Minggu, 15 Mei 2011

[Fanfic] Little Secret (chap 4)

Title : Little Secret

Chapter : 4

Author : Opi Yamashita

Genre : Romance mungkin #plakk

Rating : PG

Cast : Kei Inoo (HSJ), Sho Sakurai (Arashi), Yamashita Tomohisa (NewS), Opi Yamashita (OC), Ikuta Din (OC) dan selentingan orang numpang lewat

Disc : Kei Inoo, Sho Sakurai dan Yamashita Tomohisa itu kepunyaan Okaa-san dan Otou-san serta JE. Opi Yamashita dan Ikuta Din itu OC saia.

Ahahaha...cepet yah? ini untuk menghilangkan stress gr" mau UTS. #bukannya belajar malah ngpost penpik...

nikmati saja. Douzo~



Opi masih bersikap sama sejak ia kembali dari sekolah. Wajahnya murung. Suara yang biasanya membuat seisi rumah ramai, tidak ada sedikitpun Papa, Tomohisa dan Kei dengar. Rasa cemas dan ingin tahu memenuhi pikiran mereka. Tapi mereka ragu untuk hanya menanyakan keadaan Opi, setelah melihat Opi yang sangat tidak baik-baik saja.

Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya mereka sepakat Kei yang akan mencoba berbicara dengan Opi. Walapun sebenarnya mereka tidak yakin benar.



“Opi?” panggil Kei pelan sambil membuka pintu dengan hati-hati.



Opi yang meringkuk di kursinya, tidak menjawab apapun. Bahkan menoleh pun tidak.



Kei duduk di tempat tidur yang jarak nya tidak begitu jauh dengan kursi tempat Opi duduk.”Apa yang terjadi?” tanyanya kemudian.



Opi kembali diam. Tatapannya masih sama seperti tadi. Hanya lurus ke arah luar jendela.



“Baik kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaanku. Tapi kamu tidak bisa membiarkan Paman dan Tomo Onii-san seperti ini. Mereka mengkhawatirkanmu,” ucap Kei sedikit tidak sabar.



Bukannya menjawab, Opi hanya bangun dari duduknya lalu membaringkan dirinya di atas kasur dengan posisi membelakangi Kei.



Kei pasrah. Dia sudah merasa seperti berbicara dengan patung. Akhirnya Kei keluar dari kamar Opi karena usaha apapun akan sia-sia saja.



“Bagaimana?” cecar Tomohisa tidak sabar.



Kei hanya mengangkat bahunya dan setelahnya terlihat wajah kecewa dari Tomohisa dan Papa. Semuanya, terutama Tomohisa sangat cemas dengan keadaan Opi karena terakhir kali dia seperti ini adalah saat Mama mereka meninggal dan Tomohisa tidak mau keadaan Opi yang dulu terulang lagi sekarang.



---



Din melirik Opi yang sedang membaca Myojo yang baru saja ia beli. Sebelah tangannya menopang dagu dan tangannya yang lain membalik-balikkan halaman majalah. Opi terlihat biasa-biasa saja. Padahal kemarin malam Opi baru saja meneleponnya sambil menangis karena sudah putus dengan Sho. Tapi apakah ia benar-benar baik-baik saja?



“Opi,” panggil Din sedikir ragu.



“Mm..” gumam Opi tanpa mengalihkan perhatiannya pada isi dari majalah.



“Aku dengar kamu tidak jadi diskorsing. Omedetou!!” seru Din riang –yang dipaksakan-.



“Sankyuu~,” balas Opi masih belum mengalihkan pandangannya.



“Ini kabar bagus. Bagaimana kalau kita merayakannya hari ini?”



“Gomen, din. Hari ini aku ada latihan,” tolak Opi.



“Aah~..souka..”



Din sedikit sedih karena ajakannya ditolak oleh Opi. Tapi dia lebih sedih melihat Opi yang tidak bersemangat. Opi yang cerewet, tidak mau diam, dan berteriak kesal tiba-tiba, seolah tergantikan dengan orang lain yang sering murung, lemas dan kerjaannya hanya melamun. Walaupun Din kadang selalu protes dengan Opi yang terlalu bersemangat, tapi Din merindukan Opi yang dulu.



Hari pertandingan datang. Opi sudah memakai baju seragamanya dibalut dengan jaket. Tapi dia masih belum mau masuk ke tempat pertandingan. Dia masih teringat dengan pertemuannya dengan Sho tadi.



-flashback-



Opi bergegas menemui Sho begitu dia mendapat e-mail bahwa Sho sedang menunggunya di luar lapangan. Memang Opi yang memutuskan hubungan mereka, tapi entah kenapa dia sangat merindukan Sho.



“Aku akan pergi sekarang,” kata Sho begitu mereka berdua duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia.



Opi mengepal kedua tangannya di sisi kakinya. Dia tahu saat ini akan datang. Ia mencoba untuk menahan agar tidak menangis.



“Jaga kesehatanmu,” Sho berhenti sejenak seperti menahan sesuatu. ”dan jangan terlalu memaksakan diri untuk latihan,” lanjutnya.



Opi masih diam. Ia takut kalau dia berbicara, air matanya akan tumpah.



“Hubungan kita memang singkat, tapi aku senang bisa mengenalmu,”gumam Sho lalu menggenggam tangan Opi.



Bertepatan dengan tangannya digenggam, air mata Opi jatuh. Dia sudah tidak bisa menahan lagi.



Sho sadar Opi menangis. Tangannya lalu meraih kepala Opi dan memeluknya erat. Sangat erat hingga Sho tidak sanggup untuk melepasnya.



“Semua akan baik-baik saja. Kita bisa melewatinya. Aku harap kamu janji kalau kamu akan baik-baik saja,” ucap Sho. Opi masih diam walaupun ia mendengar suara Sho dengat jelas di samping kepalanya.



“Opi? kamu janji?” Sho mengulang pertanyaan. Ia tidak akan tenang jika Opi belum mengucapkannya.



Opi mengangguk.”Aku janji,” jawab Opi di tengah isakannya.



Opi mempererat pelukkannya. Dia tidak akan pernah merasakan pelukan hangat ini lagi. Dia tidak merasakan genggaman

tangannya lagi. Dan yang Opi sesalkan, dia tidak akan pernah melihat lagi senyuman Sho lagi.



-----



Kei berlari terburu-buru. Sejak Opi pergi karena mendapat sebuah e-mail, dia belum kembali. Padahal pertandingan akan segera mulai. Tapi yang Kei cemaskan bukan pertandingannya, melainkan keadaan Opi.



Kei terus berlari sampai matanya menangkap seorang gadis sedang duduk di bangku panjang dengan kepala tertunduk.



“Opi,” gumam Kei lega.



Hati Kei sakit melihat Opi seperti ini. Wajah yang biasanya ceria, kini terlihat murung. Mulut yang tidak mau diam karena banyak bicara, kini menjadi pendiam. Aura bersemangat yang membuat orang-orang kerepotan, kini lemah tidak

berdaya. Apa yang harus dia lakukan untuk mengembalikan semuanya?



“Opi,” panggil Kei lembut.



Opi mendongak. Matanya yang sembab karena menangis membuatnya sulit untuk melihat dengan jelas.



“Kei?”



“Kamu habis menangis? Doushita no?” tanya Kei cemasa seraya duduk di samping Opi.



Opi menggeleng. Dia sedang tidak mau menceritakan apapun.



Kei menghela hapas. “Daijoubu...kalau tidak mau cerita. Tapi sekarang semua sedang menunggumu. Pertandingan akan dimulai,” kata Kei lembut.



Opi mengangguk.



Kei sedikit lega melihat reaksi Opi. Dia lalu bangun untuk kembali ke lapangan. Tapi Kei terduduk kembali karena dia merasa bajunya ditarik dan ternyata Opi yang menariknya.



“Tadi sensei ke sini,” Opi mulai bercerita.



Kei mengerutkan keningnya.



“Sensei ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal,” lanjut Opi.



Opi berhenti.



“Dia sudah pergi hiks..” Opi mulai menangis lagi.



Entah pikiran dari mana, Kei memeluk Opi. Dia tidak bermaksud buruk. Dia hanya berharap dapat menenangkan Opi walaupun hanya sebuah pelukan seperti ini. Sedangkan Opi, dia kembali menangis. Dia pun berharap dengan menangis ia dapat melupakan semuanya.



----



1 bulan kemudian....

Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Tapi di rumah keluarga Yamashita sudah terjadi perang yang siap memporak porandakan rumah. Semua dimulai karena Kei yang membuat ulah dan mengakibatkan Opi mengamuk.



“KEI!!!!!!!Keluar kamu!” teriak Opi sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi.



“Aku tidak mau. Kalau aku keluar, kau pasti akan melemparku dengan panci,” jawab Kei di balik pintu kamar mandi.



“AKU MEMANG AKAN MELEMPARMU DENGAN PANCI!!!!!!!” teriak Opi makin keras.



“Opi!! Ribut sekali sih. Ini masih pagi, “ omel Tomohisa sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Terlihat dari

wajahnya sepertinya dia baru bangun dan kekurangan jam tidur.



Opi cemberut.”Kei curang. Aku yang akan mandi duluan tapi dia langsung masuk tidak mengantri,” gerutu Opi kesal.



“Ya sudah. Tunggu saja sampai Kei keluar,” sahut Tomohisa acuh tak acuh.



“Tapi kan aku ada latihan pagi. Aku bisa telat,” protes Opi.



Tomohisa tidak membalas karena ia kembali meringkuk di sofa untuk tidur.



“AGGHHHHH~!!!!” teriak Opi. Tapi kali dia teriak di atap sekolah ditemani Din.



Din memukul pelan kepala Opi. “Jangan berteriak!” bentak Din.



“Ittai~,”keluh Opi.”Habis Kei menyebalkan,” gerutunya.



“Aku pikir setelah kalian berbaikan, kalian tidak akan ribut lagi seperti ini. Tapi ternyata aku salah,” kata Din sambil mengutak atik keitai-nya.



“Ini karena Kei yang memulai,” balas Opi bersikeras.”Ngomong-ngomong, sedang apa kamu? Sibuk sekali,” tanya Opi yang melihat sahabatnya terus-terusan sibuk dengan keitai-nya.



Din hanya tersenyum kecil.



“Keito yah?” tebak Opi.



“Ah~” seru Din seperti ingat sesuatu.”Aku lupa bilang. Sebenarnya aku dan Keito sudah putus,” jelasnya.



“Hah? Putus?”



Din mengangguk.”Pacaran dengan yang lebih muda, membuat aku seperti anak kecil.”



Opi tertawa.”Bukankah itu bagus? Kau jadi terlihat awet muda.”



Din cemberut.



“Jadi kau sedang sibuk dengan siapa sekarang?” tanya Opi lagi.



“Hmmm~. Hi-mi-tsu ahahaha...”



Kini Opi yang cemberut.”Kau sekarang sama menyebalkannya seperti Kei.”



Sudah sebulan sejak kepergian Sho. Kehidupan Opi sudah kembali seperti semula. Wajahnya yang murung, kini sudah kembali ceria. Bahkan Opi yang cerewet sekarang muncul lagi. Membuat telinga orang-orang kepanasan.



“Aku senang kamu sudah kembali seperti dulu,” ucap Din.



Opi tersenyum lebar.”Karena aku sudah janji dengan Sho.”



Hingga sekarang pun Opi masih merindukan Sho. Tapi itu masa lalunya. Dia sudah memutuskan untuk menganggap Sho hanya sebagai kenangan di kehidupannya saja. Saat ini ia hanya membutuhkan waktu untuk kembali menata hidupnya.



Ia tahu ini sulit. Tapi janjinya pada Sho yang membuat ia kuat dan yakin keadaannya akan baik-baik saja.



-----



“Oke. Sudah beres,” gumam Opi sambil melihat hasil pekerjaannya yang sudah selesai. Hari ini Opi mendapat giliran piket.

Semua teman-teman yang mendapat giliran piket yang sama dengannya sudah pulang karena ia datang terlambat. Jadi Opi mengerjakan sisa pekerjaan yang belum dikerjakan.



Suasana sekolah sudah sangat sepi. Wajar saja karena sekarang sudah sangat sore. Semua murid sudah pulang kecuali yang mengikuti klub baseball karena mereka sedang bermain di lapangan.



Opi menatap orang-orang yang sedang bermain di sana. Suasana sore seperti ini selalu mengingatkannya pada Sho. Biasanya setelah pulang sekolah, Opi akan berlari menuju lapangan basket untuk menemui Sho. Di sana mereka akan melepaskan rasa rindu mereka dengan bercanda atau hanya mengobrol. Kalau mengingat masa-masa itu, Opi hanya dapat tersenyum.



“Hmmm~” desah Opi sambil meregangkan tangannya.”Lebih baik aku pulang,” gumamnya.



Opi menyambar tasnya lalu melenggang pergi.



“Aah~ tsukareta!!!” seru Opi saat melewati lapangan yang sedang digunakan oleh klub baseball dengan santai. Kaget dengan suara yang mendadak muncul, hampir semua anggota klub menoleh ke arah Opi karena merasa suara itu sangat menganggu mereka.



“Ah~ gomennasai,” ucap Opi lalu jalan cepat-cepat agar dia tidak tambah mempermalukan dirinya sendiri dan agar dirinya dapat segera pulang lalu makan.



Selagi ia berjalan, Opi mendadak menyipitkan matanya, memastikan ada orang yang dia kenal di gerbang sana.



“Kei? Sedang apa di sini?” tanya Opi mengagetkan Kei.



“Kamu sudah pulang? Lama sekali sih,” gerutu Kei.



Opi memiringkan kepalanya.”Aku harus piket tadi,” jelas Opi. “Tapi kenapa kamu marah? Aku kan tidak memintamu menjemputku.”



Kei tidak mengacuhkannya. Ia lalu pergi.



“Dasar aneh. Sudah marah-marah, sekarang pergi begitu saja,” gumam Opi pelan lalu berjalan cepat agar langkahnya sejajar dengan Kei.



Kei maupun Opi sama-sama tidak memulai pembicaraan. Yang terdengar saat ini hanya suara kendaraan yang lalu lalang di jalanan. Opi sedikit heran dengan sikap Kei yang sedikit berubah. Menjadi agak menyebalkan. Semua yang Kei lakukan sama sekali tidak ia mengerti. Seperti sore ini Kei yang menjemputnya, suatu hal yang jarang Kei lakukan.



Sampai rumah pun Kei langsung masuk kamarnya setelah menjawab sapaan Tomohisa.



“Ada apa dengan Kei?” tanya Tomohisa pada Opi.



Opi tidak langsung menjawab karena mulutnya penuh dengan kue yang baru saja Tomohisa buat.



“Opi?” panggil Tomohisa.



“Tunggu sebentar. Aku kan harus menelan dulu,” gerutu Opi. “Kenapa dengan Kei, aku sendiri tidak tahu. Onii-chan saja

heran,apalagi aku. Tiba-tiba dia menjemputku. Itu lebih aneh,” lanjut Opi.



“Itu memang aneh. Oia, sebelum kamu mandi, aku ingin bertanya sesuatu.”



Opi berhenti melangkahkan kaki nya yang sudah terlanjur naik ke anak tangga.



“Waktu itu...sikapmu aneh..apa karena laki-laki yang bernama Sho Sakurai?” tanya Tomohisa hati-hati.



Opi sebenarnya kaget dengan pertanyaan kakaknya itu. Karena setahunya, yang mengetahui hal ini hanya segelintir orang. Kemungkinannya kecil kalau Tomohisa tahu hal ini. Tapi ia berusaha tenang menanggapinya.



“Onii-chan tahu dari mana tentang laki-laki yang bernama Sho Sakurai?”



“Itu tidak penting. Aku hanya ingin tahu benar atau tidak?”



Opi mengangguk pelan.”tapi itu sudah berlalu. Aku sudah putus.”



“Lalu, sekarang kamu pacaran dengan Kei?” tanya Tomohisa lagi.



“Hah? Aku pacaran dengan Kei? Kenapa Onii-chan berpikiran aku berpacaran dengan dia?”



Opi tidak habis pikir kakaknya itu menganggap yang aneh-aneh tentang hubungannya dengan Kei.



“Aku lihat sikap Kei berubah. Apalagi kalau berurusan denganmu. Walaupun hingga sekarang kalian masih bertengkar,tapi setelah itu kalian baikan lagi. Kalau dulu mana mungkin seperti itu,”jelas Tomohisa.



“Hontou? Apa hubunganku dengan Kei seburuk itu?” Opi justru bertanya kembali.



“Setidaknya itu yang aku lihat.”



“Hingga saat ini aku tidak pernah terpikirkan untuk pacaran dengan Kei.”



Ya. Opi hanya dapat menjawab seperti itu karena walaupun hubungannya dengan Kei jauh lebih baik, tapi untuk pacaran Opi sendiri tidak tahu. Hatinya belum sembuh untuk berpacaran lagi.



“Bagus kalau begitu,” timpal Tomohisa lega.



“Loh? Ada apa?”



Alih-alih menjawab pertanyaan Opi, Tomohisa hanya melengos pergi ke dapur untuk meneruskan pekerjaannya.



Hari-hari pun berlalu. Hubungan Opi dan Kei menjadi semakin dekat. Hampir setiap hari Kei menjemput Opi walaupun dia pulang hingga pukul 9 malam karena harus latihan basket. Kegiatan rutinitas Opi setiap minggu seperti berbelanja pun kini dilakukan berdua dengan Kei. Bahkan jalan-jalan di hari libur pun sudah sangat sering mereka lakukan.



Din yang mengetahui semuanya, merasakan ada hal yang aneh pada sahabatnya itu. Apa dia sudah benar-benar melupakan Sho?



“Hari ini apa kegiatanmu?” tanya Din pada Opi yang dihadapannya. Hari ini Din memang sengaja mengajaknya ke cafĂ© langganan mereka.



“Hmm..lari pagi, latihan basket dan belanja.”



“Dengan Kei?”



Opi mengangguk sambil menghisap minumannya.



“Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan.”



Opi mengerutkan keningnya mendengar ucapan Din.



“Akhir-akhir ini kamu dan Kei semakin dekat saja. Kalian pacaran?” tanya Din  to the point.



Opi menyipitkan matanya. ”Sepertinya aku sudah pernah mendengar kata-kata itu.”



“Jadi?”



Opi kini menggaruk-garuk kepalanya.”Sudah aku bilang aku tidak berpacaran dengan Kei,” jawab Opi.



“Aku tidak percaya,” ujar Din merasa tidak puas dengan jawaban Opi.



“Terserah deh..”



Din mencibir pada Opi dengan kesal. Sebenarnya ia sendiri tahu kalau Opi belum ada hubungan apapun dengan Kei.

Hanya saja ia penasaran dengan perasaan Opi yang sebenarnya.



“Sudah jangan cemberut. Nanti Keito kabur loh!” ancam Opi sedikit menggoda Din.



“Hah? Kenapa Keito?” seru Din bingung.



“Kau pikir aku tidak tahu?? Kamu masih saja pergi berdua dengan dia kan?” tebak Opi.



“Kapan aku pergi berdua dengan Keito? Aku pergi karena dia bilang ingin bicara denganku. Ternyata dia hanya ingin mempermainkan aku,” jelas Din kesal.



“Souka,” balas Opi. Opi sebenarnya penasaran dengan laki-laki yang hampir setiap hari membuat Din tersenyum setiap ia membaca e-mail. Kalau bukan Keito, lalu siapa?



---



Opi merebahkan tubuhnya di kursi malas yang berada di balkon. Makan malam hari ini sungguh membuat Opi kelimpungan karena Tomohisa dan Papanya membuat makanan special. Momen ini sangat jarang terjadi sehingga Opi tidak memberi batas dan akibatnya Opi terlalu sulit untuk berdiri karena kekenyangan.



Perlahan Opi memejamkan matanya. Merasakan angin yang menyapu wajahnya. Angin malam ini sangat menyejukkan sehingga membuat Opi ingin terlelap.



“Are? Kau sudah tidur?” suara itu suara Kei. Dengan reflex Opi membuka matanya kembali.



“Iie. Ada apa?” tanya Opi seraya bangun dari kursi.



“Ini.” Kei menyodorkan sepiring kecil apel yang sudah dibelah menjadi 4 bagian.”Dari Onii-san.”



“Arigatou.” Opi lalu melahap satu apel.



 “Malam ini langitnya cerah yah,” ujar Kei sambil menengadahkan wajahnya menghadap langit. Opi berbalik mengikuti Kei

untuk menghadap langit juga.



“Un~ kau benar,” jawab Opi sambil melahap apel yang kedua.



Lalu keduanya terdiam. Yang terdengar sekarang hanya suara kunyahan Opi yang sedang memakan apelnya.



“Ah~” seru Kei seolah teringat sesuatu. ”kapan pertandinganmu selanjutnya?” tanya Kei.



“Dua minggu lagi. Lawannya lebih berat dari sebelumnya. Aku jadi gugup,” ujar Opi lalu mengambil apel yang ketiga.



“Aku yakin kau pasti bisa. Kau kan sudah berlatih keras.”



Opi tersenyum mendengar kata-kata Kei. “Arigatou. Ganbarimasu~.”



Kei ikut tersenyum melihat Opi yang terlihat bersemangat.



“Karena sudah menyemangatiku, aku beri kau satu apel.” Opi menyerahkan satu apel yang tersisa di piringnya. Dengan

senang hati Kei mengambil lalu memasukannya ke dalam mulut.



“Oishii~” seru Kei.



“Aku akan mengembalikan piringnya. Kau tetap di sini?” tanya Kei.



Opi mengangguk.



Kei tidak segera membalikkan badannya dan mengembalikkan piring seperti yang ia katakan. Sejenak ia menatap wajah Opi yang menghadap langit. Entah karena suasana yang tepat atau Kei sudah menemukan keberanian, ia perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Opi. Opi yang sadar ada sesuatu mendekati wajahnya, kaget karena tiba-tiba bibirnya sudah menempel di bibir Kei. Kejadian itu begitu singkat dan sangat tiba-tiba. Perlahan Kei melepaskan bibirnya dari bibir Opi dan menatap mata Opi dalam. Opi yang masih kebingungan hanya dapat ikut menatap mata Kei juga.



“Suki da yo,” ucap Kei kemudian.



“Hah?” Opi bingung harus menjawab apa.



“Bagaimana perasaanmu?” tanya Kei lagi.



Belum sempat Opi menjawab, tiba-tiba Tomohisa memanggil dari tangga.



“Kei, ada telepon dari Mama-mu,” teriak Tomohisa.



Tanpa berkata apapun lagi, Kei pergi meninggalkan Opi yang masih terlihat kebingungan.



Perlahan Opi menyentuh bibir dengan jarinya. Sangat berbeda dengan saat mereka pertama kali melakukannya. Untuk kali ini yang Opi rasakan adalah jantungnya berdegup kencang dan rasanya seperti.....



“Apel?”



TBC~





aneh? saia juga aneh knp bs bikin yang kyk gn?

klo aneh ga usah dibaca...

klo suka di-like..

klo ada saran dan kritik di komen ajah...

jangan lupa komen...

#kabur ke slide farmakologi dan MAI

Tidak ada komentar: