajahnya ditekuk, tak sedikitpun tersenyum.

“Kau baik – baik saja?”, Tanya Miyuy.

Yabu mengagguk, “Seharusnya tak perlu ke rumah sakit..”, kata Yabu yang kini wajahnya
banyak plester menempel.

Miyuy tak menjawab, hanya kembali menunduk. Yabu belum mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Miyuy, sehingga Miyuy masih bingung dan bertanya – tanya ada apa sebenarnya dengan kedua pria itu.

Sisa perjalanan Yabu mengantar Miyuy ke rumah sama sekali hening. Baik Yabu maupun Miyuy sibuk dengan pikiran mereka masing – masing. Miyuy baru ingat apa yang ia baca tadi pagi.
“Sesuatu akan terjadi hari ini di keramaian.”, “Kebenaran akan terungkap.”

Tapi kebenaran apa? Kebenaran kalau kekasihnya ini punya musuh? Lalu siapa Ayame? pikir Miyuy.

“Aku pulang….”, kata Yabu ketika sampai di depan rumah Miyuy.

“Hmm..”, jawab Miyuy pelan.

“Maaf aku mengacaukan date kita….”, lalu Yabu berlalu.

Masih meninggalkan pertanyaan besar bagi Miyuy.
----------------------

“Jadi… Yabu itu…”, Opi hanya mengangguk mengerti apa yang diceritakan secara singkat oleh Inoo.

“Aku kesal melihatnya tadi…’, kata Inoo yang kini sudah mulai tenang.

Suasana di taman bermain itu sudah hampir gelap. Beberapa permainan bahkan hampir ditutup.

Opi dan Inoo sejak tadi hanya duduk dan Opi mendengarkan cerita dari Inoo.

“Tapi aku tak pernah merasa kalau Yabu seperti itu… ia cukup baik kok..”, kata Opi. “Bukan maksudku untuk membelanya… tapi…”

“Kurasa ia masih bajingan mungkin… entahlah Opi-chan…”, Inoo kembali menempatkan es di luka memarnya, “Ouch..”, keluhnya.

Opi merebut es yang dibalut sapu tangan itu, mengompreskannya pada Inoo. “Kau membela Ayame sampai seperti itu?”, gumam Opi.

Inoo bisa mendengarnya, namun tak mau menjawab. Ini masalah rasa kesalnya yang masih ada,
Ayame mungkin memang cinta pertamanya, tapi untuk perasaannya saat ini, Inoo bahkan tak yakin ia masih cinta atau tidak atau memang selama ini perasaannya pada Ayame ternyata memang sekedar seperti adik sendiri.

“Ia sudah seperti adikku, maka itulah aku tak suka ada yang menyakitinya..”, akhirnya Inoo menjawab.

“Hmmm…”, Opi hanya kembali bergumam.

“Kau percaya kan?”, tanya Inoo yang kini heran dengan dirinya kenapa ia harus meyakinkan
Opi kalau ia tak ada hubungan apapun dengan Ayame.

“Aku percaya.”, jawab Opi yang kemudian beranjak, “Aku beli minuman hangat dulu.
Sebentar…”, Opi menyerahkan es yang ia pakai untuk mengompres Inoo lalu menuju mesin
penjual minuman, mengambilkan Inoo teh hangat dan untuknya kopi.

Sesaat Opi terdiam di depan mesin itu. Kejadian hari ini memang sedikit aneh, lebih aneh karena ia merasa malah lebih dekat dengan Inoo ketimbang menjauh karena masalah ini. Merasa mengharapkan hal – hal yang tak mungkin, Opi mencoba menghapus harapannya dengan Inoo, ia tak mau tersakiti lagi.

Opi mengambil minuman hangat itu dan berbalik menuju tempat Inoo duduk. “Ini…”, kata Opi menyerahkan minuman itu.

“Arigatou…oh iya… orang tua mu kesini jam berapa?”, tanya Inoo.

“Hmmm.. Papa bilang mungkin setengah jam lagi, kenapa?”

Inoo menarik tangan Opi, “Ayo…”

“Hah?”

Opi merasa wajahnya memerah karena malu, dan dadanya pun bergemuruh, kini ia ada di bianglala bersama Inoo. Entah dengan alasan apa Inoo bilang ingin naik bianglala sebelum pulang.

“Kireeeiii..”, seru Opi yang gugup dan melihat pemandangan lampu - lampu yang mulai menyala dan langit senja yang indah.

Inoo tak bergeming, lalu tanpa aba – aba menggenggam tangan Opi.

“eh?”, Opi sedikit kaget, “Hah?”, dan menoleh pada Inoo, “Inoo-kun?”

Tangan kiri Inoo tiba – tiba bergerak dan menyentuh wajah Opi, Inoo mendaratkan sebuah kecupan di kening Opi tanpa mengatakan apapun.

----------------------

“Aku senang sekali kau sudah siuman...”

Kalimat dari seorang Jin itulah yang diingat oleh Din ketika baru membuka matanya. Masih lekat diingatan, ketika ia bersama Naomi mengalami kecelakaan yang tak pernah dibayangkan

Hari itu juga, entah hari keberapa Din berada di rumah sakit. Jin selalu datang untuk menemaninya, mengganti bunga yang berada di vas agar Din selalu menatap pemandangan segar setiap pagi

“Jinjin, hari ini tak ada pemotretan?”

“Hmm, jadwalku hari ini agak siang...jadi bisa agak santai...”, balas Jin, tak lupa menyertakan
senyumannya

“Aku bosan, aku ingin pulang ke rumah...”, rengek Din pada pria yang berusia 6 tahun lebih tua darinya itu

“Hh...”, Jin hanya menghela napas dan kemudian kembali mengembangkan senyumannya

Din tak membalas, wajahnya nampak cemberut

“Jangan bilang-bilang, ya...”, Jin mengeluarkan sesuatu berbentuk kotak dari tasnya
“...Katsudon dari toko favoritmu...”

Hampir saja Din melompat kegirangan dari tempat tidurnya “Kyaaaa, Jinjin!”

“Ssst, jangan berisik. Kalau ketahuan para suster, aku bisa dimarah... sekarang, buka
mulutmu...”

Jin begitu memperhatikannya, Din sangat menyukai saat-saat seperti itu. Mengingatkannya pada masa kecil. Setiap kali Din sakit, Jin tak pernah absen menjaganya, atau setidaknya menjenguk dan membawakan Din makanan atau apapun yang disukainya.

“Saa, selesai...aku harus pergi sekarang. Begitu sekolah selesai nanti, Yuya pasti akan datang menemanimu...”, Jin beranjak dari duduknya

“Ng, Jinjin sudah selesai menemani Naomi-neechan, atau...baru akan pergi ke kamarnya?”

Tak ada jawaban, Jin hanya tersenyum dan sesaat mengusap rambut Din lembut sebelum akhirnya menghilang ke balik pintu

Berada di rumah sakit membuat Din lumayan banyak menghabiskan waktu sendirian. Saat-saat seperti itulah ia tanpa sadar memikirkan banyak hal. Pertanyaan terbesar yang ada dalam pikirnya

‘Apakah Naomi –neechan baik-baik saja?’

Dokter bilang, Din mengalami koma selama beberapa hari. Pikirnya, apakah Naomi juga mengalami koma, kalo memang begitu, apakah ia juga telah siuman

Apakah Naomi juga sedang dalam perawatan, diruangan yang berbeda tentunya, dan juga perban yang tak kalah banyak menghias kepala dan seluruh tubuhnya

Atau...apakah Naomi diruangannya sedang bersama Jin yang menemani, menghabiskan waktu-waktu romantis bak adegan dalam drama TV.

Setiap kali Din bertanya tentang keadaan Naomi pada Jin atau siapapun, ia tak pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Jin hanya akan tersenyum dan mengucap lembut “Shinpai wa nai yo...”.


Jelas Din tak bisa untuk tak khawatir.

“Dinchan..waktunya makan siang...”, seorang suster tersenyum ramah, membawakan Din seporsi lengkap makanan khas rumah sakit

Din menggeleng pelan “Aku masih kenyang, suster...”

“Hh...lain kali, kalau pacarmu datang, aku akan memintanya untuk tidak membawakanmu makanan yang aneh-aneh dulu, itu tak baik untuk pemulihanmu...”

Sebuah seringai nakal diperlihatkan Din “...tapi dia bukan pacarku, suster...”, nada bicaranya melemah

“Souka...Gomen ne, tapi kalian terlihat seperti pasangan...”

“Chigau..Onii-chan desu...”

“Sou...Kalau begitu, apa kau punya pacar, hmm?”

“Eto...”, Din belum sempat menjawab

“Tuan Putri, aku datang menjenguk...”, seseorang yang tak lain adalah Yuya tiba-tiba
melangkahkan kakinya masuk kedalam ruang perawatan Din –masih dengan seragam dan tas
sekolahnya. Membungkukkan badan, Yuya memberi salam pada perawat yang masih nampak mudah itu, dan perawat itu pun balas membungkuk dan tersenyum pada Yuya

“Yuya?”

Sedikit terkejut, Din tak bisa meneruskan kata-katanya melihat Yuya membawa sebuket besar bunga freesia berwarna kuning segar

“Nah, tuan...Takaki”, ucap si suster melirik tulisan kecil di tas sekolah Yuya “...sekarang waktu besukmu. Karna Dinchan sudah dapat makan siangnya, aku akan membawa kembali makanan ini dan akan datang lagi untuk waktu minum obat nanti...”, wanita muda itu tersenyum kemudian membungkuk

“Ah, ya. Terimakasih”, balas Yuya sopan sebelum suster itu meninggalkan ruangan Din dengan membawa seporsi makanan yang sama sekali belum disentuh

“Ng? Ada apa? Kenapa melihatku aneh begitu” Yuya berbalik, menatap kearah Din

“Untuk apa bunga itu?”

“Huh? Tentu saja aku bawa ini karna akan menjengukmu yang sedang terbaring di rumah sakit”, papar Yuya

“Lalu kenapa bawa freesia?”

“Itukan terserah padaku! Jangan cerewet!”, Yuya berusaha menahan nada suaranya agar tak berubah meninggi

“Dasar tak punya sense. Apa Yuya tak pernah mendengar tentang bahasa bunga? Setidaknya, bawakan bunga dengan arti yang sedikit lebih...”

“Ha? Mana aku mengerti yang macam itu?! Memangnya ada apa dengan freesia? Ini kan bagus...”

“Freesia kan artinya...”, Din mulai menggembungkan pipinya “...childish”

“Ha! Kalau begitu, pilihanku tak salah! Kau memang childish, sesuai sekali...anak manja! Haha!”

“Jangan mengejekku, playboy palsu!”

“Cerewet! Gadis aneh yang hobi marah-marah!”

“Pangeran gadungan yang sok tempting!”

“Keras kepala!”

“Yuya juga keras kepala!”

“Hey, kenapa kau tidak menyadarinya? Kalau kepalamu tak sebegitu keras, mungkin kau tak akan sela...”, Yuya mendadak tak bisa meneruskan kata-katanya

“Tak akan apa, Yuya?”, tampak raut penasaran di wajah Din

“Ah! Dasar tante-tante galak!”, Yuya tampak sedikit berfikir sebelum akhirnya menemukan kata-kata untuk kembali menghina Din

“Aku bukan tante-tante!”

“Bukankah yang cerewet itu tante-tante, hah? Lalu, kalau kau galak, itu memang kenyataan”

“Aaah...”, wajah Din mulai memerah karena kesal “Berhenti mengejekku, honey blond jadi-jadian!”

“Apa?!”, Yuya berubah sedikit emosi mendengar Din menghina warna rambut yang dibanggakannya “...dasar poni konyol!”

“Uhh...!”, Din secara spontan mengangkat bantal di ranjangnya untuk memukul Yuya. Beraninya
Yuya mengejek model rambut kesukaannya, padahal Jin selalu memuji Din dengan kata ‘manis’ bahkan sejak ia masih kecil

“Tapi kau manis...”

Wajah Din masih terlihat memerah, tapi kali ini bukan lagi karena kesal. Ia tak percaya akan mendengar kata-kata itu dari Yuya, seketika Yuya menahan bantal yang akan dilayangkan
Din dan menatap Din lurus dengan mata gelap warna madu it.

Din juga masih terpaku. Baru kali ini pula, Yuya mengakhiri perdebatan mereka dengan cara seperti itu
----------------------

Suasana kelas 3B sedikit aneh dari biasanya. Nu tak terlihat bersama Miyuy, Py atau Opi. Din belum juga masuk sekolah sehabis kecelakaan.

Py merasa bosan karena semua temannya sepertinya sedang ada masalah masing – masing. Membuatnya sedikit risih dengan wajah bete semua temannya.

Lebih aneh lagi karena Nu tidak masuk sekolah, tidak juga membalas e-mail dan mengangkat telepon. Py khawatir tentu saja, tapi ia juga bingung bagaimana mencari Nu, membuat Nu keluar dari apartemennya. Karena Nu tak terlihat sama sekali, bahkan apartemennya sperti kosong menurut Opi.

Entah sejak kapan, atap sekolah menjadi tempat nya biasa menunggu Hikaru. Walaupun kadang mereka hanya saling diam dengan pikiran masing – masing, atau sekedar berpegangan tangan melihat awan, membuat Py bahagia. Py sendiri bingung jika ditanya apa hubungan mereka berdua? Mereka bisa dibilang sudah pacaran mungkin, walaupun belum ada kata – kata itu keluar baik dari Hikaru ataupun Py.

Hari ini tampaknya Hikaru sedikit telat, namun Py tak masalah, Hikaru pasti datang. Selama menunggu, Py menggambar di buku sketsa nya seperti biasa.

“Gomen… aku telat…”, suara itu keluar dari Hikaru yang baru saja datang.

“Daijoubu… dari mana?”, tanya Py yang melihat jam tangan, ternyata Hikaru sudah telat lebih dari sepuluh menit.

Hikaru duduk di sebelah Py, “Hanya ada urusan sebentar…”, jawabnya.

“Hmmm…”, Py mengangguk.

Tiba – tiba Hikaru menyodorkan sebuah lollipop rasa cola di hadapan Py, “Kore!!”, katanya ceria, seperti biasa.

“Arigatou Hikka-kun..”

“Mmm…”, Hikaru pun membuka satu lollipop lain untuk ia makan sendiri.

“Ah iya… bagaimana keadaan Ikuta-san?”, tanya Hikaru yang juga sudah mendengar tentang kecelakaan itu.

“Sepertinya sudah mendingan, ia tak suka kita terlalu mengkhawatirkannya…”, kata Py yang tahu seberapa keras kepala nya sahabatnya itu.

“Yokatta na…”

“hmmm….”

Hikaru lebih pendiam dari biasanya, seakan banyak sekali yang menyesakkan pikiran Hikaru hari itu.

“Py-chan…”, Hikaru meraih tangan Py.

“Hmm?”

Tak menjawab, Hikaru hanya terus menggenggam tangan Py dalam diam.

“Pulang sekolah ini, mau ke apartemenku?”

“Eh?”, Py merasa dadanya dag-dig-dug karena tak menyangka akan ajakan itu, “Kenapa?”

“Aku ingin menunjukkan Bass yang selalu aku ceritakan pada Py…”, kata Hikaru.

Py pun mengangguk walaupun ia yakin wajahnya sudah memerah saat ini.


“Ini apartemenku…”, kata Hikaru pada Py.

Apartemen itu hanya apartemen kecil biasa. Terdiri dari satu dua ruangan yang berupa dapur dan kamar tidur. Tidak rapi, tapi juga tidak terlalu berantakan. Hikaru mempersilahkan Py duduk di karpet yang ada di ruang tengah itu, satu meja kecil ada di tengah – tengah ruangan selain kasur yang mepet ke dinding tanpa ranjang.

“Arigatou…”, kata Py yang makin deg – deg an saja sekarang.

Hikaru beranjak ke dapur dan memberi Py segelas teh.

“Maaf.. hanya ada ini…”, kata Hikaru.

“Daijoubu…”, jawab Py tersenyum, “Jadi Hikka-kun benar – benar tinggal sendiri ya??”, kata Py
lagi.

“Iya keluargaku di Sendai….”, jawab Hikaru pelan.

“Hmmm… aku tak pernah tinggal sendiri… pasti cukup sulit ya?”, tanya Py lagi.

Hikaru menggeleng, “Tidak juga. Sebenarnya, Yabu pernah memintaku untuk tinggal bersamanya di rumah orang tuanya, tapi aku menolak.”, jelas Hikaru.

“Eh? Kenapa Hikka-kun?”, tanya Py heran.

“Tidak apa – apa. Aku hanya ingin tinggal sendirian.”, jelasnya.

“hmmm..”

Hikaru beranjak dan mengambil Bass yang ia maksud. “Ini…”, kata Hikaru dengan senyum mengembang.

“Waaaahhh..bagus ya Hikka-kun…”, kata Py ikut tersenyum.

“Tidak mahal sih… tapi aku suka dengan Bass ini…”, kata Hikaru lagi.

Py tersenyum, “Kalau Hikka-kun memainkannya bagaimana?”

Hikaru pun melakukan apa yang Py minta. Selama beberapa menit ruangan kecil itu hanya dipenuhi oleh suara permainan Bass oleh Hikaru.

“Sugoiii!!”, kata Py walaupun ia tak terlalu mengerti soal Bass, tapi ia rasa permainan Hikaru memang bagus.

“Hehehe…”, kata Hikaru tersenyum canggung, “Arigatou…”

“Pasti Hikka-kun bisa jadi pemain Bass terkenal nanti…”, kata Py lagi.

“Muri…hahaha…”, Hikaru tersenyum pahit.

“Eh? Nande?”

“Gak apa – apa Py-chan….”, katanya lalu tersenyum.

Seperti biasa senyum itu yang membuat Py juga dapat ikut tersenyum. Hikaru dan Py pun mengobrol, hingga tak sadar waktu sudah cukup malam.

“Hikka-kun…sudah malam…”, kata Py menyadari setelah melihat ponselnya.

“Ah iya…ayo pulang….”

“Eh?”

“Sudah malam Py-chan… kau tak mungkin pulang sendiri…”, kata Hikaru sambil beranjak dan
mengambil jaketnya.

Sepanjang pulang itu Hikaru tak banyak bicara hingga tiba di depan rumah Py.

“Arigatou Py-chan…hontou arigatou…”, kata Hikaru sambil masih menggenggam tangan Py.

“Eh? Kenapa berterima kasih padaku?”, tanya Py heran.

Hikaru menggeleng, “Tak apa… hanya…. Terima kasih atas segalanya…”

Py masih heran, terlebih heran ketika secara tiba – tiba Hikaru memeluknya.

“Hikka-kun…”, panggil Py pelan.

“Biarkan aku begini… sebentar saja….”, bisik Hikaru pelan, menarik Py ke dalam pelukannya lebih dalam.

---------------------------

misaki miyuy calling…


Untuk Nu, getaran ponselnya terasa begitu menyakitkan. Hanya bisa membiarkan panggilan masuk tanpa menjawabnya

Getaran itu akhirnya berhenti

Dengan berat hati, Nu menekan tombol shortcut pada keypad ponselnya

new events (112)
63 missed calls
49 unread mails


“Kenapa mereka tak ada lelahnya…?”, ujarnya pelan

Terlihat beberapa nama yg mendominasi pada bagian missed call, Misaki Miyuy, Arioka Daiki, Yoshitaka Poppy, Yamashita Opi

Terdapat variasi urutan dari beberapa nama tersebut sesuai waktu telepon yang sengaja Nu biarkan. Juga nama-nama yang sama ketika ia melihat bagian unread mail.

Misaki Miyuy
Yoshitaka Poppy
Yamashita Opi
Arioka Daiki
Ada satu yang berbeda dari variasi berpola tersebut


Sender: yoshida.hinagiku@pqrmail.co...
Subject: tolong kembali ke sekolah
Message:
tolong kembali ke sekolah, Takahashi…


Sebuah alamat email yang terdapat di phonebooknya. Yoshida Hinagiku, butuh waktu cukup lama bagi Nu untuk dapat mengingat siapa pemilik nama itu

“Ah.. wakil ketua kelas…”, ucap Nu akhirnya. Karena ingat Din pernah menyebutnya. “Bagus, bahkan sekarang orang menganggapku hikikomori…”

Ketika tombol down ditekan beberapa kalipun, tak banyak perubahan dari variasi dengan pola semula.

Arioka Daiki
Yamashita Opi
Misaki Miyuy
Yoshitaka Poppy


Tentu saja, deretan itu terasa tak lengkap. Ada satu bagian penting yang hilang…



Ikuta Din


“Dinchan…”

Sudah hampir satu minggu penuh Nu tidak pergi ke sekolah. Semua tentang sekolah membuatnya merasa sesak. Mengingat perlakuan tak menyenangkan yang diterimanya, juga perasaan tertekan setiap kali mengingat kata-kata yang diucap beberapa teman sekelas beberapa hari lalu. Tentang teman-teman dekatnya. Tentang seorang bernama Arioka Daiki yang belakangan ini jarang membiarkan waktu sendiriannya.

Getaran kembali terasa dari benda yang tak lain adalah ponsel

arioka daiki calling…

Nama itu. Nama itulah yang paling membuatnya merasa kesal

“Kenapa aku harus peduli?!”

Benda itu meluncur dengan cepat, membentur dinding dengan cantiknya dan berubah menjadi
bagian-bagian ketika menyentuh lantai. Tak ada lagi getaran.

Kepala Nu yang semula terbenam dalam bantal seketika terangkat ketika pendengarannya menangkap sebuah suara.

Seseorang membuka pintu kamarnya.

Siapa ?

Kenapa bisa ?

Ia bisa memastikan bahwa pintu kamarnya terkunci, juga pintu utama.

“Kupikir, kau masih ada disekolah”

Kontan Nu terbelalak mendapati sosok yang masuk kedalam kamarnya. Seorang berrambut hitam pendek. Orang yang sama dengan pria pirang yang beberapa bulan lalu menjadi orang paling penting bagi dirinya, hanya penampilannya yang berbeda.

“Kyo-san…”, panggil Nu lirih.

“Aku datang untuk kembalikan ini…”, pria yang dipanggil Kyo itu membungkuk, meletakkan sebuah benda yang terbuat dari logam diatas meja. Tak lain adalah sebuah kunci, kunci copy dari kamar yang ditinggali Nu

“Padahal dibuang juga tak masalah…”, ucapnya dingin

“Mungkin kau masih membutuhkannya”, balas pria itu sesingkat mungkin

Suara itu. Begitu dirindukan. Ia ingin mendengar suara itu lagi

“Kenapa Kyo-san harus peduli?”

Kyo beralih, ke tempat tidur Nu –yang sejak beberapa waktu terakhir tak lagi menjadi tempatnya menghabiskan waktu

“Hh, tak ada alasan.”, ucapnya acuh.

“Kalau begitu, aku salah telah kalau berpikir Kyo-san peduli…”

“Anggap saja begitu…”, Pembicaraan mereka memang tak pernah manis, tapi seingat Nu paling
tidak Kyo sudah sedikit berubah sikapnya.

“So, tell me. Why did you leave me? Just tell me why. Tell me the reason..”, tanya Nu.

“Yang sebenarnya. Tak ada alasan”

“Why did you think that was okay to went out with me ?”, tanya Nu lagi.

“Tak ada alasan.”, jawabnya lagi.

“Kenapa semuanya dijawab dengan ‘tak ada alasan’?”, nada suara Nu meninggi.

“Haruskah aku berpikir tentang itu? Haruskah aku peduli?”, imbuh Kyo lagi.

“Kalau begitu, kembalilah…”, perlahan Nu menyandarkan kepalanya dibahu Kyo.

“Haruskah aku bertanya alasannya?”

“Aku butuh Kyo-san, aku butuh semua ketidakpedulian Kyo-san”

Hening

Sejenak, pria berrambut hitam itu menyalakan pemantik dan menyesap sebatang Phillip Morris
dibibirnya dalam-dalam. Aroma yang begitu dirindukan pula.

“Sebenarnya”, Kyo mulai membuka suara “Sejak awal, aku tak pernah mencintaimu”.

Semua orang tahu, Kyo ahli dalam hal berbohong, tapi sesekali ia bahkan jadi sangat payah
dalam hal tersebut.

“Aku juga”, Nu menimpali.

“Urusanku selesai. Aku akan pergi”. Kyo beranjak. Tak ada lagi tempat bagi Nu dimana
kepalanya bertumpu.

Bukan lagi tempatnya.

“Dimana kau simpan ashtraynya?”, Kyo mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.

“Aku bukan perokok. Jadi kubuang”, bohong.

“Hah! Tapi itu berguna…”

“Saat membuangnya, aku yakin Kyo-san tak akan kembali, jadi sudah tak lagi ada gunanya”


Daiki sebisa mungkin mempercepat langkahnya menuju salah satu kamar flat yang begitu dihafalnya. Kamar milik teman sekolah bernama Takahashi atau yang --dengan kesepakatan sepihak-- dipanggilnya Nuchan. Tak ada hal lain yang dipikirkan selain bisa sampai ke kamar itu dengan cepat.

“Aah!!”

Tiba-tiba, Daiki merasakan tubuhnya sedikit terpental dan jatuh kebelakang. Ia baru saja
menabrak seseorang tanpa sengaja.

Dengan segera, Daiki kembali berdiri dan membungkuk dalam-dalam

“Go, gomennasai! Aku benar-benar tak sengaja”

Sementara yang ditabrak, hanya membetulkan letak kacamata raybannya yang sempat terlepas karena peristiwa tabrakan. Memperlihatkan anggukan samar tanpa kata-kata dan kemudian berlalu.

Wajah itu. Daiki berani bertaruh kalau ia pernah melihatnya. Hanya sayangnya, ia tak ingat siapa ataupun dimana pernah bertemu.

“Ah, Nuchan!”, Daiki meneruskan langkah ketika teringat tujuan utamanya


“Kyo-san!”

Lagi. Nu mendengar seseorang membuka pintu kamarnya

“Nuchan!”, panggil Daiki dari pintu.

Tapi bukan seorang yang diharapkan

Dipikiran Nu, sosok itulah yang mempunyai paling banyak korelasi dengan hal buruk yang terjadi padanya beberapa hari lalu.

“Keluar”, ujar Nu dingin tanpa menujukan pandang pada sosok itu. Daiki. Sejak beberapa hari
lalu ia mencoba masuk ke flat milik Nu. Tapi nihil, teman sekolahnya itu sama sekali tak memberi akses. Berbeda kali ini. Kyo yang baru saja keluar tak mungkin mengunci kembali pintunya, Nu melupakan itu.

“Tapi, aku ingin membawa Nuchan…”

“Kubilang, keluar! Apa kau tuli, hah?!”, potongnya sarkastik.

“Nuchan, kumohon dengarkan aku…”, tak menghiraukan. Daiki melangkah, memperkecil jarak antara dirinya dan gadis berkulit pucat itu

“Pergi sana! Aku tak ingin melihatmu!”

“Aku…”, kekecewaan mulai tampak jelas di wajah Daiki

“Pergi…”, Nu terus bergerak kebelakang, berusaha menjauh dari Daiki yang terus mempersempit jarak, namun tak ada lagi ketika dingin tembok menyentuh punggungnya “…aku membencimu…”

“Tolong jangan benci aku…”, Daiki mulai terbawa emosi.

Menenggelamkan wajahnya di kedua lutut yang diketuk, Nu mulai mengeluarkan suaranya yang kini mulai bergetar “Sejak awal, aku selalu berharap tak ada lagi yang menyapaku selain keempat temanku…tapi semenjak kau datang, yang kudapatkan bahkan lebih dari itu. Kau membawa masalah bagiku, aku ingin kau menjauh”

Setiap kata yang diucap Nu terasa begitu sakit bagi Daiki. Ia tahu apa yang terjadi hingga membuat Nu absen dari sekolah. Ia juga paham betul, untuk seorang introvert seperti Nu, itu bukanlah hal yang mudah

“Tak apa kalau Nuchan tak ingin melihatku. Tapi aku ingin Nuchan melihat Dinchan. Dia sudah sadar. Kabar baik, kan? Nuchan belum melihatnya, kan? Aku datang untuk menjemput…”

“Aku tak akan pergi. Kau sudah mendapat jawabanku, jadi sekarang keluarlah”

“Kenapa…?”

“Aku tak ingin peduli”

“Aku tahu Nuchan ingin melihat Dinchan…”, Daiki tersenyum, begitu polos dan tulus.

“Jangan mengandaikan pemikiran pribadimu sama seperti yang aku pikirkan!”, bentak Nu.

“Tapi benar, kan?”, Daiki masih tak mau kalah.

“Sama sekali tidak”

“Bohong. Aku yakin Nuchan peduli”

“Kau tahu apa tentangku?!”, teriaknya lagi.

Daiki menunduk. Mencari-cari kata apa lagi yang harus diucapkan

“Kalau begitu, sekarang pedulilah…”

“Kenapa aku harus?”

“Karna dia temanmu. Mereka teman-temanmu. Mereka peduli padamu…”

“Aku tak peduli kalau mereka peduli padaku. Aku tak meminta mereka peduli!”

PLAKK !

Sebuah tamparan dari Daiki sukses membuat Nu terdiam.

“Beginikah caramu menghargai sebuah persahabatan? Buka matamu, kali ini saja kumohon
untuk tak bersikap egois!”

Dalam pikirnya, Nu ingin sekali membalas apa yang dikatakan Daiki. Membentak. Balik
menampar. Atau bahkan berteriak agar Daiki segera keluar dari tempatnya. Ia benci kalah dan tak bisa menjawab. Namun, perih yang terus menjalari pipinya seakan membuat mulutnya terkunci.

“Sekarang tak ada bantahan lagi. Ikut aku…!”, tatapan tegas Daiki, selalu membuatnya tampak begitu dewasa

Hanya bisa terdiam, Nu membiarkan Daiki menggenggam tangan dinginnya. Membimbing langkahnya.

-----------------------------

“Kabar baik, Dinchan. Dokter bilang, beberapa hari lagi kau sudah boleh pulang...”, ujar Jin tersenyum sembari memberikan sebuah eksemplar majalah Myojo favorit Din edisi terbaru dengan tampilan imej grub band NEWS –yang sudah sejak lama menjadi favorit Dinchan- di sampul depannya

“....”, diam

Jin jelas merasa aneh. Din selalu berteriak histeris jika Jin membawakannya majalah favorit,
ditambah dengan kabar baik bahwa besok ia telah diperbolehkan menginggalkan rumah sakit.

Tapi kali ini berbeda, Din terlihat sama sekali tak senang.

“Ng, kenapa?”

“Biarkan aku melihat Naomi-neechan. Kalian bahkan tak beritahu aku dimana tempatnya dirawat. Aku ingin tahu keadaannya...”

Jin sesaat menggigit bibir bawahnya melihat wajah sedih gadis yang sudah seperti adik kandungnnya itu

“Sudah aku bilang, tak ada yang perlu dikhawatirkan...”, Jin beranjak dari tempatnya, mendaratkan bibirnya untuk sebuah kecupan manis di puncak kepala Din

Seakan jantung Din berhenti berdetak. Ia jelas masih menyimpan perasaan pada pria yang telah dikenalnya selama belasan tahun itu

Yuya berhenti dan mematung di pintu kamar rawat Din, menyaksikan pemandangan yang disaksikannya, antara Din dan kakaknya sendiri. Mungkin semua tak seperti yang Yuya lihat.
Tapi, apa yang dia tahu?

GSSRAK—

Buket itu terjatuh ke tanah ketika Yuya yang tadi memegangnya mengambil keputusan seketika untuk meninggalkan ruangan itu

Berlari. Membawa perasaan di hatinya bersama langkah kaki yang semakin cepat menuju atap rumah sakit. Kesal. Kecewa. Cemburu.

“Ng!”, menolehkan kepalanya kearah pintu masuk, Jin mendapati sebuket bunga yang tergeletak di lantai

“Yellow roses, mungkin tadinya ada yang membawa ini untukmu...”, ucap Jin memungut buket itu dan berjalan menuju tempat tidur Din

Din tak menjawab, hanya menunduk dan bergumam lirih

“Yellow roses...jealousy...”
-----------

To Be Continued!!!
SEPANJANG JALAN KENANGAAAAANNN…
Maaf lama, author lagi pada sibuk…
Silahkan dibaca fic berdurasi 5000 kata ini…
Yang masih aja lum tamat…
LOL
Ganbarimasu!!
Next chap gak bakalan lama…karena tinggal saia yang ngedit…
Dinchan yori..
Hehehehe.. 

Minggu, 29 Agustus 2010

[Fanfic] Accidentally In Love (chap 8)

Title : Accidentaly In Love
Chapter : Eight
Author : TegoMura
Genre : Romance
Rating : G
Pairing : Miyabu,HikkaPy,TakaDin,Inoopi,Dainu
Fandom : Johhny’s Entertainment, Desperate Housewives
Disclaimer : Py, Miyuy, Din, Opi and Nu belong to theirselves, Hey! Say! BEST is belongs to JE. we don’t own them...Comments are LOVE minna~

Di bangku perpustakaan, Daiki menemukan Nu tertidur, dengan buku-buku pelajaran disekelilingnya.

“..Nuchaaan...”, Daiki beralih kesamping Nu dan meniup-niup daun telinganya.

“Ah!”, tersentak bangun, kontan Nu menutupi kedua telinganya, tak bisa menyembunyikan wajahnya yang benar-benar memerah “Arioka, apa-apaan?!”, tanya Nu sedikit membentak, memang saat itu tak ada banyak orang di ruangan perpustakaan karena sudah jam pulang sekolah.

“Maaf, tapi Nuchan...kalau tidur seperti itu, bisa sakit punggung lho...”, katanya masih dengan wajah polos yang tak tahan Nu lihat.

“Bukan urusanmu”, balas Nu singkat sambil membereskan buku-bukunya.

“Ano...di telinga kiri Nuchan...apa tidak sakit?”.

Nu tahu apa yang dimaksud Daiki, beberapa piercing di telinga kirinya, yang dibuatnya tempo hari seperti yang dimilki Kyo.

“Tidak terasa sakit...waktu itu...”, jawab Nu seraya menyisir rambutnya dengan jari, membuat telinganya tak terlihat.

“Tapi...disekolah dilarang pakai yang seperti itu, kan?”

“Cerewet. Bergabung saja dengan komite disiplin”, ekspresi wajah Nu terlihat terganggu, tak butuh waktu lama, Nu segera melangkah keluar ruangan perpustakaan

“Nuchan..mau kemana?”, tanpa berpikir panjang, Daiki mengikuti langkah Nu

“Pulang”


“Sudah, pulanglah. Jangan ikuti aku lagi...”, ucap Nu ketika akan menaiki tangga apartemen yang disewanya.

“Nuchan, besok buatkan bento untukku, ya?”, kata Daiki tiba – tiba.

Ucapan Daiki membuat Nu sesaat termenung, ‘Sejak bersama Kyo, aku tak pernah lagi makan di kantin sekolah saat istirahat’, batinnya

“Tidak!”, tolak Nu spontan.

“Kalau begitu, jadilah pacarku!”, kata Daiki lagi.

‘Kenapa permintaan bocah itu tak pernah masuk akal?’, batin Nu, segala yang dilakukan Daiki, terasa begitu kekanakan

“Tidak!”

“Kenapa?”

Sesaat Nu akan membalas, tapi ia kehilangan kata-kata, tak terpikirkan alasan apa yang akan diucapkan “Ah, sudahlah. Pulang sana!”, ujar Nu akhirnya

“Ha ha ha. Besok Nuchan akan buatkan bento untukku, kalau tidak, Nuchan akan jadi pacarku. Jaa!”, Daiki segera melangkah menjauh, Nu bisa menduga, sekalipun ia tak melihat, saat itu Daiki pasti tersenyum ceria.

Nu berlari dengan cepat menuju beranda, ia masih bisa melihat Daiki “Konyol sekali!!”, teriaknya pada Daiki yang mungkin tak akan mendengar
--------------------------
Py menyandarkan punggungnya yang lelah di atap sekolah. Seperti biasa, ia masih saja mengerjakan komiknya yang masih juga belum selesai.

Walaupun ia sedang menggambar, sebenarnya pikirannya sedikit – sedikit melayang pada sosok Hikaru. Ia tak ingin mengakuinya, tapi sejak tadi ia sebenarnya menunggu sosok itu datang memberinya kejutan lagi. Tapi, Hikaru tidak muncul, ‘mungkin tidak hari ini..’, gumam Py pada diri sendiri.

Py menyalakan iPod nya, memasang headphone dan melanjutkan gambarnya kembali.

Memang begini kebiasaan Py. Bila sudah menggambar, maka Py seakan masuk ke dunia nya sendiri, bahkan dapat membuatnya tak sadar akan semua yang berada di sekitarnya.

Rasanya sudah cukup lama Py menggambar di atap itu.

“Huwaaa~”, refleks, Py membuka airphone nya, “Hika-kun!!”

“Hehehehe~ sudah kuduga Py-chan pasti disini.”, katanya lalu duduk di samping Py.

Tadi Hikaru berhasil membuatnya kaget dengan menempatkan wajahnya sangat dekat di hadapannya.

Py yakin wajahnya masih memerah, jantungnya pun tak karuan.

“Apaan sih Hika-kun!!”, kata Py lalu menutup buku sketsa nya secara otomatis.

“Jadi, kapan aku bisa melihatnya?”, tanya Hikaru lalu menatap Py.

“Mungkin... nanti.. aku belum selesai membuatnya..”, jawab Py.

Hikaru berbaring menatap langit, “Langit sedang cerah sekali...”

“Hmm..”, jawab Py menengadah menatap langit.

Py merasa hari ini Hikaru tak seceria biasanya, tapi Py mengabaikan perasaan itu, ‘mungkin hanya perasaanku saja’, batin Py.

“Py lihat lebih jelas lagi..”, kata Hikaru menarik tangan Py, kini Py juga ikut berbaring melihat ke langit.

Selama beberapa menit kemudian Py dan Hikaru hanya sibuk dnegan pikirannya masing – masing.

“Py punya impian?”, tanya Hikaru dengan suara pelan.

“Un...”

“Apa itu? Ceritakan padaku...”, ujar Hikaru yang masih saja menggenggam tangan Py.

“Aku ingin jadi komikus, karya ku dikenal di seluruh Jepang... tidak... bahkan dunia... lalu...”, Py memberhentikan kalimatnya.

“Lalu?”, tanya Hikaru.

“Impian semua wanita.. jadi seorang ibu..”, kata Py malu – malu.

Hikaru tertawa kecil, “Py lucu...”, katanya.

“Impian Hika-kun apa?”, tanya Py, jantungnya masih berdegup sangat kencang karena Hikaru sepertinya sama sekali tak akan melepas genggamannya.

“Hmmm~”, Hikaru duduk lalu menarik Py ikut duduk. Tanpa melepaskan genggaman tangannya sama sekali.

“Apa?”, tanya Py.

“Py akan tertawa jika mendengarnya.”, ujar Hikaru.

Py menggeleng, “Tidak...aku tak akan mentertawakannya.”

“Aku... selalu ingin jadi musisi..”

“Waaahh~ Sugoiii!!”

“Py tau Bass??”, ujar Hikaru menoleh menatap Py yang kini matanya berbinar menatap dirinya.

“Bass??Alat musik??”, tanya Py meyakinkan.

Hikaru mengagguk.

“Aku ingin memainkan Bass ku di hadapan banyak orang.”

“Sendirian?”, tanya Py heran.

Hikaru menggeleng lalu tertawa kecil, “Tidak tentu saja... dulu, aku dan Yabu punya impian yang sama, Yabu bermain gitar, aku bermain bass...lalu akan ada pemain drum, dan mungkin pemain keyboard juga... kita akan membuat sebuah band..”, kata – kata Hikaru terhenti.

Hikaru tersenyum pahit, “Band kita akan masuk dapur rekaman, lalu terkenal dan dapat menghibur semua orang dengan musik kita...”, jelasnya menggebu – gebu.

Py tersenyum, “Impian Hika-kun hebat sekali...”

“Impian Py juga hebat...”

“Tapi aku tak pernah mampu mewujudkannya, bahkan untuk sekedar mengirimkan naskah komik, jika bukan Din yang memaksaku, aku tak akan mau...”, kata Py pelan.

Py merasa aneh dengan dirinya sendiri, dirinya yang biasanya tertutup bahkan biasanya tak akan bisa berbicara selancar itu pada orang lain kecuali keempat temannya, dapat berbicara selancar ini di hadapan seorang Hikaru. Bahkan membagi ketakutannya.

“Py dan aku... sama saja... entah berapa banyak lirik lagu yang aku dan Yabu buat, kami tetap saja masih di tolak label manapun.”

“Aku yakin Hikaru pasti bisa menggapai impiannya...”, ujar Py.

Hikaru hanya diam, tak menjawab.

“Hikaru sudah lama suka musik?”, tanya Py lagi.

“Sejak SMP... aku sangat ingin jadi musisi. Ketika aku pindah ke Tokyo untuk SMA, aku bertemu Yabu, kami berbagi impian yang sama. Bahkan kau tahu... Bass yang kumiliki sekarang adalah hasil kelaparanku selama beberapa bulan.”

“Eh??”

“Ya.... aku sangat ingin punya gitar bass, maka aku bekerja dan tak makan beebrapa hari untuk menyimpan uang. Sungguh perjuangan saat itu.”, kata Hikaru yang kini sepertinya memikirkan masa lalunya.

“Hika-kun pasti sangat bangga punya bass itu?”

“Karena itu hasil jerih payahku... yah.. tentu saja..”, jelas Hikaru, “Maaf aku malah bercerita macam – macam..”.

“Daijoubu... aku senang Hika-kun mau menceritakannya padaku.”, Py tersenyum.

Hikaru tiba – tiba melirik jam tangannya, “Ah~ waktu istirahat sebentar lagi selesai..”, katanya.

“Masa? Tak terasa ya...”, ujar Py yang juga melirik ponselnya.

“Karena berbicara dengan Py sangat menyenangkan, aku samapai tak sadar... kau bahakn belum makan siang... bagaimana ini?”

“Tak apa...”, Py tersenyum

“Py harusnya lebih sering tersenyum.”, ujar Hikaru tiba – tiba.

Py terlihat salah tingkah, “Kenapa?”

Tanpa aba – aba, tanpa Py sadari, Hikaru mengecup bibirnya pelan.

Dada Py seakan meledak, tubuhnya sama sekali tak dapat bergerak, sepertinya seluruh sarafnya menjadi kaku.

Tak lama, Hikaru melepaskan ciuman itu, “Karena senyum itu paling cocok untuk Py.”

Py masih tak sadar dengan apa yang terjadi.

Bel masuk setelah istirahat berbunyi nyaring, Hikaru menarik tangan Py yang masih ia genggam sejak tadi.

“Ayo!! Sudah bel!!!”, katanya heboh.

-----------------
“Hah? Jadi kamu marah karna aku duduk dengan anak-anak perempuan lain waktu istirahat sekolah?”, ucap Yuya dengan nada sedikit tinggi

“Kamu suka itu, kan?”, balas Din

“Kamu cemburu, kan?”, tambah Yuya, mengembangkan senyuman khasnya yang terkadang terlihat begitu menyebalkan untuk Din

“Kalau kamu ingat, kamu pernah menyuruhku berhenti kirim mail pada Jinjin, harusnya kamu sadar seharusnya kamu tidak ada diantara mereka!”, seperti biasa, Din membentak Yuya dan berhasil pergi sebelum Yuya mebalas

Hari itu, ketika Din bermaksud menghabiskan waktu dirumah Yuya –yang sekarang adalah pacarnya-, suasana berakhir seperti biasa, pertengkaran diantara keduanya

Din berlari menuju kamar Jin, berharap akan menemukan sosok yang biasanya dapat membuat perasaannya sedikit berubah jadi cerah, mengubah mood jelek yang dibuat Yuya.

“Jinjin...!”, serta merta Din membuka pintu kamar Jin, dan alangkah kagetnya ia ketika mendapati Jin tidak sendirian dikamarnya, melainkan bersama seorang gadis. Din ingat, pacar Jin, Naomi. Keduanya terlihat sedikit terkejut sebelum akhirnya Jin melontarkan sebuah tanya

“Ada apa, Dinchan?”, tanya Jin.

“Ah, maaf..aku mengganggu...”, ujar Din pelan, masih memegang gagang pintu.

“Tak apa, masuklah...”, jawab Jin, tersenyum. Juga Naomi, tersenyum untuk Din, terlihat begitu ramah.

Din melangkahkan kakinya kedalam dengan sedikit ragu “Tapi, Jinjin...”, pernyataan Din terputus.

“Dinchan, kenalkan, ini Naomi. Naomi, ini Dinchan. Kalian sudah beberapa kali bertemu, kan, tapi belum sempat berkenalan”, jelas Jin lalu tersenyum.

“Ikuta Din, cukup panggil Din. Salam kenal”, Din membungkukkan tubuhnya.

“Namaku Naomi Lawrence. Salam kenal juga”, balas Naomi tersenyum.

Din sedikit terkejut mendengar nama belakang Naomi “..La, Lawrence?”, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan dengan melihat penampilan Naomi yang lumayan berbeda, berkulit putih dan memiliki sepasang mata berwarna biru jernih

“Ibuku seorang Japanese, tapi ayahku American...”, jelas Naomi sambil masih tersenyum.

Jin memang tak pernah salah pilih.

“Ng, sou...”, sesaat Din menatap Naomi, cantik. Terlihat begitu anggun dan dewasa, Jin pantas bersamanya.

“Bertengkar dengan Yuya lagi, ya?”, tanya Jin.

“Begitulah...”, Din mengangguk pelan. Wajahnya ditekuk karena sebal dengan Yuya.

“Tak apa, lihat deh, dia pasti akan kesepian lalu mencarimu...”, kata Naomi seraya meraih tangan Din, tersenyum begitu lembut.

“Tidak...Yuya bukan tipe seperti itu, dia menyebalkan”, elak Din.

Tiba-tiba Din merasakan ponsel disakunya bergetar, dan melihat satu pesan masuk ketika membuka flipnya

From    : Yuya
Subject    : Bhu!
Dasar jelek kamu, bisanya ngadu
Bhu!  (; ⁻ 3⁻ )Д

Naoko memperlihatkan tawa kecil mendengar Din membacakan pesan dari Yuya “Hi hi, Yuya dan Jin mirip, ya”.

“E? Kenapa bilang kami mirip saat Yuya mengirim pesan macam itu?!”, tanya Jin sedikit terkejut.

“Terkadang, saat cemburu, kau juga bersikap sedikit kekanakan”ujar Naomi tertawa-tawa kecil.

“Eh?”, Din terkejut.

“Naomi, jangan bicarakan itu saat ada Dinchan”, kata Jin mengacak pelan rambut Naomi sambil berlalu.

“Ha ha ha ha”, berpura – pura tak mendengar, Naomi masih tertawa.

Melihat tawa ceria Naomi, membuat Din juga ingin mengumbar tawanya, membawa kembali keceriaannya.

“Kalian, berhenti tertawakan aku...!”, ujar Jin.

Meskipun iri, berada diantara Jin Naomi membuat Din merasa senang. Melihat sisi lain dari Jin yang tak pernah dilihatnya, saat Naomi bersama Jin.

-----------------
“Disini masih ada tempat kosong, kan?”, tanya Daiki –tentu saja sambil tersenyum manis- pada Din, Opi dan Py yang sedang menikmati makan siang di kantin sekolah

“Ng, ya”, jawab ketiganya.

“Eh, kalian jadian juga?”, tanya Din dengan tatapan tak percaya.

“Juga?”, Nu menatap Din bingung.

Din hanya menunjuk salah satu meja yang tak jauh dari tempat mereka duduk, tempat Miyuy dan Yabu menghabiskan waktu istirahatnya.

“Yabu-kun dari kelas c”, ujar Daiki ceria.

“Din juga dengan Takaki kan?”, ujar Py polos.

Opi menyenggol bahu Py pelan, mengisyaratkan Din-sedang-tak-mau-bicarakan-itu pada Py.

Tapi Din hanya diam tanpa ekspresi, menyadari orang yang disebut pacarnya itu tak ada disitu.

Dua tempat kosong diantara mereka. Tempat Nu dan Miyuy. Nu yang sejak lama tak pernah menghabiskan waktu istirahat di kantin dan Miyuy yang sekarang duduk bersama Yabu.

“Jadi?”, tanya Din lagi.

“Eto..kami...”, Daiki kembali akan menjawab.

“Itu sama sekali tak mungkin”, timpa Nu.

“Bukan tidak mungkin...hanya..belum..”, jawab Daiki tak mau kalah.

Ketiga temannya hanya mengerutkan dahi, mengisyaratkan memang-sepertinya-tak-mungkin.

“Gochizousama. Terimakasih, bentou yang dibuat Nuchan enak. Walaupun aku baru pertama kali mencicipi, tapi rasanya aku sudah sering makan”, Daiki tersenyum dan kemudian meneguk minuman di gelasnya

“E? Nu membuat bentou untuk Arioka?!”, Din, Opi dan Py sama-sama terkejut.

“Bukan. Itu bentou di depan stasiun”, jawab Nu, enteng.

“Ooh, pantas saja rasanya familiar. Besok aku ingin makan bentou buatan Nuchan...”, pinta Daiki sedikit merengek.

“Aku bukan ibumu”, jawab Nu dingin. Ketiga temannya hanya bisa menyembunyikan tawa.

“Ano, Arioka-kun...”, ucap Py

“Panggil Daiki...ng, atau Dai saja”

“Walaupun Nu tak makan bentou bersama kami, tapi terima kasih sudah membawanya kembali kesini, Daichan”, lanjut Py kemudian tersenyum ramah pada Daiki.

Daiki hanya membalas dengan senyuman, begitu manis.


“Takahashi..ikut kami sebentar...”, ketika Nu membereskan buku-buku pelajaran, dua orang anak perempuan menarik tangannya. Sekejap Nu ingat, mereka teman sekelasnya, walaupun Nu sama sekali tak mengingat nama mereka. Bukan salahnya ia memang tak ingin kenal mereka.

“Apa mau kalian? Biarkan aku pulang!”, Nu bersikeras, tapi kedua orang itu tak juga melepaskan tangannya, menyeret Nu masuk ke toilet sekolah.

“Ada apa ini? Aku tak punya waktu untuk kalian!”, ucap Nu, dingin. Saat itu, seorang lagi telah menunggu. Tersenyum sinis menatapnya.

“Sombong sekali”, teriak salah seorang dari mereka, yang Nu perkirakan adalah ketua dari mereka.

Miwa Yamazaki. Tak butuh waktu lama, ia menarik Nu dan mendorong tubuhnya ke dinding.

“Sekarang kamu mulai bertingkah ya. Padahal, melihatmu dikelas saja sudah membuat suasana terasa suram. Sekarang kami juga harus melihatmu di kantin sekolah...”, Miwa menggantung kalimatnya, memojokkan Nu ke wastafel, “rasanya tak perlu dikatakan lagi..menjijikan melihatmu disana... Aku selalu memaafkan keberadaanmu di kelas karena aku menghargai Din, Miyuy..yang tampak membelamu terus...Padahal kau ini apa?? Apa??!! Bangga berada di antara mereka??!!!”, teriaknya tepat di muka Nu.

Tak membalas, Nu sama sekali mengalihkan pandangannya dari tatapan teman sekelas yang namanya pun tak ia ingat itu. Menampakkan tatapan dingin tanpa ekspresi seperti biasa.

“Kemari Takahashi...ng, bukan, Nuchan, biar kubasuh dulu wajahmu, supaya sedikit jadi lebih segar...”, ucap Miwa ketika menumpahkan air dari botol minuman yang diberikan salah satu kaki tangannya, ke kepala Nu “..sadarlah. Kamu sama sekali tak terlihat bagus berada di dekat Arioka! Din, Miyuy, Opi, Py...”, Miwa melipat tangannya satu persatu, “Dan sekarang... Arioka Daiki??!! Kau anggap kau punya apa bisa mendekati seorang Arioka Daiki??!!”.

“Dia yang kalian mau?!”, Nu segera merebut botol minuman dari tangan Miwa dan melemparnya keras-keras “..ambilah! Bawalah pulang! Lakukan apapun yang kalian mau! Aku sama sekali tak punya urusan!!”, dengan sangat kesal, Nu melangkah keluar dari ruang toilet


“Akhirnya, Nuchan kutemukan juga! Ayo pulang sama-sama? Aku boleh ke tempat Nuchan dulu, ya?”, sapa Daiki ceria ketika menemukan Nu yang baru akan melangkah pulang “..ma, matte. Kenapa rambut Nuchan basah? Seragam juga...” Daiki tampak bingung melihat keadaan Nu.

“Berhenti mengikutiku..”, kata Nu datar.

“E? Apa maksudnya?”, Daiki bingung

“Kubilang, berhenti mengikutiku!!!”, tanpa sadar air mata yang selama ini tak pernah Nu perlihatkan apda siapapun itu mengalir.

Apa ia tak pantas berada di antara teman – temannya? Din adalah ketua kelas, Miyuy walaupun tak begitu populer juga pintar, Opi juga bintang basket di sekolahnya, Py memang tak populer, tapi sikapnya manis, tak seperti dirinya.
Pertanyaan besar lainnya, apa Arioka memang tak pantas juga untuknya?
--------------------
Pagi yang cukup cerah. Miyuy membuka matanya karena terganggu dengan suara ponselnya. Tak perlu ditebak, yang bisa memberinya e- mail sepagi itu hanya Yabu, yang sekarang memang pacarnya.

From: Yabu-kun
Subject: Morning~
Beautiful Saturday morning....
^^
Jalan – jalan yuk Miyuy-chan?
---(image 28)---
Morning sora~

Miyuy menyipitkan matanya, lalu senyumnya mengembang. Yabu seperti biasa mengirimkan gambar langit yang begitu ia sukai. Sejak mereka berpacaran sebulan lalu, sepertinya memang gambar langit yang paling banyak di ponsel Miyuy sekarang.

To: Yabu-kun
Subject: Re: Morning~
Morning...^^
Memangnya mau jalan kemana?
----(image29)----
My teddy bear said morning too~

Miyuy mengambil foto boneka teddy bear kesayangannya dan mengirimkannya pada Yabu.

From: Yabu-kun
Subject: Re: Morning~
Jalan – jalan aja...kemana gitu...
Mau nonton lagi? Atau mau ke theme park?

Teddy bear mu lebih lucu darimu...
*laugh*
Aku bercanda...LOL

Miyuy tersenyum melihat e-mail itu. Sebelum memutuskan kemana mereka akan pergi, Miyuy beranjak ke depan laptopnya, menyalakannya dan langsung meng- akses situs TobenaiTori. Sepertinya kegiatan itu sudah menjadi kebiasaannya.

Tak lama, ponselnya kembali berbunyi, lagi – lagi e-mail dari Yabu.

From: Yabu-kun
Subject: Re: Morning~
Kita ke theme park saja yuk...
Sudah lama aku tidak kesana...hehe..
(^.^)v

Miyuy melirik ke layar laptopnya yang sudah terhubung dnegan TobenaiTori. Miyuy membacanya dengan pelan. “Sesuatu akan terjadi hari ini di keramaian.”, bacanya. “Kebenaran akan terungkap.”, bacanya lagi.

“Apa sih?”, gumamnya.

Ia meng-scroll halaman situs itu karena ia rasa tulisan di halaman atas itu tidak menarik. “Warna keberuntunganku hari ini hijau.”, Miyuy tersenyum dan memutuskan untuk memakai baju warna hijau.

“Ah! Aku lupa membalas e-mail Yabu-kun.”, gumamnya pada diri sendiri. Lalu mengambil ponselnya.

To: Yabu-kun
Subject: Re: Morning~
Baiklah...
Aku tunggu di depan stasiun ya Yabu-kun..
^^

Tak lama, balasan dari Yabu kembali datang.

From: Yabu-kun
Subject: Re: Morning
Aku jemput kau jam 11 depan stasiun..
See you there,,,^^,,,
Aku mau bentou mu lagi...
:p

Miyuy tersenyum dan segera beranjak ke dapur. “Untukmu Yabu-kun”, gumamnya.
----------------------
“Neechaaaannn~ Neeechhaaaannn....”, Yuuri di luar kamar Opi dan mengetuk – ngetuk pintu kamar kakaknya itu.

Opi menutup kepalanya dengan bantal. Kenapa sih pagi – pagi seperti ini harus dibangunkan secara paksa? Ia paling benci harus bangun terlalu pagi.

“Neeeecchhaaannn!!! Banguuuunnn!!!”, teriak Yuuri lagi dari luar.

“Urusaaaiii!!”, teriak Opi lalu melemparkan bantalnya ke arah pintu.

Yuuri tampak tak peduli, “Ayo banguuuunn!!!nanti terlambaaaatt!!”

Opi tak mau juga membuka matanya, ini masih terlalu pagi.

Pintu kamarnya terbuka.

Yuuri menghampiri kakak semata wayangnya itu. Mengguncang badan Opi dengan tak sabar.

“Hari ini kan kita akan ke theme park....ayo cepat bangunnn!!”, paksanya sambil menarik tangan Opi dengan tak sabar.

Ya, Papanya mendapatkan tiket gratis masuk theme park dari kantornya.

“Aku tak ikut sajaaa...”, tolaknya menutup kembali badannya dengan selimut yang tadi sudah disibakkan oleh Yuuri.

Adiknya itu tampak tak peduli, “Neechaaann~ Kei-chan sudah menunggu loh...dia kan juga ikut...”, jelas Yuuri.

Mata Opi terbuka sepenuhnya.

“Hah?kenapa dia ikut?”, tanya Opi terduduk.

“Entahlah.. Mama yang mengajaknya. Kata Mama sih tiket yang Papa dapat itu untuk lima orang. Daripada tidak ada yang pakai, Mama mengajak Kei-chan.”, jelas Yuuri.

“Neechan senang ya? Ayo mengaku sajaaa..”, goda Yuuri.

Opi mendorong Yuuri menjauh, “Sudah sana keluar! Aku mau siap – siap.”, usirnya pada Yuuri.

“Huh! Kalau dengar nama Kei-chan saja langsung bangun. Dasar aneh.. orang yang sedang jatuh cinta begini ya?”, gumam Yuuri menjauh.

Opi melemparkan sebuah bantal lagi pada Yuuri. “Berisik!! Anak kecil tau apa?!!”

Yuuri berlari keluar kamar, “Akan kuberi tahu Kei-chan kau menyukainya!!!”, teriak Yuuri lalu menutup kembali pintu kamar kakaknya.

“Yuuuuurriiii!!! Mati kauuuu!!”, teriak Opi kesal.


Opi turun ke bawah setelah selesai bersiap – siap. Didapatinya seorang Inoo Kei sedang sarapan bersama kedua orang tuanya dan Yuuri juga.

“Ohayou~”, sapa Opi canggung.

Inoo hanya tersenyum melirik ke arah Opi, namun kembali konsentrasi pada kata – kata Mama yang sedang mengobrol dengannya.

“Sarapan dulu Opi...”, kata Papanya yang duluan menyadari anak gadisnya sudah turun untuk siap – siap pergi.

Mama melihat Opi dan menyuruhnya duduk juga.

“Papa kok gak bilang sama aku dapat tiket Theme Park?”, tanya Opi pada Papanya yang masih sibuk dengan koran nya.

Aneh juga sabtu begini Papa nya masih aja membaca koran.

“Mama tidak memberi tahu mu?”, tanya Papa dengan masih matanya menuju ke koran.

Opi menggeleng.

“Ah...Opi kan berada di sekolah terus , Mama tak sempat memberi tahunya...”, kata Mama menjawab pertanyaan Papa nya.

“Sedang sibuk?”, tanya Inoo pada Opi.

“Hah?”, Opi menatap Inoo, dan segera memindahkan pandangannya ke tempat lain.

‘Kenapa ia masih saja tampan sepagi ini?’, batin Opi.

Mama yang sudah sibuk dengan membuat bekalnya itu sudah berada di dapur lagi dengan Yuuri terus mengganggunya.

“Maa~ sedikit... perlombaan antar SMA akan segera dimulai. Walaupun aku hanya bisa ikut tiga pertandingan awal, tapi tetap saja aku harus membantu team ku.”, jawab Opi yang tertundak memandang roti yang sedang ia makan.

“Hanya tiga pertandingan?”, tanya Inoo heran.

“Ya... aku kan sudah kelas tiga, sudah waktunya memikirkan mau masuk ke Universitas mana...”, jawab Opi lagi.

“Ah iya... aku lupa kau sudah kelas tiga...”,

Opi memberanikan diri menatap Inoo. Sialnya, cowok itu malah sedang tersenyum menatapnya. Berusaha tak terlihat terlalu kaget, Opi juga ikut tersenyum.

“Enaknya yang sudah lulus dan tak usah memikirkan lagi ujian masuk...”, kata Opi.

“Hahahahaha~ kau lucu sekali... hanya kebetulan aku melewati SMA ku hanya dua tahun.”, ujar Inoo lalu menyesap lagi coklat panas, lalu mengacak pelan rambut Opi, membuat Opi semakin tak mampu menatap Inoo.

“Ah~ Kei dan Nee-chan... Mamaaaa~ mereka pacaran ya??”, teriak Yuuri yang ternyata sudah ada di hadapan Inoo dan Opi.

“Yuuurriiiii!!!!!”, teriak Opi yang mulai mengejar Yuuri yang berlari ke luar rumah.

Inoo hanya tersenyum melihat keduanya.

“Yuuri...jangan lari lari seperti itu!!”, teriak Mama yang sudah mulai mencuci piring, “Opi!! Berhenti mengejar adikmu!!!”, kata Mama lagi.

Senyum Inoo memudar. Suasana seperti ini tak pernah ia rasakan sejak ia memutuskan keluar dari rumahnya. Bagaimana kabar adik – adiknya pun ia tak tahu. Okaa-san sebenarnya sudah pernah meneleponnya beberapa kali, memohon Inoo pulang dan meminta maaf pada Otou-san, tapi ia merasa masih gengsi untuk pulang. Setidaknya ia harus sukses terlebih dahulu sebelum ia pulang dan berkata bahwa pilihannya tidak salah.

“Kei... tolooonngg!! Pacarmu maraaahh!!”, Inoo tersadar oleh teriakan Yuuri yang kini ada di belakangnya, bersembunyi dari Opi.

“Yuuri-chan... berhenti mengganggu kakakmu...”, kata Inoo menyentuh kepala Yuuri.

“Ah Kei jahat!! Membela pacarnya saja...”, kata Yuuri.

“Yuuurriii!!!:, protes Opi.

“Baiklah – baiklah...ayo berangkat... jangan ribut terus..”, kata Papa lalu menggamit lengan Yuuri.

Mama yang sudah siap juga ikut keluar rumah.

“Ayo pergi..”, ajak Inoo pada Opi.

Opi hanya mengangguk lalu mengikuti Inoo.

-----------------
Miyuy sudah berdiri di depan stasiun, dengan baju hijau seperti yang di katakan oleh ramalannya hari ini. Masih ada waktu lima menit sebelum waktu janjian mereka, Miyuy kembali menge-check bawaannya, dan bersyukur tidak ada yang ketinggalan.

“Miyuy-chan!!”, teriak seseorang.

Miyuy tentu saja tahu itu seorang Yabu. Orang yang sedang ia tunggu, yang juga kini sudah berstatus sebagai pacarnya.

“Sudah lama menunggu?”, tanya Yabu.

Miyuy menggeleng, “Aku baru saja sampai.”, jelasnya.

“Yokatta~ aku pikir aku akan terlambat. Ayo...”, Yabu kini tak canggung lagi menggenggam tangan Miyuy.

Yabu membeli tiket kereta yang menuju theme park yang akan mereka tuju.

“Kenapa ingin ke theme park?”, tanya Miyuy ketika mereka sudah di atas kereta.

“Hmm... kenapa ya? Mungkin karena aku memang ingin kesana denganmu..”, jelas Yabu.

“Yabu-kun gombal~”, kata Miyuy menyeembunyikan senyumnya karena ia senang.


“Kyaaaa~, ayo naik itu!! Naik itu!!”, seru Yuuri ribut.

“Gak mau..itu kan mainan anak kecil..”, tolak Opi melihat apa yang ditunjuk adik nya itu, sebuah permainan kereta mainan kecil yang mengelilingi sebuah rel kecil. Mati pun Opi tak mau menaiki nya.

“Nee-chan!! Nee-chan....ayo lah!!”, rengek Yuuri.

“Gak!! Kamu main sendiri aja!!”, tolak Opi lagi.

“Kei-chaaann~”, seru Yuuri yang kini melihat Inoo.

Inoo tampak enggan.

“Yuuri... masa kakak mu disuruh naik mainan seperti itu..”, kata Mama.

“Sudahlah.. kalian berdua pergi berdua saja, biar Mama dan Papa yang menjaga Yuuri.”, kata Papa menarik lengan Yuuri, “Ayo biar Papa antar ke mainan itu.”, serunya pada Yuuri.

“Eh?? Papa...”, Opi melirik ke arah Inoo.

“Sudah pergilah..”, kata Mama lalu menyusul Papa dan Yuuri.

“Baiklah...kita mau kemana dulu?”, tanya Inoo pada Opi.

“Hah?? Hmmm~ entahlah...”, jawab Opi canggung dan bingung mau kemana. “Hmm~ roller coaster?”, tanya Opi pada akhirnya.

Inoo menggeleng, “Iyada~ aku tak suka permainan seperti itu..”

“Eh?? Inoo-kun takut permainan seperti itu?”, tanya Opi kaget.

“Bukan takut.. harap di garis bawahi... aku hanya tak tahan dengan permainan seperti itu..”, kini wajahnya terlihat memerah, mungkin juga ia merasa malu karena tak sanggup naik wahana menantang seperti itu.

“Hahaha~”, Opi tertawa.

“Cukup..jangan tertawa lagi... ayo naik yang lain saja..”, ajak Inoo lalu berjalan meninggalkan Opi.

Opi menyusulnya, “Jangan ngambek gitu dong Inoo-kun..”

“Siapa yang ngambek?”

“Mengaku saja...”

“Aku tidak ngambek.”, jawabnya lagi.


“Miyuy-chan.. kau baik – baik saja?”, Yabu menuntun Miyuy yang masih sedikit shock setelah naik roller coaster.

“Maa~ yeah..”, jawab Miyuy.

“Benarkah?”, Yabu menyodorkan sebotol air mineral.

Miyuy minum lalu duduk, merasa masih sedikit pusing, “Yabu-kun... terima kasih.”, katanya lalu menyerahkan kemnbali minum itu.

“Masih mau naik permainan seperti itu lagi?”

Miyuy manyun, “Kita naik yang lain dulu saja...”, rengek Miyuy.

“Hai, hai, wakatta!! Ayo..”, Yabu kembali menuntun Miyuy.

Mereka mencari wahana lain yang akan mereka naiki, ketika Miyuy melihat sosok Opi di kejauhan.

“Sepertinya itu Opi..”, gumamnya.

“Siapa?”, ternyata Yabu mendengar.

“Opi!!!”, panggil Miyuy ketika ia sudah yakin itu Opi.

Opi menoleh ketika merasa dipanggil seseorang, ternyata itu Miyuy, dan juga Yabu tentu saja, mereka kan pacaran.

“Miyuy!!!”, seru Opi melambai ke arah Miyuy.

“Wah, Opi kesini juga? Aku fikir aku salah lihat tadi..”, kata Miyuy setelah mereka bertemu.

“Yah, aku juga tak menyangka..”

“KAUU!!!??”, teriak Inoo tiba – tiba.

Yabu juga terlihat sama marahnya dengan Inoo.

Miyuy dan Opi yang tak mengerti apa yang terjadi, kaget dengan teriakan Inoo.

Inoo mengepalkah jari – jarinya, ‘Kenapa bajingan itu ada disini’, batinnya.
----------------------
Melihat ke sekitar, sosok itu tak juga ditemukan. Din menghela napas dan melanjutkan aktifitasnya, melihat benda-benda imut di fancy shop. Kali ini tak ada Yuya yang –tanpa sengaja- mengikutinya, hanya dirinya, dan banyak orang lain yang tak dikenal.

Din merasakan ponselnya bergetar dan menerima panggilan dari nomor tak dikenal tersebut.

“Moshi moshi, Din desu...”, ucap nya ragu.

“Dinchan, Naomi desu...”, balas seorang diseberang sana, membuat Din agak terkejut hingga sedikit sulit mengeluarkan kata-kata.

“Ha, hai..Naomi-san...”, jawap Din kaku “..ada apa?”.

“Tadi aku melihatmu berjalan sendirian, lalu masuk ke fancy shop. Apa benar, atau yang kulihat itu orang lain?”, tanya Naomi dengan nada yang begitu ramah.

“Hai, hai, aku sedang ada di fancy shop sekarang...”, balas Din dengan nada yang berubah sedikit santai.

“Saa, kalau kau sudah selesai melihat benda-benda imut, maukah jalan-jalan bersamaku?”, tanya Naomi.

“E? Apa Jinjin juga ada bersama  Naomi-san?”, Din bertanya takut – takut.

“Hhm, aku sendirian, Jin sedang sibuk sekarang...”

“Matte kudasai, aku jalan keluar toko...”, Din yang masih bicara di telepon dengan Naomi melangkahkan kakinya keluar dari fancy shop dan mngedarkan pandangannya ke beberapa arah.

“Kenapa buru-buru?”

“He he, kebetulan tak ada benda yang aku suka...”, jawab Din.

“Ne~ kochi, kochi...”, Naomi melambaikan tangannya, ternyata gadis itu sejak tadi sudah berada di luar toko.

Pemandangan itu, membuat Din sedikit terkejut. Ditengah hari yang panas itu pun, Naomi tetap terlihat cantik. Duduk di kursi kemudi silver-grey Lamborgini tanpa atap membuat Din bisa jelas melihatnya.

“Yea, its a girl’s day out!”, ucap Naomi ceria seraya memantapkan genggamannya pada stir saat Din telah duduk di sebelah kanannya.

Ya, mobil itu mobil western sehingga kemudi berada di sebelah kiri.

Din hanya bisa tersenyum, sedikit gugup. Yang dimaksud Naomi dengan jalan-jalan, berbeda dari yang biasa dilakukannya bersama teman-teman.

“Eto...Naomi-san...”

Naomi menggeleng pelan “Bisakah kau hentikan panggilan formal macam itu?”.

“Eh?”, Din sedikit kaget.

“Jin bilang, Dinchan sudah sepertinya adiknya sendiri. Soshite, maukah kau jadi adikku juga?”, ucap Naomi tersenyum tapi masih tetap melihat lurus ke depan.

“Hmm, oke...”, jawab Din tanpa pikir panjang.

“Ah, terimakasih. Kalau begitu, maukah kau menganti panggilan formal itu, Dinchan?”.

“Hmmm, neechan...??”, Din tersenyum dan Naomi membalas senyumannya.

“Sejak kecil, aku ingin sekali punya adik perempuan. Kupikir Dinchan manis, punya adik perempuan sepertimu nampak menyenangkan juga...”.

“Eh...”, ucapan Naomi membuat Din tersipu dan tak bisa menjawab

“Yuya beruntung, ya...”, ujar Naomi, mengemudi dengan santai dijalan yang kini sudah tak banyak ditemui orang berramai-ramai lagi, highway dimana hembusan angin sangat terasa, meniup rambut pirang Naomi hingga tampak begitu indah, cantik, ia punya semua alasan untuk Jin menyukainya.

“Kenapa Yuya? Daripada Yuya, aku lebih suka Ji...”, Din menutup mulutnya sendiri meyadari apa yang baru saja diucapkannya, tak seharusnya ia katakan di hadapan kekasih seorang Jin.

“Ha ha, terlihat sekali”, tawa Naomi terdengar renyah, Din sama sekali tak menyangka jawaban apa yang akan diterimanya dari Naomi.

“Ano..maksudku...”

“Aku mengerti...”, kali ini, Naomi kembali tersenyum, menatap Din “..aku dan Jin punya rencana untuk tinggal bersama di Amerika...”, Din benar terkejut, tapi berusaha untuk tak berkata-kata, “..tapi kalau berarti harus meninggalkan Yuya dan Dinchan, rasanya berat juga...terutama untuk Jin”, tambah Naomi

“Sou...desu ka ?”, Din tak tahu harus menjawab apa.

“Jin banyak bercerita tentangmu. Ia sangat menyayangimu seperti adiknya sendiri. Terkadang aku juga merasa iri. Ha ha”

“Ha ha...”, Din hanya mengeluarkan sebuah tawa kecil, menyembunyikan kalimat ‘Akulah yang seharusnya iri pada Naomi karna memiliki semua yang diinginkan Jin’ rapat-rapat hanya dalam hatinya.

“Bahkan Jin menginterogasiku waktu aku meminta nomor ponselmu. Hello, I’m your girlfriend~ and did I look like a person who gonna do something bad?”, candaan Naomi berhasil membuat Din tertawa, sesaat melupakan perasaan sakit dihatinya

“Ngg, Naomi-neechan dan Jinjin..berencana untuk menikah?”, tanya Din tiba – tiba.

“Ne, pernikahan itu tak selalu seperti apa yang kau lihat, tak selalu seperti apa yang kau pikirkan...”, kata Naomi santai.

Din tak menjawab, hanya mengerutkan dahi tanda tak mengerti.

“Kalau aku tak ada, maukah kau menjaga Jin untukku, Imouto-chan?”

ucapan Naomi kali ini membuat Din semakin mengernyit heran, dengan banyak tanda tanya dipikirannya.

“Suara apa itu?!”, ucap Naomi tiba-tiba, Din juga merasakan apa yang dikatakan Naomi, suara yang sama sekali tak terdengar jelas. Keduanya pun tak menemukan sesuatu yang aneh di pemandangan yang terpantul melalui kaca spion, hanya sebuah truk besar yang berjalan maju.

Naomi mengarahkan mobilnya untuk menepi, tapi semuanya sudah terlambat, truk besar itu ternyata hilang kendali, meluncur begitu cepat dan menghantam mobil mungil yang ditumpangi Naomi dan Din.

“Oh, sh*t!”, Naomi memutar stir dengan cepat, melakukan semua yang ia bisa dengan segenap kekuatannya.

Sementara Din hanya menangis, menutupi wajahnya dengan telapak tangan, begitu ketakutan.

Segala yang dilakukan Naomi tak berhasil, Lamborgini itu meluncur jauh, menembus pembatas jalan, hanya ada jurang berbatu disana. Din bisa mendengar Naomi menyerukan beberapa kalimat, hingga suara yang begitu memekakan telinga terdengar.

‘Apa ini?? Ledakan?’, batin Din yang tak lagi bisa berfikir apapun.

Tak ada lagi suara Naomi terdengar, semuanya berganti suara gaduh yang saling berbaur.

Untuk Din, yang bisa dirasakannya...

...hanya gelap.

-------------------


TBC~
N.B: Maaf sepanjang jalan kenangan gini... ceritanya mau di bagi 2, tapi malah keterusan nulis.. ya sudahlah..itung2 bayara kita absen lama...
wakakakakak
douzo di komen...~ ^^

Rabu, 21 April 2010

[Fanfic] Accidentally In Love (chap 7)

Title : Accidentaly In Love
Chapter : Seven
Author : TegoMura
Genre : Romance
Rating : G
Pairing : Miyabu,HikkaPy,TakaDin,Inoopi,Dainu
Fandom : Johhny’s Entertainment, Desperate Housewives
Disclaimer : Py, Miyuy, Din, Opi and Nu belong to theirselves, Hey! Say! BEST is belongs to JE. we don’t own them...Comments are LOVE minna~

Ketika Din membuka matanya di pagi hari, yang dilihatnya adalah wajah Yuya yang tengah tertidur. Din memejam dan kemudian membuka matanya kembali, beberapa kali ia mengusap matanya, pemandangan itu tetaplah sama, Yuya ada di tempat tidurnya

“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa !!”, seisi rumah bisa mendengar teriakan Din


“Yu, yuya...ke, kenapa...”, ucap Din terbata, panik “..jangan bilang kalau Yuya sudah lakukan macam-macam !”, tanpa sadar tangannya menarik leher bajunya keatas.

“Hahahahhaha! Wajahmu, wajah panikmu, yang seperti itu lucu sekali!”, goda Yuya senang.

“Tenanglah...aku sudah minta izin oba-san untuk membawamu pergi keluar, tapi ternyata kamu masih tidur”, kata Yuya tenang.

“Kenapa harus sepagi ini, sih?”, rutuk Din kesal.

“Ah, cerewet...cepat madi lalu siap-siaplah!”, kata Yuya seraya menarik sedikit selimut yang Din kenakan.

“Apa? Ng, aku pilih tidur lagi..ini terlalu pagi...”, balas Din, kembali menenggelamkan kepalanya di bantal dan membungkus dirinya dengan selimut



“Kalau begitu, aku juga”, tanpa berpikir panjang, Yuya membuat dirinya sendiri begitu dekat dengan Din, meletakkan kepala di bantal yang sama, menarik sedikit dari selimut yang dipakai Din

Begitu dekat. Din -yang tentu saja belum benar bisa kembali tertidur-, apalagi diciumnya aroma khas Yuya yang well, sedikit mirip dengan Jin.

Din tak bisa membohongi dirinya sendiri dengan berpikir ia masih bisa tenang dengan posisi seperti itu, jantungnya berdetak semakin cepat,

‘Apakah wajahku memerah?’

‘Apakah dia memperhatikan wajahku yang tertidur?’

‘Apakah wajah baru bangun tidurku cukup kacau hingga dia bisa mengolokku seperti biasa?’

‘Dia hanya menggoda, jangan terpengaruh...seperti biasa...’, batin Din



“Aaah! Sudah, menjauh!”, Din seketika mendorong Yuya menjauh. Din tak lagi bisa menyembunyikan perasaannya, perasaan ingin berteriak ketika Yuya berada sedemikian dekat dengannya.

“Ha ha ha! Sudah bangun ya, Tuan Putri? Selamat pagi...”, ucap Yuya dengan memasang senyuman penuh kemenangan.


“Ok! Aku akan pergi denganmu...pervert!”, Din melempar bantal ke wajah Yuya sebelum berlari keluar dari kamarnya

--------------

“Ng, kenapa? Sejak tadi kamu lebih banyak diam?”, tanya Yuya pada Din ketika mereka baru saja turun dari bianglala.

‘Ini kan kencan pertama kita sebagai pasangan??’, batin Din.

“Aku..hanya belum terbiasa”, jawab Din pelan

“Hah? Apanya?”, tanya Takaki tak mengerti.

“Kita terbiasa main ke taman bermain seperti ini selalu pergi bertiga bersama Jin, kan...”, kata Din dan setelahnya menyesali apa yang dia katakan.

“Ohh~”, Yuya menarik tangan Din dan menggenggamnya, “Ada aku disini..apa tidak cukup?”, bisiknya, namun Din masih bisa mendengarnya.

----------------
“...hai, Nu desu...”

Sore itu Nu terbangun oleh getar dari ponselnya, panggilan dari nomor tak dikenal

“Nuchan~ bolehkah aku ke tempatmu sekarang?”, tanya seorang diseberang sana

“Ah, Arioka. Untuk apa datang ke tempatku?”, kali ini Nu benar – benar bangun sepenuhnya.

“Untuk menjemput Nuchan, kita akan pergi ke konser, kan?”, tanya Daiki.

‘Ah....konser Kyo...’, kata Nu dalam hati.

“Ng, ya. Tapi...”, Nu melirik jam kecil di meja dekat tempat tidurnya “..tapi ini jam 3 sore!”

“Nuchan suka vokalis bandnya, kan? Kalau begitu, kita harus dapat tempat di depan!”, seru Daiki bersemangat

“Ok, kamu boleh ketempatku”, jawab Nu akhirnya.

“Yaay! Kalau begitu, sekarang buka jendela kamarmu!”

Begitu Nu membuka jendela kamarnya, ia bisa melihat Daiki dibawah sana, tersenyum manis untuknya, dan melambai kecil ke arahnya.

“Nuchaaaannn~”, serunya ceria.

Nu menggelengkan kepalanya, terkadang saat melihat senyumnya, Nu pun tanpa sadar ikut tersenyum.


Konser-yang-disukai-Nuchan ternyata jauh berbeda dari yang dibayangkan Daiki, sangat berbeda dengan konser-konser live yang biasa dilihatnya.

Begitu bising, bahkan terkadang lagu yang dibawakan tak terasa seperti sebuah lagu untuknya, hanya teriakan-teriakan yang memekakan telinga dari sang vokalis. Membuatnya berpikir “Inikah orang yang sangat disukai Nuchan?”

Tapi audiens begitu menikmati, begitu bersemangat. Sesekali Daiki menatap Nu yang berdiri disampingnya, tersenyum lembut menatap keatas panggung.

Senyuman yang belum pernah dilihatnya.

“Aah, selesai...Nuchan suka konsernya?”, Daiki berusaha tersenyum, meskipun kepalanya terasa pusing ketika keluar dari hall area.

“Aku selalu suka...”, jawab Nu pelan.

“Tunggulah disini, aku akan cari minuman untuk kita!”, ucap Daiki dan segera berlari menginggalkan Nu.



“Eto...kenapa belum juga sampai ke tempat yang tadi?”, gumam Daiki. Dengan dua kaleng minuman dingin di tangannya, ia berusaha keras mengingat, jalan menuju tempat dimana Nu mengunggunya.

“Gawat, aku tersesat!”, semakin Daiki berjalan, tempat-tempat yang dilalui terasa semakin asing.

“Basement? Aah, aku benar tersesat. Aku akan hubungi Nuchan...”

Gerakan Daiki meraih ponsel terhenti, ketika ia mendengar suara yang dikenalnya.

“Aku tak bisa menerima alasan Kyo-san! Sejak kapan kita peduli tentang orang tua?!”

Itu suara Nu.

Daiki melihat Nu, berdebat dengan orang yang tak lain adalah vokalis dari band yang baru saja dilihatnya.

“Aku bukan pedofil”, jawab seorang yang dipanggil Nu dengan sebutan Kyo itu

“Dan aku bukan anak dibawah umur!”, seru Nu dengan nada sedikit membentak.

Daiki berusaha bersembunyi, melihat perdebatan Nu dan Kyo. Tapi tanpa sengaja, Daiki menjatuhkan kaleng minuman yang dipegangnya.

Suara itu tentu membuat Nu dan Kyo melihat kearahnya. Nu menghampirinya, meninggalkan Kyo “Ayo pulang, Daiki!”

Tak ada yang bisa dilalukan Daiki selain mengikuti langkah Nu.

“Tanpa sadar, Nuchan memanggil namaku...aku senang”, ujar Daiki, lirih

Selama perjalanan pulang, keduanya hanya terdiam. Daiki tahu, Nu ingin menangis, tapi tak ingin Daiki melihatnya, lagi.

“...Nuchan pernah mengenal Kyo-san?”, akhirnya Daiki memberanikan diri bertanya.

“Dia...pacarku...”, jawabnya sepelan mungkin.. “Setidaknya hingga beberapa waktu yang lalu...”

Daiki begitu terkejut, tak percaya. “Tapi, Nuchan dan Kyo-san...ng, terlihat...”, tambah Daiki, ragu.

“Dia meninggalkan aku”, sepenggal kata dari Nu membuat Daiki tak bisa meneruskan ucapnya

“Nuchan membencinya sekarang?”, tanya Daiki lagi.

“Aku tak akan pernah bisa...”, jawab Nu hampir menangis.

mendengar kata itu, membuat Daiki merasa sedikit iri.

“Kalau begitu...”, Daiki meraih jemari dingin Nu dengan tangannya “...sukai aku seperti Nuchan menyukainya...”, ucap Daiki.

Tatapan itu lagi, sorot mata Daiki yang begitu tegas. Membuatnya sesaat terlihat begitu dewasa.

Nu hanya menarik tangannya, “Aku tak bisa”

Kembali berjalan, Nu menyadari Daiki tak lagi berada disampingnya

“Arioka?”

Tak ada jawaban, dan ketika menoleh, Nu bisa melihat Daiki sudah tertinggal beberapa langkah darinya, duduk berjongkok di jalanan sepi

“Hh...”, menghela nafas, Nu berbalik, dan membawa kakinya melangkah kebelakang menuju Daiki.

“Jalanlah yang benar...”, perintah Nu.

Walaupun Nu tak tersenyum untuk Daiki, tapi Daiki bisa kembali tersenyum -setelah memasang wajah cemberut yang nampak begitu kekanakan-, ketika Nu mengulurkan tangan untuknya.

Tanpa ragu, Daiki meraih tangan Nu, menggenggamnya kemudian meneruskan langkah mereka yang sempat terhenti.

“Manja!”, ujar Nu singkat.

“Biarlah...asalkan manjanya hanya sama Nuchan...”, balas Daiki.

“Haaah?!”, tanpa sadar, senyum Nu sedikit mengembang, ia yakin wajahnya juga memerah saat ini.

---------------------------
“Ok, aku ambil yang ini”, ujar Py lirih pada dirinya sendiri menatap sebuah sketch book “Sekarang ke tempat manga...”, gumamnya pada diri sendiri.

Hari libur yang membosankan. Semua temannya tampak sibuk dengan urusan mereka masing – masing. Py akhirnya memutuskan untuk ke toko buku sendirian, paling tidak ia bisa mencari komik yang dia inginkan.

“Hikka...pasti lihat (shounen) JUMP, kan? Dasar laki-laki, membosankan aah, ayo keluar dari toko buku lalu hang out bersama kami...”

Langkah Py terhenti ketika mendengar seseorang menyebut nama itu. Py berusaha mengintip dari sela-sela lemari buku. Seorang berambut coklat terang itu, Hikaru yang dikenalnya. Dengan tiga orang lain, gadis - gadis yang juga dari sekolahnya. Seorang dari mereka, memeluk lengan Hikaru begitu erat, berbicara dengan nada manja.

“Memangnya Hikaru-kun pacarmu...?”, ucap Py lirih.

Tanpa mau mengaku pada dirinya sendiri, Py merasa sedikit kesal. Cemburu, mungkin.

Sementara Hikaru menanggapi ketiganya dengan tersenyum ramah. Menyenangkan, semua orang pantas menyukainya

“Oh ya, Hikaru-kun kan pacar mereka semua...”, kata Py lagi.

Tapi perasaan itu segera ditepisnya dan berjalan menjauh dari tempat Hikaru berdiri. Semakin menjauh.



Ketika Py sadar, ia sudah berada di tempat yang tak biasa untuknya. Diantara deretan buku-buku dengan judul yang benar-benar asing. Py hanya bisa berpura-pura memilih buku, menghindari tatapan aneh dari orang-orang disekelilingnya.

“Ushi no Koku Mairi? Bacaan yang bagus. Apa Pychan sedang membenci seseorang?”, kata seseorang dibelakangnya.

“Kyaaaaaaaa! Hikaru-kun!”, kontan Py menjerit kaget. Mendengar suara Hikaru, sekaligus menyadari buku apa yang tengah dipegangnya. Dan ketika itu pula wajahnya berubah memerah.

“Hmm? Aku, hanya...”, Py berusaha mencari kata-kata yang tepat tapi tak juga menemukannya.

“Salah ambil buku?”, potong Hikaru.

Hanya mengangguk malu, Py tak bisa menatap Hikaru.

“Ini, aku ambilkan untukmu. Semoga tidak salah lagi”, katanya lalu mengambil sebuah buku.

“Shu, Shugo Chara? A, arigato, Hikaru-kun”, ujar Py masih merasa deg – degan.

Tanpa Py sempat menduga, Hikaru memberikan salah satu buku yang memang akan diambilnya.

“Aku akan berikan buku ini, kalau Pychan mau menemaniku jalan-jalan. Bagaimana, hmm?”, tawar Hikaru.

“Demo...ano...”, jawap Py ragu.

“Aku juga tak akan beritahu siapapun kalau Pychan tertarik dengan Ushi no Koku Mairi...”, godanya, tersenyum memperlihatkan senyum khasnya.

“Aah! Ok, aku ikut!”, jawab Py akhirnya.

Sebenarnya, Py memang hanya ingin bersama Hikaru.

“Ahaha, terima kasih!”, kata Hikaru bersemangat.

Walaupun Py masih tak bisa menatap Hikaru, tapi ia bisa memastikan. Hikaru memasang senyumannya. Sebuah senyum yang begitu bersahabat, Py begitu menyukainya.
--------------
Miyuy kembali merapikan rambutnya, mengecek kembali apa make up nya tidak berlebihan.

Hari ini cukup istimewa. Ia akan berkencan dengan Yabu. Setidaknya itulah yang difikirkan Miyuy.

Semalam saja Miyuy tak bisa tidur hanya karena ajakan ini.

From: Yabu-kun
Subject: Malam~
Miyuy-chan...sedang apa?
Ada waktu besok?

Saat menerima email itu, Miyuy yang awalnya sudah ngantuk setengah mati karena soal Fisika yang harus ia selesaikan sebelum hari senin, tiba – tiba merasa tak mengantuk sama sekali.

To: Yabu-kun
Subject: Re: Malam~
Aku..berkutat dengan Fisika.
Yabu-kun sedang apa?
Eh? Besok? Aku tak akan kemana – mana..
Kenapa Yabu-kun?

From: Yabu-kun
Subject: Re: Malam~
Aku sedang tiduran saja~
Miyuy-chan rajin ya..besok kan baru hari Sabtu..
Masih juga belajar?? :P
Kalau ada waktu..maukah nonton bersamaku?

“Kyaaaaaa~”, tanpa sadar Miyuy sedikit berteriak.

To: Yabu-kun
Subject: Re: Malam~
Aku benci menunda tugasku..:D
Eh?hmmm~
Boleh saja..aku juga tak punya rencana apapun kok..

From: Yabu-kun
Subject: Re: Malam~
Baiklah...jangan tidur terlalu malam.
Besok kita bertemu di taman jam 11 ok?
Oyasumi Miyuy-chan~
---(image 19)---
Stars that always shining

Miyuy tersenyum melihat foto sebuah bintang bohongan yang terbuat dari kertas bersinar warna emas.

To: Yabu-kun
Subject: Re: Malam~
Ok desu~
Oyasumi...

Setelah email itu, Miyuy malah tak bisa memejamkan mata sama sekali. Namun ia juga tak mampu mengerjakan PR Fisika nya. Hatinya terlalu senang dengan apa yang akan terjadi.
Miyuy pun segera mengecek ramalannya di Tobenatori. Maka saat ini pun ia memakai warna keberuntungannya hari ini, Biru.

“Maaf aku agak terlambat...”, kata seseorang. Membuyarkan lamunan Miyuy.

Yabu berdiri dihadapannya, dengan senyumnya seperti biasa.

“Ah..tidak..aku yang terlalu cepat datang...”, jawab Miyuy.

“Ja...Ikou~”, ajak Yabu.

----------------------
From: Yuuri
Subject: (no subject)
Neechan~ sudah ketemu Inoochan, kah? >___<

Opi membuka layar ponselnya, sebuah email dari Yuuri.


To: Yuuri
Subject: Re: (no subject)
E?

Inoo-kun? -w -)7

Jawabnya pada Yuri

From: Yuuri
Subject: Re: (no subject)
Aku dan mama minta Inoochan bergabung
dengan kita untuk acara barbeque nanti,
jadi Inoochan bantu dengan ikut neechan
belanja ke super market >__<


Pesan dari Yuri itu membuat Opi sedikit terkejut, Inoo akan datang untuk belanja bersamanya.

BRAK !

Mendengar suara itu kontan Opi menutup layar ponselnya dan melihat ke tempat berasalnya suara.

“I, Inookun?”, ujarnya setengah berteriak.

Opi bisa jelas melihat, Inoo sedang membantu seorang ibu tak dikenal membereskan belanjaannya yang berantakan dilantai.

“Ah, terimakasih, nona”, ujar ibu tersebut pada Inoo.

Opi berusaha menahan tawa mendengar panggilan yang diberikan seorang tak dikenal itu pada Inoo, jelas ia salah mengira Inoo sebagai perempuan.

Sementara Inoo hanya membalas dengan senyuman, Opi juga melihatnya, begitu cantik, bukan mustahil orang akan mengira Inoo adalah perempuan.

Tak lama, kemudian Inoo berdiri menghampiri Opi

“Tertawakan aku, huh?”, lagi, Inoo memperlihatkan senyumannya, yang begitu Opi sukai.

“A, ah, tidak, tidak...”, Opi menggeleng, meencoba menyembunyikan wajahnya yang kini memerah.

Sesaat Inoo melirik tas belanja Opi, “Hmm, hampir semua yang diperlukan sudah diambil, tapi ada yang ketinggalan...”, kata Inoo.

“E? Padahal kupikir semuanya lengkap”, kata Opi yang yakin ia tak melewatkan satu pun barang yang di daftar oleh Ibunya.

“Paprika”, jawab Inoo sambil tersenyum.

“Ah! Padahal itu penting!”, Opi memukul keningnya sendiri “Ayo, cepat selesaikan dan pulang!”, tanpa sadar, Opi menarik tangan Inoo dan berjalan cepat ke stand sayuran.

“Kurasa yang ini bagus...”, ujar Inoo.

“Aku ambil...”, Saat itu, Opi baru menyadari kalau tangannya masih menggandeng tangan Inoo “Aah, gomen ne!”, segera Opi melepaskan genggaman tangannya dan memasukkan beberapa buah paprika kedalam tas belanjanya.

Dan Inoo hanya mengisyaratkan sebuah ‘Daijoubu dayou’ dengan senyumannya

-----------------
“Inookun, terimakasih sudah membantuku belanja...”, kata Opi lalu menatap Inoo yang tampak melamun.

“Tak apa, aku yang harusnya berterimakasih karna diundang di acara barbeque kalian”, jawabnya.

Keduanya, berjalan bersamaan dengan masing-masing membawa tas belanjaan.

“Hai nona-nona, nampaknya baru selesai belanja, bagaimana kalo main-main bersama kami, lebih menyenangkan...”, Seorang menepuk pundak Inoo, dua orang berandalan yang sama sekali tak terlihat seperti orang baik.



“Maaf, kami tak punya waktu untuk kalian”, Inoo menepis tangan itu dari pundaknya.

“Ah, laki-laki ya, membosankan!”, ucap seorang lain dari mereka, dengan tatapan meremehkan.

“Ayo Opi, kita harus cepat sampai rumahmu, obasan dan Yuuri sudah menunggu!”, Inoo mempercepat langkahnya dan diikuti dengan Opi.

Hanya tinggal beberapa blok lagi untuk sampai kerumah, keduanya kembali berjalan santai. Tapi bagaimanapun, suasana yang tidak enak memang terasa, tidak terlalu ada pembicaraan diantara mereka.

“Harusnya, saat berjalan bersama dengan membawa tas belanja seperti ini, akan dikira sebagai pasangan pengantin baru, kan”, goda Inoo lalu melirik pada Opi.

Kalimat yang diucapkan Inoo membuka wajah Opi memerah dan tak bisa menjawab.

“A, apa maksud Inookun?”, ujar Opi.

Perlahan, Opi bisa merasakan Inoo meraih tangannya -yang tak memegang tas belanja-, jemari lentik Inoo menyilang diantara jari-jarinya. Opi sama sekali tak bisa menatap wajah Inoo, tak ingin Inoo melihat wajahnya yang telah menjadi sangat merona.

“Dengan begini, kita pasangan pengantin baru. Tak akan ada yang akan memanggil kita dengan ‘nona-nona’ lagi...hee hee”, katanya tanpa melepaskan tangan Opi sedikitpun.

‘Walaupun itu hanya bohong, Inookun hanya tak suka dikira sebagai perempuan karna wajahnya yang cantik, tapi aku senang’, Pikir Opi yang berjalan dengan Inoo menggenggam tangannya. Terasa begitu nyaman, walaupun membuat jantungnya berdetak cepat tak beraturan.

“Mamaaa, Neechan dan Inoochan sudah sampai!”, seru Yuuri yang sejak tadi menunggu di depan pintu “I, Inoochan...”, Yuuri terbata mendapati Inoo yang masih memegang tangan kakaknya

“Ini, ini hanya...”, Inoo berusaha menjelaskan, tanpa melepaskan genggaman tangannya.

“Kyaaaaaaaaaaa”, Yuri berlari histeris kedalam rumah

Inoo dan Opi, keduanya hanya bisa tertawa, dengan wajah yang masih memerah.
“Inookun..”, panggil Opi pelan.

“Ya?”

“Sudah bisa dilepaskan...kita sudah di rumah..”, kata Opi lagi.

Inoo tampak kaget sendiri, lalu melepaskan tangannya, “Gomen ne Opichan..”

---------------------
“Filmnya seru ya Yabukun!!”, seru Miyuy setelah mereka keluar dari bioskop.

Sejujurnya, Yabu tak begitu suka film Astro Boy tadi. Tapi setidaknya melihat ekspresi wajah Miyuy sepanjang film tampaknya membuat hal di bioskop tadi menyenangkan.

“Ya...tentu saja..”, jawab Yabu tersenyum.

“Hmmm...Yabukun~”, panggil Miyuy ketika Yabu sudah duluan jalan didepannya.

“Ya?”, wajah Yabu berbalik, menatap Miyuy.

“Yabukun bilang ingin makan bento buatanku? Aku membawa bentou hari ini..”, katanya malu – malu.

“Benarkah?!! Ayo cari tempat untuk makan..”, putus Yabu lalu menggenggam tangan Miyuy.


Yabu membuka bungkusan bentou itu dengan antusias, “Uwaaa~ Sugooii~ terlihat enak..”, kata Yabu.

“Cobalah..”, ujar Miyuy memperhatikan wajah Yabu yang akan mulai makan.

“Itadakimaaaasssuu!!”, Yabu melahap sebuah tenpura.

“Dou?”, tanya Miyuy takut – takut.

Wajah Yabu mengekspresikan ada yang tidak beres dengan makanan itu.

“Eeehh??Kenapa Yabukun? Tidak enak ya?”, serunya panik. Sepertinya ia tak memasukkan sesuatu yang salah pada makanan itu.

Yabu tersenyum, “Hehehe...enak sekali kok~ ayo makan!!”

Miyuy memukul pelan bahu Yabu, “Tidak lucu...”

Yabu hanya tersenyum melihat wajah panik Miyuy.

“Ne Miyuy-chan...”, panggil Yabu.

Miyuy berhenti makan, memusatkan perhatiannya pada Yabu, “Ya?”.

“Kalau kau membuatkan aku bekal setiap hari..kau mau?”, tanyanya tiba – tiba.

“Memangnya aku petugas katering?”, ujar Miyuy yang kecewa dengan apa yang diucapkan Yabu. Ia pikir sesuatu yang lebih romantis akan dikatakannya.

“Buat bekal untuk pacar sendiri memangnya gak mau?”, tanya Yabu.

Sukses membuat Miyuy kembali berhenti dan menatap Yabu tak percaya, “Hah? Apa maksudmu?”, tanya Miyuy lagi.

Yabu berhenti makan, menatap Miyuy, “Iya...Miyuy mau jadi pacarku kan?”

“Eh??”, wajah Miyuy memerah. Ia tak sanggup menatap mata Yabu yang tepat berada dihadapannya. “Kenapa Yabukun?”, tanya Miyuy sedikit berbisik.

“Mochiron...Suki da yo~”, kata Yabu lagi, menggenggam tangan Miyuy.

Miyuy hanya sanggup mengangguk pelan.

-------------------
“Hikakun? Kita mau kemana?”, tanya Py mengikuti Hika dari belakang.

Sejak tadi jantungnya terasa dag-dig-dug tak beraturan.

“Beli takoyaki yuk!!”, ajak Hika lalu menarik tangan Py ke sebuah stand takoyaki.

Py sejak tadi hanya diam.
Wajahnya memerah dan sangat gugup di dekat Hikaru.
Hikaru ternyata membawa Py ke taman meereka biasa bertemu.

“eh? Kesini?”, tanya Py heran.

“Kau sih..dari tadi menunduk saja..hehehe.”, Hikaru terkekeh.”Tentu saja kalau kencan dengan Py, aku maunya kesini.”, kata Hikaru lagi.

“Eh?”, Py tak bisa menjawab apapun.

“Ayo makan takoyakinya sebelum jadi dingin...”, kata Hikaru meyodorkan sebuah takoyaki.

“Aku bisa makan sendiri..”, elak Py menolak. Karena Hikaru akan menyuapinya.

Hikaru tak bergeming, “Ayo..makan saja...”, katanya keras kepala.

Akhirnya Py memakan takoyaki yang disodorkan oleh Hikaru.

“Enak tidak?”, tanya Hikaru, “Pasti lebih enak buatanku ya?”, tanya Hikaru lagi.

Py tersenyum, tapi tak menjawab. Seperti biasa Py memang pemalu.

“Py..belepotan...”, kata Hikaru lalu menyeka mulut Py dengan tangannya.

“ehhh...”, Py kembali menghindar.

“Aku bohong....hehehehe...”m kata Hikaru tersenyum jahil.

“Hikakun...”, panggil Py.

“Ya?”

“Kenapa Hikakun malah jalan bersamaku? Bukannya tadi di toko buku Hikakun bersama banyak gadis? Tidak pergi sama mereka?”, tanya Py pelan.

“Hmmmm~ kurasa... aku lebih senang bersamamu daripada mereka..”, jawab Hikaru tegas.

“ Tapi kan aku...”

Hikaru berdiri dari bangku taman itu, lalu menggenggam tangan Py... “Kita kencan kan? Jadi biarkanlah seperti ini...ayo pulang!! Sudah sore..”, ujar Hikaru sambil menggandeng tangan Py.

Py hanya bisa menunduk malu. Memandang tangan Hikaru yang menggenggam tangannya.
--------------------

Sisa perjalanan mereka hari itu tampak sedikit terganggu karena Din sering sekali menyebutkan nama Jin. Walaupun tidak sengaja, memang itulah yang sedang ia pikirkan.

Yuya kesal setengah mati. Tapi tak bisa berbuat apapun selain berdamai dengan apa yang Din ucapkan.

“Sudah sampai...masuklah...sudah malam..”, kata Yuya saat mereka sudah pulang.

Ponsel Din bergetar, tanda email masuk. Din melirik sebentar pada ponselnya lalu tersenyum lembut.

“Siapa?”, tanya Yuya penasaran.

“Jin...dia mengucapkan selamat malam saja.”

“Kenapa kau masih berkirim email dengan Jin?!!”, seru Yuya.

“Memangnya kenapa?!”, nada suara Din mulai meninggi.

Yuya berdecak kesal, “Kau kan pacarku...”

“Lalu? Ada peraturannya aku tak boleh berkirim email dengan Jin?”, balas Din kesal.

Yuya kehilangan kata – kata apa yang harus ia ucapkan. Itu memang tak salah. Maksudnya Jin juga kan teman masa kecil Din, bahkan sudah dianggap saudara sendiri.

“Baiklah!! Terserah kau saja!! Aku akan pergi!!”, teriak Yuya berbalik.

“Pergilah!! Jin pasti tak akan melakukan ini kalau ia berkencan denganku!!”, balas Din kesal.

Langkah Yuya terhenti.

Yuya menatap Din.

“Apa?”, tanya Din innocent.

Tanpa aba – aba, wajah Yuya mendekat, mendaratkan sebuah kecupan.

Lagi.

Yuya selalu mencuri kesempatan. Tapi kali ini Din tidak menolak, bahkan tanpa ia sadari, matanya menutup dengan sendirinya.

“Bisakah mulut itu hanya menyebutkan namaku saja?”, kata Yuya menatap mata Din.

“Apa maksudmu?”, tanya Din bingung.

Yuya mendekap Din, “Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu melupakan Jin?”, bisiknya lirih.

Din sedikit terperanjat, namun rasanya kata – katanya pada Yuya itu memang sedikit keterlaluan. “Yuya?”, panggil Din lembut.

Yuya mendongak, wajahnya tepat dihadapan Din.

“Gomen na..bisakah kau memberiku waktu sedikit lagi?”, kata Din pelan.

Yuya hanya bisa menatap Din tak percaya. Seakan kata – kata itu sudah ia tunggu sejak lama.
------------

N.B: Maaph kepending lamaaaaaaaaa~ COMENTS ARE LOOOOVVVVEEEE~