Minggu, 15 Mei 2011

[Fanfic] Little Secret (chap 3)

 Title : Little Secret

Chapter : 3

Author : Opi Yamashita

Genre : Romance mungkin #plakk

Rating : PG

Cast : Kei Inoo (HSJ), Sho Sakurai (Arashi), Yamashita Tomohisa (NewS), Daiki Arioka (HSJ), Opi Yamashita (OC), Ikuta Din (OC) dan selentingan orang numpang lewat

Disc : Kei Inoo, Sho Sakurai dan Yamashita Tomohisa itu kepunyaan Okaa-san dan Otou-san serta JE. Opi Yamashita dan Ikuta Din itu OC saia.

Gomenasai~ lama banget ampe 4 bulan ahahha...karena kesalahan bukan pada author tapi pada laptop nya...

yah nikmati saja.maaph klo ada kurang" nya...

Douzo~



Sudah 2 bulan sejak kedatangan Kei di rumah Opi. Hingga sekarang Opi masih belum terbiasa dengan kehadiran Kei di tengah-tengah keluarganya. Selain karena hubungan mereka yang tidak rukun, Opi juga merasa sikap Kei semakin hari semakin menyebalkan. Dari masalah berebut kamar mandi, makanan saat makan malam ataupun televisi. Ada saja sikap Kei yang membuatnya kesal. Tetapi yang paling membuat Opi kesal adalah Kei sudah merebut perhatian kakak satu-satunya, Tomohisa.



Seperti saat ini. Dengan terpaksa Opi harus pergi berbelanja dengan Kei karena persediaan makanan di rumah hampir habis. Sebenarnya sudah tugas Opi untuk berbelanja sesuai yang diperintahkan oleh Tomohisa. Tetapi tiba-tiba Kei menawarkan diri untuk menemani Opi. Bertolak belakang dengan keinginan Opi untuk menolak, Tomohisa malah mengizinkan Kei dengan senang hati. Alhasil sekarang mereka berjalan berdampingan menuju supermarket.



“pantas saja langit mendung, “ sahut Kei yang direspon Opi dengan menolehkan kepalanya.



“wajahmu kusut sekali. Cemberut seperti itu,” lanjut Kei.



Opi tidak peduli dengan kata-kata Kei. Dia terus berjalan tanpa berkata apa pun.



“Chotto~” Kei menarik tangan Opi dengan tidak sabar.



Opi menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba lalu menolehkan kembali kepalanya di hadapan Kei.



“sampai kapan kau akan seperti ini?” tanya Kei agak sinis.



Opi tidak menjawab. Ia pun tidak tahu kapan ia akan berhenti bersikap memusuhi seperti ini.



Kei tidak sabar menunggu Opi yang hanya diam saja. Ia genggam erat bahu Opi agar Opi menghadap ke arahnya.

“apa kamu belum memaafkan aku?” tanya Kei lagi.



“apa perlu aku menjawab?” Opi kembali bertanya.



Kali ini Kei yang tidak menjawab. Siapapun pasti akan kesal dan menjadi kenangan yang tidak terlupakan jika mendapat ‘kejutan’ seperti itu. Apalagi untuk anak perempuan.



Opi berbalik, dengan otomatis genggaman Kei terlepas.”Lebih baik kita cepat berbelanja. Sepertinya akan hujan,” sahut Opi.



Kei tidak membalas. Ia hanya mengikuti Opi.



“Gomen,” ucap Kei dengan suara pelan dan hanya dia yang dapat mendengarnya.



----



Opi merutuki dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia bersikap seperti itu pada Kei. Kejadian 11 tahun yang lalu itu memang membuatnya kesal. Tapi bukan berarti dia harus mengingat itu terus. Karena kebodohannya –menurut Opi-, dia sama sekali tidak berkonsentrasi berbelanja. Banyak sekali bahan-bahan yang tidak dibeli. Dan pada akhirnya Opi diomeli Tomohisa.



“AGGGHHHHH~” teriak Opi kesal di keitai-nya yang terhubung dengan Din.



“Jangan berteriak di telepon, mengerti?” bentak Din kesal.



“Gomen..aku hanya sedang kesal.”



Begitu selesai diomeli Tomohisa, Opi lalu menelepon sahabatnya dan menceritakan semuanya. Ia tidak tahu harus kemana lagi menumpahkan kekesalannya.



“kalau kamu tahu itu salah, kenapa kamu tidak segera memaafkannya?” lanjut Din.



Opi menghembuskan nafasnya.”Kamu tahu gengsi? Itu yang aku rasakan tadi siang,” jawab Opi.



“Sampai kapan kamu akan gengsi seperti itu? Kalau kamu seperti ini, tidak adil untuk Kei.”



Opi menimang-nimang jawaban Din. Ada benarnya juga.



“Mungkin sudah saatnya aku berhenti berperang dengannya,” jawab Opi pasrah.



Opi turun ke dapur sambil memijit-mijit keningnya. Kepalanya tiba-tiba pusing karena Din yang bercerita panjang lebar tentang ia rujuk dengan Keito. Opi sudah memperkirakan ini akan terjadi. Tapi tetap saja cerita Din membuatnya pening.



Opi mengambil segelas air dingin dari dalam kulkas lalu meminumnya. Tiba-tiba dari arah kamar sebelah kamar Tomohisa, terdengar suara dentingan piano.



Satu nada



Dua nada



Tiga nada



Dari dentingan itu, lalu terdengar rangkaian melodi yang ia kenal. Lagu ini sering ia dengar saat ia masih kecil. Saat Mamanya masih ada.



Opi menghampiri sumber suara itu. Dia berjalan pelan menuju ruang yang sudah sangat ia hapal. Ruangan tempat keberadaan piano itu.



Biasanya dia hanya dapat melihat sosok wanita anggun yang ada di depan grand piano putih itu. Sambil bernyanyi riang, wanita itu terus memainkan piano mengiringi celotehan anak-anaknya. Sesekali tertawa gembira seolah menemukan puncak kebahagiaannya.



Tapi yang Opi tangkap sekarang oleh matanya, hanya sesosok laki-laki bertubuh kurus yang sedang memainkan piano. Jari lentiknya begitu lihai saat berpindah dari satu tuts ke tuts yang lain seolah laki-laki itu sudah sering memainkannya. Opi kembali tersadar karena sosok itu adalah Kei Inoo.



“Sedang apa kau di sini?” tanya Opi sedikit menahan perasaan yang menyesakkan.



Kei terkesiap karena menyadari dirinya tidak sendiri lagi di ruangan itu.



“Gomen ne,,memainkan piano-mu tanpa izin,”Kei lalu berdiri.



“Ini bukan piano-ku, kau tahu? Ini piano Mama,” ralat Opi pelan seolah mengenang sesuatu.



Kei tersenyum mengerti maksud Opi.”Aku tahu.”



“Kamu masih ingat lagu itu?” tanya Opi seraya duduk di kursi yang sama di samping Kei yang menghadap tuts piano.



“Itu lagu pertamaku. Tentu saja aku ingat. Mama-mu yang mengajarkan,” jawab Kei.



“Dulu Mama selalu memainkannya untukku dan Onii-chan,” kenang Opi.”dan sudah lama sekali aku tidak mendengarnya.”



“Kamu bisa memintaku memainkannya semaumu,” tawar Kei tersenyum.



Opi terenyak. Opi baru sadar kalau ia begitu menyukai senyum Kei yang seperti itu.



“Un~. Karena kamu sudah membuatku senang, aku akan memaafkanmu tentang 11 tahun yang lalu,” kata Opi.



“Hontou ni?” tanya Kei memastikan.



Opi mengangguk. “Aku juga sudah capek bertengkar terus denganmu. Apalagi membayangkan kamu masih lama tinggal di sini. Aku bisa menganggap rumahku sendiri adalah neraka,” lanjut Opi sambil menekan beberapa tuts piano secara acak. Melodi yang tertangkap oleh telinga Kei benar-benar berantakan.



Kei tertawa. “Jadi sekarang kita baikan?” tanya Kei.



Opi mengangguk lagi. Beban yang selama ini begitu menganggunya, akhirnya hilang seperti menguap tak berbekas.



“kalau begitu, kita bermain piano bersama. Tanda kita sudah berbaikan,” ajak Kei.



“Kamu meledekku? Kamu kan tahu aku paling tidak bisa bermain piano.”



Kei tertawa kembali. “Sini aku ajari.”



Kei meraih kedua tangan Opi lalu meletakkan tangannya di atas tangan Opi. Tangan Kei menggerak-gerakkan tangan Opi di atas tuts piano hingga membentuk melodi yang indah. Opi tertawa karena merasa dirinya menjadi boneka. Tapi dia tidak merasa marah atau kesal. Ia justru senang sekali karena Kei mengajari lagu kesukaannya dan ini pertama kalinya ia dan Kei dapat bercakap dengan suasana yang sangat menyenangkan.

Untuk pertama kalinya sejak Kei datang ke rumahnya, Opi dapat bersemangat di pagi hari. Ia tidak perlu lagi bersusah payah memasang tampang bête di hadapan Kei karena kini Kei sudah bukan musuhnya lagi.



“Ohayou~!” sapa Opi begitu turun dari kamarnya menuju ruang makan. Di sana ia dapat melihat Papanya, Tomohisa dan Kei.



“Ohayou~!” balas semuanya.



Opi melihat Kei yang duduk di hadapannya. Kei yang menyadari dirinya di perhatikan, lalu tersenyum pada Opi.



Senyum itu......



Sejak kemarin entah kenapa Opi menyadari dirinya suka dengan senyum Kei. Begitu menenangkan.



Tanpa banyak berpikir, Opi membalas senyuman Kei yang memunculkan tanda tanya besar di kepala Tomohisa melihat ada hubungan aneh di antara adiknya dan Kei.



Karena hubungan Kei dan Opi yang membaik, mereka dapat berangkat sekolah bersama dengan tenang. Biasanya di tengah-tengah perjalanan, mereka akan melontarkan ucapan pedas atau saling meledek satu sama lain. Tapi pagi ini tidak ada ledekan sedikit pun yang keluar dari mulut mereka.



Sebelum menuju sekolahnya, Kei mengantar Opi terlebih dahulu. Kebetulan arah sekolah mereka sama dan sekolah Opi memiliki jarak yang lebih dekat dibandingkan dengan sekolah Kei. Begitu sampai di depan gerbang sekolah, tidak disangka

Opi disambut Din yang tergesa-gesa menghampirinya dengan wajah cemas.



“Opi~ gawat,” kata Din. Nafasnya yang tidak beraturan membuatnya sulit mendengar jelas apa yang dikatakan sahabatnya.



“Ada apa?”



“Sekolah sudah tahu hubunganmu dengan Sho-sensei,” jelas Din cepat.



Perkataan Din membuat Opi kaget. Tanpa peduli dengan keberadaan Kei, Opi lalu berlari ke dalam sekolah menuju ruang kepala sekolah.



Seperti yang dikatakan oleh Din, kepala sekolah sudah tahu tentang hubungannya dan Sho. Buktinya terlihat dari beberapa foto mereka saat kencan beberapa waktu lalu. Sepertinya ada orang yang mereka kenal tanpa sengaja memergoki.



Opi tidak berbicara apapun karena bukti itu benar-benar tidak bisa membuatnya mengelak. Orang yang ada di dalam foto itu memang dirinya.



“Jadi kalian mengakui kalau yang ada di dalam foto ini adalah kalian berdua?” tanya kepala sekolah dengan nada memojokkan.



Opi menunduk. Dia tidak dapat membalas apapun.



“Benar. Itu kami,” jawab Sho membuat Opi mengangkat kepalanya.



“Sensei...” gumam Opi.



“Kalian sudah melanggar peraturan sekolah. Sebagai hukumannya, Yamashita..” panggil kepala sekolah pada Opi. “Kamu saya skorsing tidak boleh mengikuti pertandinga basket untuk 4 pertandingan mendatang,” lanjutnya.



“Chotto~ itu tidak adil,” sergah Sho tidak menerima.”Dia sudah berlatih keras untuk menghadapi pertandingan. Menurut saya ini tidak adil.”



“Dan anda akan saya skorsing tidak mengajar kecuali untuk melatih basket. Beruntung anda sangat bagus melatih tim basket kami. Jadi saya beri keringanan,” lanjut kepala sekolah tidak peduli dengan protes dari Sho.



“Saya mengerti. Kalau begitu kami permisi,” ucap Opi lalu pergi keluar ruangan dan diikuti oleh Sho.



Opi tertunduk pasrah. Sebenarnya ia masih beruntung hanya di skorsing tidak ikut pertandingan, bukan skorsing tidak sekolah. Tapi menurutnya, pertandingan sama pentingnya.



Tiba-tiba Sho melingkarkan tangannya di kepala Opi dan menyenderkan kepala Opi di dadanya. Dengan sikap Sho yang tiba-tiba, mendadak air mata Opi meleleh.



“Daijoubu. Semua akan baik-baik saja,” ucap Sho walaupun ia pun tidak yakin dengan ucapannya.



Opi hanya mengangguk. Sekarang yang dapat ia lakukan hanya mempercayai kata-kata Sho.



----



Pertandingan basket tinggal 7 hari lagi. Harusnya Opi sedang berlatih sekarang. Tapi karena skorsing, sekarang Opi terdampar di jembatan dekat sekolahnya. Kasus terbongkarnya rahasia hubungan Opi dan Sho, membuatnya tidak betah di sekolah. Banyak murid-murid lain yang ketika bertemu dengannya menatap dengan tatapan tidak percaya, prihatin, bahkan benci. Itu wajar karena Sho sangat populer di sekolahnya.



Tapi dari sekian banyak yang membencinya, Opi masih beruntung karena teman-teman setimnya, teman-teman sekelasnya, dan sebagian teman-temannya yang lain masih mendukungnya. Dan yang lebih membuatnya lega, ia masih mempunyai Din di sampingnya.



“Ini,” Din menghampiri Opi sambil menyodorkan sekaleng minuman.



“arigatou,” ucap Opi seraya mengambil minuman dari tangan Din.



“Hah~” desah Din. “Aku tidak menyangka secepat ini akan terbongkar,” lanjutnya sambil meneguk minumannya.



Opi ikut meneguk minumannya. Tapi lalu ia diam.



“Ayolah...ganbatte ne!” seru Din terdengar sumbang sambil menepuk punggung Opi.



Opi hanya tersenyum kecut karena ia tidak tahu sampai kapan ia bisa berjuang.



Sudah 5 hari sejak Opi dan Sho dipanggil oleh kepala sekolah. Kehebohan tentang mereka perlahan-lahan memudar. Sikap teman-temannya mulai normal. Tapi sikap Sho malah sedikit berubah. Saat di sekolah, pacaranya itu sama sekali tidak menyapa. Meskipun saat sekolah berakhir, Sho sering meneleponnya sekedar untuk menanyakan keadaan.



Pagi ini, begitu Opi tiba di sekolah, kabar mengejutkan datang dari teman-teman timnya. Kepala sekolah memanggilnya kembali ke ruangannya. Opi berharap ini merupakan kabar yang baik.



Satu jam berlalu. Sae, Haru, Chie dan Kaori yang merupakan teman setim Opi menunggu di luar ruangan. Sekali-sekali mereka mengintip di lubang kunci pintu ruangan. Tapi yang mereka lihat hanya punggung Opi yang tenang. Tanda-tanda

Opi akan keluar belum terlihat.



Setelah menunggu lagi 15 menit, akhirnya Opi keluar ruangan dengan wajah yang susah untuk ditebak.



“Bagaimana?” tanya Chie menatap Opi tidak sabar.



Opi menarik napasnya lalu menghembuskan kembali.



“Opi, ayo ceritakan!” perintah Sae yang sama-sama tidak sabar seperti Chie.



“Aku...” Opi berhenti. ”Aku boleh ikut pertandingan,” lanjutnya.



“Hontou ni?” tanya mereka hampir berbarengan.



Opi mengangguk yakin.



“Yahoo~,” seru Chie yang lalu ditutup mulutnya oleh yang lain karena mereka sadar masih ada di depan ruangan kepala sekolah.



Selagi teman-temannya kegirangan, Opi meronggoh keitainya dan langsung menghubungkan dengan seseorang.



“Sho-sensei?” panggil Opi setelah terhubung. “Aku..ingin bicara setelah pulang sekolah.”



-----



“Ada apa?” tanya Sho.



Kini mereka berdua sudah berada di taman.



“Oia, aku dengar kamu diijinkan untuk mengikuti pertandingan. Aku lega mendengarnya,” lanjut Sho senang. Tadi siang dia memang baru mendengarnya dari teman-teman Opi.



“Sho-sensei,” gumam Opi.



“Mmm?” Sho menoleh masih mengembangkan senyumnya.



“Apa lebih baik kita putus saja?” tanya Opi.



Sho terbelalak kaget. Senyumnya pun luntur seketika.“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba bilang seperti itu?”



“Tidak tiba-tiba. Aku sudah memikirkannya sejak kemarin. Tapi aku semakin yakin saat aku mendengar Sensei akan pindah,” jelas Opi.



Sho diam. Dia tidak tahu kalau Opi akan mengetahui berita ini dengan sendirinya.



“Kenapa Sensei tidak pernah cerita?” tanya Opi.



“Aku tidak cerita karena aku bermaksud menolaknya.”



Opi mengerutkan keningnya.”Menolak? Sensei akan menolak? Sensei akan menjadi asisten pelatih tim di Amerika lalu sensei menolaknya?”



“Aku tidak mau meninggalkanmu,” ucap Sho lirih.



“Ini yang aku takutkan. Aku tidak suka seperti ini. Makanya......aku ingin mengakhiri semuanya,” kata Opi pelan.



“Ini tidak menyelesaikan masalah kita,” sergah Sho tidak menerima.



Opi mendengus pasrah. “Kalau kau punya usul lain yang lebih baik, aku siap mendengar.”



Sho diam. Dia pun merasa ini tawaran yang bagus. Sudah menjadi impiannya untuk menjadi bagian dari tim besar setelah impiannya menjadi pemain basket kandas karena cedera. Tapi kalau ia harus meninggalkan Opi, rasanya dia tidak sanggup.



“Sepertinya tidak ada lagi jalan keluar. Urusanku sudah selesai. Aku permisi,” Opi membungkukkan badannya sedikit sebelum berlalu meninggalkan Sho yang masih tertunduk.



TBC~



astaga~ kena racun apa q bikin fanfic kek begini????

maaph klo tidak sesuai dengan bayangan ahahahha...

nama nya juga imajinasi...

#plakk

komen yah~

Tidak ada komentar: